BAB
II
KERANGKA
TEORI DAN PENGEMBANGAN MODEL
1.
Pengertian Kompetensi Akuntansi
a. Pengertian Kompetensi
Secara harfiah, kompetensi adalah
kapasitas, ketrampilan, atau kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan benar dan
secara efisien, atau suatu lingkup kemampuan seseorang atau suatu kelompok (Oxford Advance Learner’s Dictionary of
Current English, 1995:232).
Secara operasional pengertian kompetensi
dapat dijabarkan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Kompetensi merupakan
kapabilitas atau kemampuan dari kinerja maksimum seseorang yang diperoleh
melalui proses belajar yang berlangsung secara terus-menerus dalam jangka waktu
lama yang dapat diamati sebagai hasil belajar (Gagne, 1977:51; Gagne, Leslie & Wager, 1992:43; Gronlund & Linn,
1990:11). Hasil belajar dapat diamati dan diukur dari perubahan pada perilaku
diri yang belajar sebagai hasil pengalaman (Reigeluth, 1983:9).
Kompetensi menurut Peraturan Pemerintah
No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Pasal 1 butir 4 dan
Pasal 25) merupakan tuntutan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
Kompetensi menurut dimensi kognitif Bloom
(2001:45-46 dan 67-68); Anderson (2003:29) dapat diklasifikasi ke dalam dimensi
pengetahuan dan dimensi proses kognitif. Dimensi pengetahuan terdiri dari: (1)
fakta (factual), (2) konsep (conceptual), (3) prosedur (prosedural), dan (4) metakognitif (metacognitive). Dimensi proses kognitif
dibedakan menjadi (1) mengingat (remember),
(2) mengerti (understand), (3)
penerapan (apply), (4) analisis (analyze), (5) evaluasi (evaluate), dan (6) berbuat (create).
Kompetensi dari sudut pandang
organisasi, dapat juga dipilah menjadi kompetensi menurut tuntutan spesifikasi
pekerjaan, dan kompetensi menurut tingkah laku unjuk kerja (Kreitner dan
Knicki, 2000:185). Menurut tuntutan spesifikasi pekerjaan kompetensi terdiri
dari kemampuan-kemampuan: berkomunikasi verbal, inisiatif, memutuskan,
toleransi, pemecahan masalah, dan kemampuan menyesuaikan diri. Ditilik dari
tingkah laku unjuk kerja, penguasaan kompetensi dikatagorikan menjadi 4(empat)
tingkat, yaitu: (1) pemula (novice),
(2) menengah (intermediate), (3)
lanjut (advanced), dan (4) ahli (expert).
Bagi seorang pendidik, kompetensi yang
dituntut adalah spesifikasi kemampuan dan keterampilan pada kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional, dan sosial (PP 19 tahun 2005, Pasal 28 ayat (3)).
Dari
berbagai pandangan tentang kompetensi dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi
pada dasarnya kemampuan unjuk kerja pada dimensi kognitif atau pada proses
kognitif sebagai hasil belajar yang dapat diamati, berbentuk perubahan perilaku
yang isinya berkaitan dengan ranah pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Penguasaan
kompetensi dapat dikategori pemula, menengah, lanjut dan ahli. Khusus bagi
pendidik kompetensi yang harus dikuasai adalah kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional dan sosial.
b. Kompetensi Akuntansi
Akuntansi mengandung dimensi proses dan
aktivitas yang memerlukan pengkajian untuk mempelajarinya. Wujud hasil
mempelajari pengetahuan Akuntansi dikenal dengan kompetensi Akuntansi. Dari segi dimensi
proses Akuntansi, merupakan tindakan identifikasi, pengukuran dan komunikasi
tentang pendapat dan keputusan yang secara ekonomis dibutuhkan oleh penggunanya
(Hermanson, Edwards & Salmonson (1989:3). Ditilik dari dimensi aktivitas, National Committee on Governmental
Accounting, 1968 (Gandhi, 2002:86) menyatakan bahwa Akuntansi adalah gabungan kegiatan analisis,
pencatatan, peringkasan dan penginterpretasian transaksi keuangan; yang bertujuan
untuk menyediakan informasi keuangan yang lengkap dan akurat dalam bentuk yang
sesuai dan dalam waktu yang tepat.
Akuntansi bukan sekedar sejumlah
prosedur teknis yang harus diingat tetapi merupakan suatu cara untuk memahami
perilaku dagang dan sebagai alat untuk mengevaluasi perilaku dagang tersebut.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Ingram & Baldwin (1996:iii); Huang,
O’shaughnessy dan Wagner (2005:284), penegasannya bahwa: “...accounting not as a set of technical procedures to be memorized but
as a way of understanding businesses and a means for evaluating them.”
Pekerjaan Akuntansi berada dalam
rangkaian kegiatan proses pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran,
pelaporan dan penginterpretasian transaksi-transaksi yang terjadi dalam suatu
perusahaan untuk memungkinkan adanya asesmen dan keputusan yang jelas dan tegas
bagi mereka yang menggunakan informasi tersebut (P2A, Depdikbud, 1989:15).
Kompetensi dalam bidang Akuntansi dengan
demikian merupakan kemampuan unjuk kerja keahlian, yang dibentuk melalui
pengetahuan, ketrampilan dan pembinaan sikap tentang Akuntansi. Kompetensi
akuntansi seseorang dapat dilihat dari kemampuannya memenuhi tuntutan
spesifikasi pekerjaan, dan atau
kemampuan tingkah laku unjuk kerja dalam menangani pekerjaan dalam
kegiatan Akuntansi.
Kompetensi Akuntansi ditentukan oleh 4(empat)
faktor yaitu (1) kemampuan (ability),
(2) pengetahuan (knowledge), (3) motivasi,
dan (4) lingkungan (environtment and
motivation) Libby & Luft (1993:433).
Berdasarkan kompetensi tersebut, keahlian
Akuntansi dapat ditingkatkan melalui model hubungan empat faktor yang
ilustrasinya dapat disimak pada gambar berikut ini. Model ini berasumsi bahwa
motivasi dan lingkungan merupakan faktor yang konstan.
Unsur pertama, kemampuan individu
merupakan kapasitas tugas pendukung untuk melengkapi informasi, seperti koding
informasi (information encoding),
pemanggilan (retrieval) dan analisis.
Kedua,
pengetahuan yang dimiliki (knowledge –
information stored in memory) yakni informasi yang telah terekam dalam
memori yang dapat menunjukkan sejauh mana individu telah menguasai tugas
pekerjaan tertentu bidang Akuntansi (pengetahuan prosedural); fakta-fakta yang
dibutuhkan (pengetahuan deklaratif); dan bagaimana kegiatan yang sesuai dengan
tuntutan profesi bidang akunting (pengetahuan tacit).
Gambar 1
Hubungan Empat Faktor Kemampuan Dalam
Akuntansi
Adaptasi dari Robert Libby & Joan
Luft, 1993:433 (Salterio,2005:1)
Ketiga,
pertimbangan dari lingkungan Akuntansi dan gambaran tentang arahan dari yang
berwenang seperti program audit komputer, insentif keuangan, hubungan
akuntabilitas, dan proses review formal dan informal. Lingkungan memberi peluang yang berbeda-beda untuk belajar; lingkungan
yang baik akan memberi lebih banyak bahan belajar, dan begitu sebaliknya.
Keempat,
motivasi yang terkait erat dengan kemauan individu untuk memanfaatkan
potensinya. Model dari keempat unsur ini memang sederhana, tetapi saling
hubungan antar keempat unsur ini dapat menjadi kompleks.
Pendidikan
dan pelatihan untuk membentuk kompetensi Akuntansi harus membekali mahasiswa
sedemikian rupa melalui kurikulum dengan memperhatikan isi dan prosedur
penyajian. Tiap-tiap kecakapan tertentu diperlukan dasar dan prasyarat
kecakapan sebelumnya, begitu seterusnya hasil dari pembekalan kecakapan
tertentu akan menjadi dasar dan prasyarat kecakapan berikutnya. Secara berjenjang
dan prosedural hal tersebut akan membentuk kebulatan isi kecakapan dan
menjadikan orang yang belajar atau berlatih menjadi mahir untuk kecakapan-kecakapan
itu, dan inilah yang disebut menguasai kompetensi akuntansi.
Dari beberapa definisi dan penegasan ahli
tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi Akuntansi mengandung penguasaan
kemampuan dan aktivitas yang berproses mengikuti prosedur tertentu tahap demi
tahap. Tahapan-tahapan itu mulai dari mencatat, mengklasifikasi,
mengikhtisarkan, melaporkan dan menginterpretasikan transaksi yang terjadi
dalam suatu perusahaan dalam kurun waktu tertentu. Proses itu bertujuan
menyediakan informasi keuangan kepada pihak yang berkepentingan untuk tujuan
pengambilan keputusan dan sebagai sarana evaluasi kegiatan bisnis. Dengan
demikian penguasaan kompetensi Akuntansi seseorang dapat diukur dari kemampuan
memenuhi tuntutan perkerjaan pada tahapan tertentu atau kemampuan unjuk kerja
dalam menangani kegiatan-kegiatan dalam proses akuntansi.
Kompetensi Akuntansi dapat dilatihkan dan dibekalkan melalui
proses dan prosedur seperti di atas. Penguasaan secara tuntas kompetensi
Akuntansi dengan baik merupakan pendukung munculnya kualitas proses
pembelajaran Akuntansi bagi siswa-siswa di kelas. Karena itu penguasaan kompetensi
Akuntansi oleh guru adalah mutlak diperlukan, dan oleh sebab itu menjadi
penting tentang bagaimana menyiapkan guru Akuntansi dengan baik. Kurikulum
LPTK untuk mayor bidang studi Akuntansi
merupakan salah satu muara untuk menciptakan guru Akuntansi yang berkompetensi.
2.
Proses Belajar Kemampuan Pemecahan Masalah
a. Definisi Belajar dan Bentuk-bentuk Belajar
Belajar merupakan perubahan perilaku
yang terjadi secara menetap pada diri seseorang sehingga diperoleh suatu
kompetensi atau kemampuan. Ada lima macam bentuk belajar menurut Gagne, 1984
(Dahar,1989:12) yakni (1) belajar responden, (2) belajar kontiguitas, (3)
belajar operant, (4) belajar observasional, dan (5) belajar kognitif.
Bentuk belajar responden, ditandai oleh
adanya respons yang dikeluarkan oleh stimulus yang telah dikenal dan intinya
bahwa perilaku berubah karena hasil suatu pengalaman. Respons yang muncul tanpa
stimulus terkondisi bukan merupakan belajar, melainkan akibat instink.
Belajar kontiguitas ditandai oleh adanya
perubahan perilaku akibat asosiasi dekat (contigous)
sederhana antara suatu stimulus dan suatu respons.
Belajar operant merupakan bentuk belajar
akibat adanya penguatan, yaitu suatu konsekuensi yang memperkuat
perilaku-perilaku.
Belajar observasional memperlihatkan,
bahwa belajar diperoleh dengan cara mengamati orang lain melakukan apa yang
akan dipelajari, oleh sebab itu perlu dihindari kesempatan atau peluang untuk
obyek pengamatan yang tidak baik.
Belajar kognitif merupakan bentuk
belajar yang menekankan pada proses-proses kognitif, antara lain berpikir (insight) dan penalaran (reasoning), dan penggunaan logika
deduktif dan induktif, meskipun para ahli mengakui memang ada konsepsi-konsepsi
tentang belajar yang diterapkan dalam hubungan stimulus – respons yang tak
logis, tetapi masih lebih banyak dibutuhkan penjelasan belajar dari
hubungan-hubungan yang logis dan rasional.
Para ahli lebih konsentrasi penelitian
pada pengembangan bentuk belajar proses kognitif atau proses mental, seperti telah dilakukan oleh Glovers &
Ronning (1987), Matlin (1989), Mayer (1992), dan Ree (1992) daripada
bentuk-bentuk belajar yang lain. Kesimpulannya bahwa pembelajaran merupakan
kebutuhan pokok yang mendasar bagi proses kognitif (Henson dan Eller,1999:244).
b. Teori Belajar Proses Kognitif dan Pembelajaran
Menurut Bruner (1966:47), belajar terdiri
dari tiga proses, yaitu perolehan,
mentransfer dan mengolah kembali. Bruner berpendapat bahwa dalam praktik
pengajaran tercakup tiga hal di dalamnya, yaitu berupa informasi tentang
bagaimana kreativitas pebelajar bisa tumbuh dengan baik, belajar membantu
menyusun pengetahuan, dan belajar membantu mengurutkan atau menyusun
pengetahuan.
Ausubel & Robinson, 1969 (Dahar,
1989:111) mengklasifikasi peristiwa belajar dalam dua kontinum dimensi. Pertama dimensi yang berhubungan dengan
cara pebelajar menerima materi informasi, dan kedua menyangkut cara bagaimana pebelajar dapat mengaitkan
informasi itu pada struktur kognitif yang sudah dimiliki. Dari dimensi pertama,
belajar dapat dibedakan secara penerimaan dan secara penemuan; dan dari dimensi
kedua belajar dapat berbentuk belajar hafalan dan belajar bermakna. Belajar
penemuan yang sangat bermakna jika dilakukan dengan melibatkan pebelajar dalam
penelitian secara ilmiah. Belajar bermakna merupakan proses mengaitkan
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat pada struktur kognitif
seseorang.
Menurut teori
belajar proses kognitif, belajar merupakan pertemuan antara faktor-faktor
internal pebelajar dan faktor-faktor eksternal pebelajar sehingga diperlukan
cara dalam memadukan kedua faktor tersebut. Teori ini menekankan pada
pemrosesan informasi kognitif yaitu bagaimana seseorang menerima, menyimpan dan
mengingat kembali informasi dari perbendaharaan ingatan.
Pembelajaran karenanya merupakan upaya
mengoptimalkan potensi internal dan eksternal pebelajar. Cara-cara
pengoptimalan itu dapat ditempuh dengan jalan: mengaktifkan motivasi,
memberitahu tujuan-tujuan belajar, mengarahkan perhatian, merangsang ingatan,
menyediakan bimbingan, melancarkan retensi, melancarkan transfer belajar dan
memperlihatkan penampilan pemberian umpan balik.
Pembelajaran menurut terapan teori
kognitif dapat dilakukan dengan langkah-langkah: memulai dari sederhana ke yang
kompleks, dari yang konkrit ke yang abstrak, dari umum ke khusus, dari yang
sudah diketahui kepada yang belum diketahui, menggunakan prinsip induksi ke
deduksi dan ditopang oleh penguatan (reinforcement).
c. Pola Belajar Pemecahan Masalah
Beberapa peneliti telah mengembangkan model umum untuk
menjelaskan proses pemecahan masalah seperti yang dilakukan Newell & Simon,
1972; Polya, 1957; Bransford & Stein, 1984 (Foshay & Kirkley, 2003:3).
Asumsi yang mereka pakai bahwa dengan belajar
sesuatu yang abstrak (decontextualized)
kecakapan pemecahan masalah merupakan satu-satunya kecakapan yang dapat
ditransfer untuk berbagai situasi lain (context).
Komponen terpenting dari teori Newell & Simon,
bahwa identifikasi dari karakteristik dasar proses informasi mempengaruhi
pemecahan masalah. Dengan demikian kinerja dari kemampuan pemecahan masalah
dipengaruhi oleh kapasitas, ketersediaan waktu, kecepatan pemanggilan kembali
dalam memori jangka pendek dan memori jangka panjang.
Bransford & Stein (1984:11) mengembangkan model
tersebut dan disebut dengan model pendekatan IDEAL. IDEAL adalah akronim dari
komponen-komponen model: (1) Identifying
problems, (2) Define and represent
the problem, (3) Explore possible
strategies, (4) Act on the strategies,
dan (5) Look back and evaluate the
effects of your activities. IDEAL dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan pengambilan keputusan. Dalam
terapannya kelima komponen dari kerangka kerja IDEAL ini akan selalu dilibatkan
dalam siklus kegiatan pemecahan masalah.
Di
lain pihak Polya mengembangkan prosedur pemecahan masalah atas dasar hakekat
kemampuan memecahkan masalah sebagai suatu proses. Menurut Polya (1957) ada
empat tahap proses pemecahan masalah yang dapat dibentuk dan dikembangkan. Pertama,
pemahaman (understanding the problem) pada masalah. Kedua, pembuatan rencana (devising a plan); Ketiga, pelaksanaan rencana (carrying
out the plan); Keempat, penilaian
kembali (looking back).
Belle Wallace dan Harvey B. Adams,1993
(Wallace & Bentley, 2002:7) telah berhasil mengadopsi cara-cara refleksi, kaji
ulang, dan percobaan penggunaan strategi pemecahan masalah yang dipublikasikan
dengan akronim TASC (Thinking Actively in
a Social Context). TASC menunjukkan kerangka kerja pengembangan berpikir (thinking) dan kurikulum pemecahan masalah
(problem-solving curriculum).
Komponen-komponen utama dari ajaran TASC adalah: (1) Berpikir (Thinking), (2) Aktif (Actively), (3) Sosial (Social), dan (4) Latar (Context). Temuannya yang penting
adalah, bahwa pebelajar dapat belajar dengan baik ketika mereka dapat
mengidentifikasikan diri dengan permasalahan-permasalahan kehidupannya sendiri
sehingga memiliki makna bagi kehidupannya.
Model pemecahan masalah begitu komplek
melibatkan aspek kognitif, tingkahlaku, dan komponen sikap (Foshay &
Kirkley, 2003:4), sehingga dapat
didefinisikan sebagai proses yang terdiri dari banyak tahapan. Mayer (1983)
menyatakan, bahwa pemecah masalah harus menemukan keterkaitan antara
pengetahuan yang telah dimiliki (skemata) dan masalah yang dihadapi, kemudian baru
dapat mengambil tindakan sebagai suatu penyelesaian (Foshay & Kirkley,
2003:4). Karena itu karakteristik pemecahan masalah merupakan: (1) pengetahuan
yang diinferensikan dari tingkahlaku; (2) hasil pemecahan masalah berupa
tindakan yang mengarah ke pemecahan masalah; (3) proses yang melibatkan
manipulasi atau operasi pada pengetahuan yang didapat sebelumnya.
Model Gick,1986 (Foshay & Kirkley,
2003:4) pada halaman berikut ini
merupakan model yang sering digunakan untuk pemecahan masalah. Dalam model Gick
(1986) terdapat tiga urutan dasar kegiatan proses kognitif dalam pemecahan
masalah: (1) menunjukkan masalah (represent
problem), yakni mengingat kembali konteks pengetahuan yang sesuai,
mengidentifikasi tujuan dan memulai kondisi yang cocok dengan masalah; kemudian
(2) mencari solusi (solution search),
yakni memperjelas tujuan dan mengembangkan rencana tindakan untuk mencapai
tujuan; dan (3) implementasi solusi (implement
solution), yakni melaksanakan tindakan yang telah direncanakan dan
mengevaluasi hasilnya.
Recall solution
Succeed
Fail
Gambar 2
Model Proses Pemecahan Masalah
Menurut Gick (1986) diadaptasi dari
Foshay & Kirkley (2003:4)
Bagi pebelajar yang sadar menghadapi
masalah mirip dengan yang sudah pernah dipecahkan, prosedurnya cukup mengulang
tindakan solusi yang sama (recall
solution). Dalam kenyataan banyak masalah sifatnya kompleks sehingga
prosedur pemecahannya menuntut tahapan dan siklus yang sama dengan bagan dalam
gambar. Dalam kasus demikian pebelajar akan mengurai masalah menjadi
tujuan-tujuan antara dan satu-persatu dari tujuan antara dipecahkan mengikuti
siklus dari proses tersebut.
Proses perubahan dari pemecahan masalah
yang terkecil, ke tujuan menengah, dan besar; akhirnya diperoleh pemecahan
akhir merupakan contoh dari urutan berpikir tingkat tinggi atau dikenal dengan
strategi kognitif. Inilah yang oleh Gagne,1985 (Foshay & Kirkley 2003:5)
definisi pemecahan masalah dikatakan sebagai refleksi dari prinsip-prinsip
tersebut dan karenanya kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu dari
kecakapan berpikir tingkat tinggi. Pemecahan masalah didefinisikan sebagai : “... the synthesis of other rules and
concepts into higher order rules which can be applied to a constrained
situation”.
Di samping
merupakan kecakapan berpikir tingkat tinggi, pemecahan masalah juga melibatkan
komponen sikap berupa keinginan untuk bekerja yang diikuti keyakinan untuk itu.
Motivasi dan aspek-aspek sikap seperti usaha, keyakinan, kecemasan, kegigihan
dan pengetahuan tentang diri kesemuanya menentukan bagi proses pemecahan
masalah; hal ini sejalan dengan pendapat Jonassen dan Tessmer, 1996 (Foshay
& Kirkley, 2003:5). Pendekatan
pemecahan masalah tidak cocok dan tidak efektif untuk mengajarkan sesuatu yang
abstrak (DeBono, 1983; Beyer, 1984 dikutip Foshay & Kirkley, 2003:5).
Pengajaran seperti ini tidak memberi efek penguasaan yang berbeda diantara
pemecah masalah yang bagus dan yang tidak bagus. Disimpulkan bahwa pengetahuan tentang konteks masalah
merupakan sesuatu yang kritis dalam kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan
pemecahan masalah merupakan sesuatu yang situasional dan tergantung pada
batas-batas menurut konteks, prosesnya tergantung pada kedalaman dari struktur
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang (Palumbo, 1990 dalam Foshay
& Kirkley, 2003:5).
Esensi pengajaran pemecahan masalah yang
autentik bila diajarkan pada situasi yang nyata. Pebelajar akan belajar
memecahkan masalah, dan hanya akan dapat menggunakan kemampuan ini pada situasi
lain yang mirip jika ia sudah pernah berhasil melakukan tindakan itu dengan
strateginya, meskipun konteksnya berbeda. Ia akan berhasil jika ada dukungan
serta memiliki struktur berpikir yang tepat. Kemampuan ini disebut transfer
belajar dan merupakan kemampuan yang sulit. Mahasiswa dalam belajar Akuntansi acapkali
gagal menguasai kemampuan transfer seperti ini.
Hayes (Henson & Eller, 1999:344)
menunjukkan metodologi dalam pembelajaran pemecahan masalah yang terdiri dari: (1) finding the problem; (2) representing
the problem; (3) planning the solution; (4) carrying out the plan for the
solution; (5) evaluating the solution; dan (6) consolidating gains. Pada
kesempatan lain Hayes (Solso, 2004:455) menyarankan lagi bentuk-bentuk
stereotip urutan tindakan kognitif untuk pemecahan masalah terdiri dari (1) identifying the problem, (2)
representation of the problem, (3) planning the solution, (4) execute the plan,
(5) evaluate the plan; dan (6) evaluate the solution.
Keterampilan
berpikir yang penting dalam pengembangan kemampuan individu mahasiswa dalam
pemecahan masalah diidentifikasi ada 7(tujuh) macam, yakni (1) understand/formulate the question in a problem, (2) understand the
conditions and variables in the problem, (3) select or find the data needed to
solve the problem, (4) formulate subproblems and select appropriate solution
strategies to pursue, (5)correctly implement the solution strategy or
strategies and solve subproblems, (6) give an answer in terms of the data in
the problem, dan (7) evaluate the reasonableness of the answer (Charles,
Lester dan O’Daffer,1994:7-9)
Dillard
dkk., 1982 (Suharsono, 1991:18) telah mengembangkan empat tahapan langkah
prosedural untuk memecahkan masalah-masalah dalam disiplin Akuntansi, menurut
pola struktur kerja sistem pemrosesan informasi dalam memori. Proses kerja itu
mengikuti tahapan: (1) memahami dan menentukan jenis masalah; (2) memanggil (retrieving) unsur-unsur masalah yang
telah tersimpan dalam memori; (3) memberikan rumusan pemecahan yang diajukan,
berdasarkan standar pencapaian sasaran yang telah ditetapkan; untuk kemudian
(4) membetulkan kesalahan yang dibuat, pindah ke masalah berikutnya, atau
berhenti sampai pada langkah tertentu bila seluruh elemen pokok sudah dapat
terpecahkan. Secara visual dapat diamati dari gambar bagan berikut.
Bagan
tersebut merupakan pola umum tentang bagaimana seorang pemula (novice) memecahkan masalah di bidang
Akuntansi Keuangan, pola itu disebut dengan KO (knowledge organization). Aspek-aspek PNP, ANP, dan IBP merupakan
tahapan proses transformasi informasi keuangan ke dalam bentuk
komponen-komponen tertentu sesuai dengan sistem Akuntansi yang dianut oleh
Badan Usaha atau lembaga pemakai sistem itu. KO telah
digunakan oleh Suharsono (1991) untuk mengembangkan pola dasar struktur
pembelajaran pemecahan masalah bidang Akuntansi dengan model “pola struktur kegiatan belajar-mengajar
melalui preskripsi ditambah balikan dosen secara lisan”.
|
|
|
Item Blok Pokok (IBP) |
|
|
|
||||
|
Memahami Masalah |
|
|
Algoritmik Nilai Perkiraan
(ANP) |
|
|
Jawaban
Pemecahan |
|
||
|
|
|
|
|
Penetapan Nilai Perkiraan (PNP) |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
|
||||
Gambar:
3
Organisasi
Pemecahan Masalah Akuntansi Sebagai Suatu Proses
Adaptasi dari Dillard dkk., 1982 (Suharsono,
1991:19)
Pola dasar
yang dikembangkan terdiri dari 7(tujuh) komponen
yakni : (1) orientasi, (2)tujuan pembelajaran, (3) penyajian
informasi, (4) asimilasi prosedur, (5) latihan, (6) balikan, dan ditambah
dengan prekripsi evaluasi berupa (7) pretes dan postes.
Cara
kerja model tersebut menggunakan sampel bahan belajar pemecahan masalah. Terdapat
10(sepuluh) sampel materi pemecahan masalah yang dikaji berkaitan dengan (1)
bidang pembelian, (2) penjualan, (3) beaya perlengkapan, (4) hutang dan beaya
pajak, (5) gaji dan beaya umum, (6) iklan dan promosi, (7) penyusutan aktiva,
(8) penyusutan tagihan dagang, (9) beaya bunga, dan (10) penghasilan bunga.
Pola prosedur pemecahan masalah yang
lain di antaranya diajukan oleh Klein (2002:355-360) dengan tahapan (1) defining
the problem, (2) a strategy for solving problem, (3) execution of the strategy,
(4) the problem solved. Pada tahap pendefinisian masalah ada dua hal pokok
yang harus dilakukan, yakni identifikasi kebutuhan untuk operasi atau tindakan
pemecahan masalah dan mengenali pembatas atau kendala yang terjadi jika
tindakan pemecahan masalah dilakukan.
Berdasarkan hal itu maka masalah ada
yang mudah didefinisikan (well-defined) dan ada yang samar atau
kabur (ill-defined) (Jonassen, 1997
dalam Silber, 2002:32). Masalah yang well-defined jika prosedur pemecahan
dari mulai hingga akhir mencapai tujuan sudah jelas dapat diidentifikasi,
sementara yang belum jelas disebut dengan masalah yang ill-defined. Mengubah masalah ill-defined
menjadi well-defined perlu melakukan
elaborasi menjadi sub-sub masalah yang dapat ditangani (Simon, 1973), dan
membuat kategori tingkatan kerumitan dari sub-sub masalah tersebut menjadi
pernyataan sub-sub masalah yang well-defined
(Wessels, 1982).
Dalam strategi pemecahan masalah ada
dua pendekatan yakni ‘an algorithm’
dan ‘a heuristic is a best guess or rule
of thumb solution’. Algorithma adalah aturan-aturan yang tepat digunakan
untuk memecahkan masalah yang spesifik; sedangkan strategi heuristik merupakan
semacam dugaan yang terbaik atau potong
kompas (cognitive shortcuts to problem)
sehingga dilihat dari ketepatannya masih mengandung resiko kegagalan, demikian klasifikasi oleh Amos Kahneman &
Daniel Tversky (Klein, 2002:359). Dalam kasus ini ada dua cara bisa dilakukan
yakni melacak balik cabang masalah (working-backward
heuristic) dan means-end analysis
(pendekatan heuristik yang sistematis, memecah masalah menjadi sub-sub masalah
kemudian tiap sub-masalah dipecahkan), inilah strategi yang dikenalkan Medin
& Ross, 1997 (Klein, 2002:359).
Selain kedua macam pendekatan heuristik
tersebut, ada yang lain yakni strategi representatif (representativeness strategy) dan strategi yang tersedia (availability strategy). Strategi yang
representatif termasuk pendekatan heuristik tetapi yang mengandalkan pendapat (judgment) hanya pada masalah yang
karakteristiknya sudah jelas. Pendekatan ini seringkali diterapkan tetapi untuk
kasus masalah yang pemecahannya tidak masuk di akal, sebagaimana dilaporkan
oleh Kahneman & Tversky, 1972, 1973 (Klein, 2002:359). Strategi yang
tersedia akan dipilih untuk diterapkan jika informasi masalahnya bisa dibaca
dan dapat dipikirkan (Levi & Pryor, 1987; Klein, 2002:360).
Langkah berikutnya adalah pelaksanaan
strategi pemecahan masalah (execution of
the strategy). Langkah terakhir
adalah menentukan alternatif pemecahan yang akurat (the problem solved). Seringkali sulit untuk mengetahui apakah
alternatif pemecahan yang akurat benar adanya dapat memecahkan masalah, untuk
itu perlu dilakukan koreksi ulang melihat pada tahapan-tahapan sebelumnya.
Ada dua alasan penting untuk melakukan
koreksi ulang, pertama bahwa jika memang benar pilihannya maka dapat mengungkap
masalah dan tujuan tercapai; kedua, gagal atau sukses dalam mencoba memecahkan
masalah memberi pengaruh terhadap tindakan pendekatan pemecahan masalah
berikutnya mungkin semakin efektif, tetapi juga bisa semakin tidak efektif jika
menderita gagal lagi.
Berpijak dari pendekatan heuristik
untuk mengembangkan kemampuan kognitif pemecahan masalah melalui latihan, Silber (2002:32) mengajukan model dengan 5(lima)
proses tugas belajar, terdiri dari (1) memilih informasi yang akan dilibatkan,
(2) menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, (3)
mengorganisasikan informasi, (4) mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam
struktur pengetahuan yang sudah ada, dan (5) memperkuat pengetahuan baru dalam
memori.
Setelah mengkaji berbagai pola prosedur
pemecahan masalah tersebut tampak adanya
kemiripan pola dalam pemecahan masalah. Upaya pemecahan masalah berlangsung
tahap demi tahap mengikuti alur kerja sistem pemrosesan informasi.
Jika dirangkum tahapan proses itu
mengikuti alur kerja yang berpola dasar dimulai dari (1) proses perolehan pemilihan
dan pemahaman terhadap informasi baru, (2) menghubungkan informasi baru dengan
struktur pengetahuan dalam memori, (3) pengorganisasian informasi, (4)
asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur pengetahuan yang sudah ada, dan
(5) memperkokoh pengetahuan baru ke dalam memori.
Melalui tahapan proses alur kerja
tersebut terbentuk struktur kognitif yang baru pada diri pebelajar. Struktur
kognitif baru ini kemudian disimpan dalam memori jangka panjang, yang pada saat
pebelajar menghadapi persoalan baru akan dipanggil kembali untuk sarana
pemecahan masalah.
Dari kesimpulan proses ini timbul
pertanyaan bagaimanakah pola pemecahan masalah untuk bidang Akuntansi yang
harus dikembangkan dalam penelitian ini? Untuk itu perlu dijelajahi substansi
masalah dalam bidang Akuntansi dan kemudian baru dapat dipreskripsikan pola
struktur pemecahan masalah sebagai substansi inti
dari pembelajaran Akuntansi.
d. Substansi Masalah Dalam Bidang Akuntansi
Pengetahuan
pada disiplin Akuntansi didominasi oleh pola struktur prosedural (prosedural
knowledge), pemecahan masalah dalam bidang Akuntansi didasarkan pada
proses alur kerja operasi pemrosesan informasi dalam memori si pemecah masalah.
Tujuan akhir dari pengembangan
disiplin Akuntansi menurut AECC, 1992 (Huang, O’shaughnessy & Wagner,
2005:283) adalah memenuhi fungsi komunikasi dan pengembangan informasi yang
mendukung pengambilan keputusan dalam perekonomian.
Untuk
dapat mengembangkan kemampuan itu, setiap orang yang bekerja atau terlibat
dalam bidang Akunting memerlukan sejumlah informasi yang berkaitan dengan
hasil-hasil pengukuran terdahulu, berikut sejumlah prosedur yang bisa
dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses
penyesuaian kembali nilai transaksi keuangan yang ada, agar informasi yang
diberikan sesuai dengan apa yang seharusnya ada.
Akan
tetapi, apapun jenis dan bentuknya, informasi keuangan yang disajikan tunduk pada
“konstruk dasar” yang telah disepakati sebagai domain bidang disiplin
Akuntansi. Konstruk dasar itu oleh Hermanson, Edwards dan Salmonson (1989:23)
digambarkan dalam persamaan berikut:
Harta = Hutang + Modal
(Assets) (Liabilities)
(Owner’s
Equity)
Dari persamaan dasar tersebut,
masing-masing komponen dielaborasi menjadi
Ragam transaksi keuangan yang
mengandung unsur kemampuan pemecahan masalah adalah transaksi keuangan yang
mengubah komposisi dan jumlah dari masing-masing komponen persamaan dasar
Akuntansi: Harta = Hutang + Modal.
Perubahan akibat transaksi itu
ragamnya ada yang hanya mengubah jumlah dan komposisi pada salah satu komponen
saja di antara Harta, Hutang dan Modal, tetapi ada juga yang mengubah jumlah
dan komposisi pada dua atau tiga komponen sekaligus dalam persamaan dasar
Akuntansi. Hermanson, Edwards dan Salmonson (1989:25-34) mengidentifikasi jenis-jenis transaksi antara
lain:
a.
Transaksi yang mempengaruhi
jumlah dan komposisi pada salah satu komponen persamaan dasar Akuntansi;
terdiri dari: (1) investasi tunai dari pemilik (Owner invested cash); (2) pinjam dana (borrowed money); (3) pembelian peralatan tunai (purchased equipment for cash); (4)
pembelian peralatan dengan kredit
(purchased equipment on account) atau (for-Credit).
b.
Transaksi yang mempengaruhi
jumlah dan komposisi neraca dan komponen persamaan dasar Akuntansi; terdiri
dari: (1) pendapatan jasa dan penerimaan kas tunai (earned service revenue and received cash);(2) piutang pendapatan
jasa (service revenue earned on account) atau (for Credit);(3) penerimaan piutang
tunai (collected cash on accounts
receivable);(4) pembayaran upah (paid
wages);(5) pembayaran biaya sewa
(paid rent);(6) penerimaan bukti utang untuk keperluan bahan bakar dan
minyak (received bill for gas and oil
used).
Masing-masing
jenis transaksi ini merupakan bahan pemecahan masalah, yaitu jenis materi
belajar prosedural dan prinsip dasar yang harus dikuasai oleh pebelajar untuk
dapat memperoleh kompetensi dan ketuntasan dalam belajar Akuntansi Jasa maupun
Akuntansi Keuangan secara keseluruhan.
Substansi
masalah yang lain adalah sehubungan dengan adanya ketentuan dalam hukum dagang
bahwa setiap Badan Usaha harus membukukan kegiatan usahanya, dan menyusun
laporan keuangan pada akhir tahun buku. Ketentuan ini menimbulkan usansi
menumpuknya masalah akuntansi dan penyelesaiannya berada di akhir tahun pada
siklus Akuntansi.
Produk
informasi akuntansi yang harus dihasilkan oleh manajemen untuk memenuhi tuntutan
hukum dagang itu berupa laporan keuangan yang isinya terdiri dari Neraca,
Laporan Rugi-Laba, Penjelasan atas Laporan Rugi-Laba dan Penjelasan atas
Perubahan kekayaan bersih atau perubahan modal.
Laporan
keuangan harus berisikan apa yang seharusnya ada pada saat laporan dikeluarkan (accrual basis). Sementara itu,
bukti-bukti atau data kegiatan usaha dibuat atas dasar apa yang sebenarnya ada
pada saat kejadian berlangsung (cash
basis). Pada setiap akhir periode perlu proses penyesuaian atas hasil-hasil
pengukuran terdahulu melalui kadiah dan prosedur tertentu dan benar, sesuai
norma pemeriksaan Akuntan yang berlaku umum.
Realitanya
dalam proses perkembangan usaha, perusahaan cenderung untuk menangguhkan
pembayaran atas beaya-beaya tertentu dan mempercepat proses penerimaan
penghasilan tertentu. Pos-pos penangguhan pembayaran pada umumnya dilakukan
atas pajak penghasilan kepada pemerintah, beaya pemakaian tenaga kerja, gaji
karyawan, beaya iklan dan promosi, serta pemakaian jasa fihak ketiga. Untuk itu
maka rekening “beaya” terutang harus dibuka sebagai perkiraan hutang antara (accrued
liabilities) untuk kemudian dikredit sebagai penambah kerugian tahun
berjalan. Akan tetapi apabila penundaan terjadi pada penerimaan jasa atau
penghasilan tertentu, maka perkiraan harta antara (accrued assets)
harus dibuka dan didebet dengan nilai yang sama dengan tambahan penghasilan
tahun yang berjalan untuk ini.
Fenomena
transaksi lain yang harus diperhitungkan adalah adanya beban yang telah dibayar
dalam siklus berjalan, namun seharusnya dipakai untuk beban beaya operasi tahun
yang akan datang. Kasus itu umumnya terjadi pada persekot pembayaran pajak
penjualan, persediaan beaya perlengkapan usaha, dan bunga atas hutang-hutang
Pada
akhir periode itu seluruh masalah yang ada harus diselesaikan serentak pada
saat yang sama, pemecahannya harus dilakukan secara integratif dengan melihat
keterkaitan sub-sub komponen sistem sebagai satu kesatuan.
Di
bidang Akuntansi, kasus yang penyelesaiannya memerlukan kemampuan berpikir
integratif itu adalah kasus yang ada pada saat penyusunan Neraca Lajur.
Kemampuan berpikir integratif pada kasus penyusunan Neraca Lajur, jika dipecah
menjadi sub masalah maka kemampuan prasyaratnya bermuara semenjak pemecahan
masalah persamaan dasar akuntansi, penjurnalan transaksi, posting buku-besar,
rekapitulasi buku besar untuk memperoleh neraca percobaan, proses pengecekan
kebenaran mutasi masing-masing rekening buku-besar dengan neraca saldo, posting
ayat jurnal penyesuaian, perhitungan neraca saldo perbaikan dan akhirnya
penyelesaian laporan keuangan, dan ditindak lanjuti proses tutup rekening
buku-besar, jurnal balik dan buka kembali rekening buku-besar awal tahun.
Semua
sub masalah tersebut kedalaman isi materinya bermuara pada pengklasifikasian
jenis rekening menurut tingkat kelancaran pencairan dana untuk sisi aktiva, dan
menurut tingkat percepatan pemenuhan kewajiban untuk sisi pasiva. Kode rekening
buku-besar menunjukkan peranan penting tentang hal ini. Secara garis besar maka
pada sisi aktiva dipilahkan sub masalah menjadi masalah tentang akuntansi
aktiva lancar versus aktiva tidak lancar (aktiva tetap), pada sisi pasiva
dikenal sub masalah tentang akuntansi untuk kewajiban jangka pendek versus
jangka panjang, dan masalah tentang prive serta perubahan modal atau ekuitas.
Berpijak
pada komponen dan aspek masalah tersebut, untuk mengungkapkan kemampuan
menggunakan prosedur pemecahan masalah dalam penelitian ini dikembangkan
7(tujuh) perangkat materi pembelajaran yang berjenjang dari aplikasi konsep
pencatatan secara berpasangan (double
entry recording), hingga pada aplikasi kemampuan pada “proses penyusunan
laporan keuangan melalui Neraca Lajur”.
Pokok
persoalan yang dipakai sebagai dasar pengukuran perkembangan kemampuan
menemukan prosedur pemecahan masalah adalah perkembangan kemampuan penguasaan
menggunakan prosedur pemecahan masalah sebagai hasil belajar pengenalan pola
dan perkembangan kemampuan menemukan prosedur baru pemecahan masalah sebagai
hasil belajar urutan tindakan dalam pemecahan masalah kasus-kasus Akuntansi
sesuai dengan tingkat kerumitan masalah mulai dari kasus yang sederhana hingga
yang kompleks.
Antar
kaitan kedua jenis kemampuan yang dimaksud berikut pemilihan topik bahasannya
di bidang Akuntansi dibahas lebih lanjut pada analisis tugas belajar yang
dituangkan dalam preskripsi sampel program pembelajaran.
Aspek-aspek yang harus diperhatikan
menurut para ahli psikologi dalam menggunakan pendekatan pemecahan masalah
dalam kelas (Henson & Eller, 1999:346) adalah (1) bagian awal (the initial state), yaitu situasi dan
kondisi ketika masalah diidentifikasi, (2) bagian menengah (the intermediate state), yakni ketika pebelajar memulai melakukan
proses pemecahan masalah, dan (3) bagian tujuan akhir (the goal state), yakni hasil pemecahan masalah yang dicari.
Dalam konteks ini National Center for
Research on Evaluation, Standards, and Student Testing (CRESST) (1998:2) telah
memformulasikan lima macam jenis pembelajaran proses kognitif (the five families of learning) yang
diprakarsai oleh Baker (1995) yakni pembelajaran (1) pemahaman isi (content understanding), (2) kolaboratif (collaborative), (3) komunikasi (communication), (4) pemecahan masalah (problem solving), dan (5) metakognitif (metacognitive).
Penggolongan tersebut didasarkan pada
pengaruh tingkat keterlibatan pebelajar dalam kerjasama terhadap keseluruhan
pembelajaran. Terkait dengan kebutuhan informasi untuk pengembangan struktur
kognitif dan pengaruh lingkungan teknologi informasi, bentuk belajar
kolaboratif merupakan salah satu pola belajar pemecahan masalah yang dapat
dipertimbangkan sebagai unsur pengembangan.
Beberapa keuntungan pola ini (Klein,
O’Neil & Baker, 1998:5) antara lain: (1) mempercepat pemahaman dan
pendalaman pengertian, semakin tinggi tingkat harga diri, sikap terhadap kawan,
keterampilan sosial (Webb, 1995; Webb & Palincsar, 1996), (2) kelompok
dapat belajar untuk siap kerja, di mana keterampilan interpersonal dan kerja
tim disadari sebagai faktor penentu kesiapan kerja di masa datang (o’Neil,
Allred, & Baker, 1997), (3) peneliti di bidang pendidikan, industri dan
militer telah mengakui bahwa kerjasama dapat meningkatkan belajar, unjuk kerja
tugas, produktivitas kerja, dan kualitas hasil, (4) di lingkungan kerja, kerja
tim berpotensi untuk meningkatkan daya kompetisi anggota dalam kerja tim.
Dalam kerja tim mahasiswa dapat belajar
dua keterampilan, yakni (1) keterampilan kerja tugas (taskwork skills), dan (2) keterampilan kerja dalam tim (teamwork skills).
Setelah mengkaji beberapa pendapat dan
eksemplar tentang prosedur dan tahapan pemecahan masalah, dapat disimpulkan
bahwa dengan mempertimbangkan eksemplar pola dasar pemecahan masalah sekurang-kurangnya
terdapat tiga fase pokok yang harus dilalui seseorang untuk memecahkan suatu
masalah. Sedangkan informasi pada awal kegiatan belajar, dan pengetahuan hasil
belajar terdahulu, merupakan prasyarat bagi pembentukan struktur kognitif dalam
memori, tempat mengintegrasikan apa yang didapatkan melalui ketiga fase
pemecahan masalah itu menjadi suatu bentuk kemampuan baru. Dalam konteks ini
peranan lingkungan dalam belajar kolaboratif dapat mendukung pembentukan
struktur kognitif yang lebih efektif dan efisien.
Berlandaskan pada
pola pemecahan masalah model Gick, 1986; Silber, 2002 dan memperhatikan
substansi masalah dalam bidang Akuntansi, serta penentu pengembangan kompetensi
akuntansi sebagaimana yang dinyatakan Libby & Luft (1993:433), maka dalam
pengembangan ini dipreskripsikan struktur pola dasar pendekatan pemecahan
masalah. Selain itu, preskripsi pengelolaannya perlu mempertimbangkan faktor
lingkungan yang dikondisikan menurut lingkungan belajar kolaboratif (collaborative
learning environtment) sebagaimana yang telah dikaji oleh (Klein, O’Neil
& Baker, 1998:5).
Bagan pada gambar berikut menampilkan
komponen dan tahap-tahap pola dasar struktur kegiatan proses pemecahan masalah
yang dipreskripsikan.
Lingkungan
Belajar Kolaboratif
Pemanggilan Kembali Solusi
Berhasil
Gagal
Lingkungan Belajar Kolaboratif
Gambar 4
Preskripsi Pola Dasar Struktur Kegiatan
Proses Pemecahan
Masalah Bidang Akuntansi
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
sekurang-kurangnya terdapat tiga fase utama yang dilalui dalam struktur pola
dasar proses pemecahan masalah, ditambah kegiatan umpan balik. Informasi pada awal kegiatan belajar, dan pengetahuan
hasil belajar terdahulu merupakan prasyarat bagi terbentuknya struktur kognitif
dalam memori sebagai tempat untuk berlangsungnya asimilasi prosedur sehingga
menjadi pengetahuan dan kemampuan baru.
3. Karakteristik
Pembelajaran Konvensional Pengajaran Akuntansi.
Dalam konteks ini yang dimaksud
pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berpusat pada dosen. Bermula
dosen menyajikan uraian dengan ceramah diikuti sajian contoh-contoh parsial
dari prosedur kasus tertentu. Dalam kegiatan itu mahasiswa mendengar, menyimak
dan mencatat, atau bertanya jika kurang atau belum memahami obyek yang dibahas.
Dosen menjawab pertanyaan dan kemudian diikuti dengan latihan kerja mandiri
sebagai umpan balik. Pada tahap satu satuan unit pembelajaran tertentu purna,
dosen memberikan tugas resitasi individual dan hasilnya dilaporkan sebagai
bagian kegiatan kuliah terstruktur. Dosen akan memberikan gradasi nilai untuk
komponen tugas sebagai bagian dari penilaian akhir matakuliah. Strategi
pembelajaran konvensional berpusat pada dosen, sehingga materi pengajaran
disampaikan langsung oleh dosen (direct
instruction).
Mursell (1954:23) menguraikan bentuk
penyajian pengajaran konvensional yang terdiri dari (1) semua bahan yang
dipelajari dibagi-bagi dalam kelompok kecil yang disebut unit; (2) sebelum
suatu pelajaran diuraikan lebih lanjut, diberikan secara garis besar
kepada pebelajar; (3) pengajar
memberi tugas kepada pebelajar; (4) tugas utama pengajar dalam kelas
adalah meneliti apakah tugas-tugas itu dikerjakan oleh pebelajar; (5) teknik
yang digunakan kebanyakan hafalan.
Dalam pembelajaran Akuntansi, bentuk
penyajian materi yang menggunakan strategi konvensional dimulai dari
penyampaian tujuan pembelajaran, menguraikan materi, menyajikan contoh beserta
penyelesaiannya, memberi kesempatan kepada pebelajar untuk bertanya, memberikan
penjelasan terhadap pertanyaan pebelajar, memberikan latihan soal, penyelesaian
soal bersama-sama dosen dan pebelajar, dan kemudian diakhiri dengan pemberian
tugas atau resitasi individual untuk dikerjakan di rumah. Secara garis besar
urutan kegiatan pembelajaran konvensional tampak sebagaimana pada gambar
diagram berikut.
Merumuskan Tujuan Pembelajaran Melakukan Tanya Jawab
Menginformasikan Tujuan Pembelajaran Memberikan Soal Latihan
Menyampaikan Materi Pembelajaran Menjawab Soal Latihan Bersama-sama Pebelajar
Gambar 5
Diagram Sintak Pembelajaran Konvensional
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pembelajaran
konvensional adalah pembelajaran yang tahap-tahap dalam penyajian materi
sebagian besar alokasi waktu digunakan oleh dosen dalam mengajar. Materi kuliah
disampaikan secara konvensional dengan aktivitas mengajar berpusat pada dosen
dengan mengutamakan kegiatan ceramah dan tanya jawab kepada masing-masing
individu tidak dalam kegiatan kelompok. Sebaliknya kegiatan mahasiswa pada
umumnya menggunakan waktu untuk mendengarkan ceramah tentang uraian materi dari
dosen. Mahasiswa belajar dan bekerja
secara individu.
4. Keunggulan dan Kelemahan
Pembelajaran Konvensional
Keunggulan strategi
pembelajaran konvensional adalah: (1) memberikan keuntungan bagi dosen atau
program pembelajaran yang lebih menekankan pada pencapaian target materi,
karena materi cepat tersampaikan kepada pebelajar; (2) dapat digunakan pada
pembelajaran yang diikuti oleh mahasiswa dalam jumlah besar; (3) mudah
dilaksanakan, karena tanpa panduan yang harus dipersiapkan secara khusus; (4)
dapat diterapkan pada materi yang lebih banyak fakta dan konsep hafalan.
Kelemahannya adalah:
(1) kurang memberikan kesempatan bagi berkembangnya kreativitas mahasiswa; (2)
kurang mendorong sikap kemandirian mahasiswa; (3) cenderung menumbuhkan sikap
pasif pada diri mahasiswa; (4) kurang menumbuhkan sikap solidaritas antar
mahasiswa.
B.
Strategi Pengorganisasian Isi Pembelajaran
Pengorganisasian isi
pengajaran menentukan hasil pembelajaran. Dalam strategi pengorganisasian isi
dikenal strategi tingkat mikro dan makro. Pada tingkat mikro lebih cenderung
orientasi pada anlisis isi dan tugas: (1) prasyarat belajar atau herarkhi
belajar (Robert Gagne, 1968, 1977), dan (2) pendekatan proses informasi
terhadap analisis tugas (Bergan, 1980).
Keterbatasan
pengorganisasian isi pada tingkat mikro kemudian mendorong pemikiran kepada
analisis untuk keseluruhan isi bidang studi pada tingkat makro. Gropper, 1974;
Landa, 1974; P. Merill, 1971; Resnick, 1973; dan Scandura,1973. (Regeluth &
Stein, 1983:339).
Pengorganisasian tingkat
makro mencakup analisis isi, tugas menurut urutan pengajaran, dan proses
informasi serta penataan menurut pendekatan elaborasi kognitif.
1.
Karakteristik Isi Pengetahuan Untuk Pengajaran Akuntansi
Karakteristik isi
pengetahuan untuk pengajaran Akuntansi dapat dibagi menjadi 3(tiga) yakni (1)
struktur orientasi, (2) struktur pendukung, dan (2) struktur ganda (Reigeluth,
1983:348-349). Struktur orientasi
mencakup semua atau sebagian besar isi bidang studi yang akan disajikan.
Struktur pendukung merupakan struktur isi bidang studi yang berfungsi sebagai
pelengkap untuk memfasilitasi kegiatan belajar. Struktur ganda merupakan
gabungan antara kedua struktur yang disebut sebelumnya.
a. Jenis Pengetahuan
Secara umum pengetahuan
dapat diklasifikasi menjadi 4(empat) macam, yakni (1) fakta, terdiri dari
pengetahuan tentang definisi dan rincian atau elemen-elemen pengetahuan; (2) konsep,
terdiri dari klasifikasi atau kategori, prinsip, dan pengetahuan tentang teori,
model dan struktur; (3) prosedur, terdiri dari pengetahuan tentang keahlian tertentu
dan algoritma, pengetahuan tentang teknik dan metode tertentu, pengetahuan
tentang kreteria untuk memutuskan kapan prosedur tepat digunakan; (4)
metakognitif, terdiri dari strategi pengetahuan, pengetahuan tentang tugas
kognitif termasuk pengetahuan konteks dan kondisi, dan pengetahuan diri sendiri
(Anderson, 2003:34).
Representasi
pengetahuan dalam taksonomi sistem memori menurut Squire (1986) dan Squire et
al. (1990) dilaporkan Solso (2001:284) diklasifikasi menjadi pengetahuan
deklaratif (declarative) dan
nondeklaratif (nondeclarative). Pengetahuan
deklaratif terdiri dari fakta semantik (semantic
facts) dan peristiwa episodik (episodic
events); sedangkan untuk pengetahuan nondeklaratif terdiri dari kecakapan (skills), prioritas/keutamaan (priming), disposisi (dispositions), non-asosiasi (nonassociative) atau tipe memori yang
lain.
Bentuk penyajian
informasi sebagai pengetahuan berupa: proposisi, produksi dan gambaran mental
(Dahar, 1989:49). Proposisi menyajikan pengetahuan deklaratif. Sedangkan produksi
menyajikan pengetahuan prosedural. Gambaran
mental menyajikan analogi obyek konkrit dengan cara memanipulasi informasi
spasial.
Ditilik dari
strukturnya pengetahuan prosedural terdiri dari struktur prosedural prasyarat
dan struktur prosedural putusan. Struktur prosedural prasyarat menunjukkan
hubungan-hubungan prasyarat dengan spesifikasi urutan langkah berupa prosedur.
Sedangkan struktur prosedural putusan menunjukkan hubungan-hubungan yang
mendeskripsikan hal-hal yang diperlukan dalam pengambilan suatu keputusan
tentang prosedur atau sub-prosedur yang tepat untuk digunakan pada situasi
tertentu.
Dengan memperhatikan
klasifikasi struktur orientasi, maka pengorganisasian isi dalam peristiwa
pembelajaran akan lebih potensial memberikan kebermaknaan belajar mahasiswa
bilamana pada akhir pada setiap penyajian diberikan sintesis, rangkuman dan
umpan balik.
b. Perbedaan Pengetahuan Deklaratif dan
Prosedural
Gagne, 1977 (Dahar,
1989:42) mengungkapkan adanya perbedaan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan
prosedural. Mengetahui perbedaan antara
pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural sangat berguna untuk
kepentingan mengetahui kondisi-kondisi belajar yang diperlukan karena cara
mempelajari juga berbeda antara keduanya, meskipun antar keduanya saling
berinteraksi. Berikut dapat dibutiri perbedaan tersebut.
Tabel 1
Perbedaan
Pengetahuan Deklaratif dan Prosedural
Dimensi |
Pengetahuan Deklaratif |
Pengetahuan Prosedural |
Bentuk |
Informasi verbal |
Ketrampilan
gerak, ketrampilan intetektual (pemecahan masalah, aturan dan prinsip,
konsep, dan diskriminasi), dan strategi kognitif. |
Hasil belajar |
Menyatakan apa
sesuatu itu. |
Menyatakan
bagaimana melakukan sesuatu itu |
Aktivasi |
Berlangsung
lambat, dilakukan secara sadar |
Sekali
dipelajari, aktivasi cepat dan otomatis |
Penguasaan |
Harus
menyeluruh atau tidak sama sekali. |
Bisa random
tergantung motivasi dan kontrol pebelajar tetapi dalam unjuk kerja harus
prosedural |
Komunikasi |
Secara verbal |
Peragaan
prosedur atau demonstrasi |
Penyajian |
Proposisi |
Produksi dan
gambaran mental (analogi obyek konkrit memanipulasi informasi spasial). |
Mukhadis (2003:12) telah
mengidentifikasi hakikat belajar pengetahuan prosedural, yakni:
(1)
merupakan proses
belajar tentang bagaimana melakukan sesuatu untuk memecahkan masalah tertentu,
dan bukan mempelajari tentang apa sesuatu itu (Dahar , 1988, dan Gagne, 1985).
(2)
adalah proses
mempelajari tentang operasi (knowledge
about operations), baik dalam ranah motorik maupun ranah kognitif, dan
bukan proses mempelajari pengetahuan tentang suatu objek (knowledge about objects) (Landa, 1980:164).
(3)
adalah proses
mempelajari pengetahuan tentang bagaimana menerapkan konsep, aturan atau pun prinsip untuk memecahkan
masalah pada situasi tertentu, dan bukan proses mempelajari pengetahuan tentang
apa sesuatu itu, menurut Tennyson (1989:4).
Dari ketiga
penjelasan ini maka hakikat mempelajari isi prosedural adalah untuk menguasai
pengetahuan prosedural yang berbeda karakteristiknya dengan pengetahuan
deklaratif ataupun pengetahuan teoretik.
Karakteristik lain yang membedakan jenis
pengetahuan prosedural dengan pengetahuan yang lain adalah:
(1)
kapasitas substansi isi
yang dipelajari termasuk dalam ranah keterampilan intelektual Gagne, Anderson
dan Ryle (Anderson, Spiro dan Montague, 1977) dikutip Mukhadis (2003:14)
(2)
strategi penyajian isi
yang dipelajari dikemas dalam bentuk produksi (aturan kondisi dan tindakan)
yang memungkinkan terjadinya suatu tindakan pada kondisi tertentu. Bentuk
hubungan antara aturan kondisi dan alternatif tindakan dapat diungkapkan dalam
kalimat:“Jika… (aturan kondisi), maka … (tindakan)”.
(3)
pengetahuan tipe isi
prosedural sifatnya lebih dinamis karena sebagai hasil pengaktifan informasi,
dimana dalam prosesnya bentuk masukan informasi (stimulus) akan berbeda dengan
keluarannya (respon).
(4)
proses pemanggilan
kembali (retrieval) informasi prosedural dari memori jangka panjang dalam
struktur kognitif untuk melakukan pemecahan masalah merupakan proses integrasi
yaitu proses elaborasi dan strukturisasi skemata dalam knowledge base pada
struktur kognitif pebelajar.
Ditilik dari taksonomi hasil
belajar Gagne, 1974 (Suhana Chikatla, diambil 20 April 2005 dari http://usaidd.net/~chikatla/misc/
iddcoceptmap.pdf) dapat ditengarai perbedaan antara pengetahuan deklaratif,
prosedural dan afektif.
Gambar 6
Diagram Ranah
Belajar Menurut Gagne (1974) diadaptasi dari Suhana Chikatla (diambil 20 April
2005 http://usaidd.net/~chikatla/misc/iddcoceptmap.pdf)
Hasil belajar pengetahuan
deklaratif adalah berupa informasi verbal (verbal
information). Hasil belajar pengetahuan prosedural terdiri dari (1)
ketrampilan gerak (motor skills), (2)
ketrampilan intelektual (intellectual
skills), dan (3) strategi kognitif (cognitive
strategies). Hasil belajar pengetahuan afektif adalah pembentukan sikap (attitudes). Dalam hasil belajar
ketrampilan intelektual antara lain terdapat kemampuan pemecahan masalah (problem solving), aturan dan prinsip (rules and principles), konsep-konsep (concepts) serta perbedaan-perbedaan (discriminations).
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pengetahuan prosedural secara hakiki memiliki perbedaan dalam
substansi isi, strategi penyajian, tipe dan sifat serta proses kerja informasi
dalam struktur memori, sehingga memerlukan preskripsi pengorganisasian yang
khusus untuk mendapatkan hasil belajar yang bermakna dan maksimal.
c. Belajar Pengetahuan Prosedural
Ada dua bentuk prosedur
yang perlu diketahui dalam belajar pengetahuan prosedural, yakni (1) prosedur
pengenalan pola dan (2) prosedur urutan-aksi atau tindakan (Dahar, 1989:64).
Prosedur pengenalan
pola mendasari kemampuan untuk mengenal dan mengklasifikasikan pola-pola
stimulus internal dan eksternal. Prosedur urutan-aksi atau tindakan mendasari
kemampuan untuk melakukan urutan-urutan operasi terhadap simbol-simbol. Dalam
praktik pemecahan masalah prosedur pengenalan pola dan urutan tindakan menjadi
saling terkait; namun demikian pada awal-awal peristiwa belajar antara keduanya
perlu dipisahkan.
Dalam kasus pemecahan
masalah prosedur pengenalan pola acapkali dalam praktiknya akan digabungkan
dengan prosedur urutan tindakan. Hubungan antara prosedur pengenalan pola
dengan prosedur urutan tindakan, perwujudannya mirip dengan hubungan antara
konsep-konsep dan aturan-aturan (Gagne, 1977; Anderson, 1982).
Pengenalan pola
merupakan prasyarat kondisi yang diperlukan untuk penerapan aturan. Pola atau
struktur merupakan prasyarat untuk tindakan atau aksi. Prosedur pengenalan pola
dan urutan tindakan sangat berhubungan dalam tindakan, tetapi proses belajar
untuk keduanya adalah berbeda. Karena itu substansi isi bahasan dari materi
yang dibelajarkan juga berbeda. Contoh: membelajarkan bukti transaksi kuitansi
di antara bukti transaksi keuangan yang lain berbeda dengan membelajarkan
bagaimana membuat kuitansi sebagai bukti transaksi keuangan.
Cara perolehan
pengetahuan prosedur pengenalan pola
dipelajari tanpa instruksi langsung. Proses yang terlibat adalah
generalisasi dan diskriminasi. Generalisasi adalah respons yang diberikan
pebelajar dengan cara serupa pada stimulus-stimulus yang berbeda. Generalisasi
terjadi secara otomatis, jika dua produksi yang mempunyai aksi sama berada
dalam memori kerja pada waktu yang sama (Anderson, 1982; Dahar, 1989:69).
Mekanismenya adalah mencari kondisi-kondisi yang serupa, dan menghilangkan
kondisi-kondisi yang unik, kemudian melahirkan
produksi yang baru yang mempertahankan kondisi-kondisi yang sama.
Generalisasi
meningkatkan daerah situasi-situasi untuk penerapan suatu prosedur, sedangkan
diskriminasi justru mengurangi atau mempersempit daerah ini.(Anderson dalam Dahar,
1989:70).
Diskriminasi
mengakibatkan penambahan pada bagian kondisi dari suatu produksi. Diskriminasi
dirangsang bila suatu prosedur yang telah dikenal, tidak dapat diterapkan.
Kegagalan akan memotivasi pebelajar untuk memahami perbedaan antara situasi di
mana prosedur tidak dapat diterapkan dan stituasi-situasi sebelumnya saat
prosedur dapat diterapkan.
Dalam situasi tertentu
bisa saja pebelajar mendapat bantuan pembelajar, tetapi dalam situasi lain
dapat saja pebelajar mendapatkannya dari setelah membaca bahan bacaan, atau
melakukan coba-coba. Tujuannya adalah untuk menentukan apakah yang membedakan
situasi-situasi di mana prosedur dapat berhasil, dan situasi-situasi di mana prosedur
gagal. Sekali perbedaan itu ditemukan, situasi itu akan ditambahkan pada
produksi sebagai suatu kondisi yang perlu untuk menerapkan produksi tersebut.
Dari konteks ini maka
bantuan instruksional penting untuk kasus diskriminasi. Dalam generalisasi
seleksi dan urutan tindakan, contoh-contoh merupakan hal yang penting untuk
meningkatkan kemungkinan seorang pebelajar membentuk produksi pengenalan pola
yang benar. Dalam diskriminasi yang penting adalah seleksi dan urutan dari
tindakan yang bukan contoh dari konsep yang sedang dibelajarkan atau yang
sedang dipelajari pebelajar.
Proses belajar urutan
tindakan adalah lambat, karena prosesnya berjalan dengan banyak membuat
kesalahan. Anderson (Dahar, 1989:72) menggambarkan prosesnya sebagai berikut.
Bermula pebelajar menyajikan urutan aksi dalam bentuk deklaratif; kemudian
berkembang suatu penyajian prosedural urutan aksi dengan pengalaman dalam
mencoba yang menghasilkan urutan aksi.
Proses demikian ini
merupakan kompilasi pengetahuan, yakni proses pembentukan suatu penyajian untuk
urutan-urutan aksi yang menuju pada tindakan yang lancar dan cepat atau instan.
Kompilasi pengetahuan dengan demikian mengandung dua sub-proses yaitu
proseduralisasi dan komposisi.
Proseduralisasi adalah
pengguguran perangsang-perangsang dari pengetahuan deklaratif, sedangkan
komposisi adalah penggabungan beberapa prosedur menjadi satu prosedur.
Langkah-langkah belajar
urutan aksi, dimulai dengan penciptaan suatu penyajian proporsional untuk
prosedur, diikuti langkah kedua yakni menciptakan satu produksi untuk
menyajikan setiap langkah dalam urutan aksi. Selama proseduralisasi kedua
langkah ini selalu terjadi.
Sub-proses lain dari
belajar urutan aksi oleh Anderson, 1982 (Dahar, 1989:73) disebut komposisi.
Selama komposisi beberapa produksi digabung atau disatukan. Agar terjadi
komposisi, suatu urutan dari dua produksi harus diaktivasi dalam memori kerja
pada waktu bersamaan.
Hakekat mempelajari
pengetahuan prosedural adalah mempelajari sejumlah aturan langkah-langkah atau
prosedur dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan untuk diikuti dan
dikembangkan dalam mencapai tujuan belajar tertentu (pemecahan masalah). Dengan
kata lain belajar pengetahuan prosedural adalah belajar bagaimana melakukan
sesuatu untuk mencapai tujuan untuk memecahkan masalah tertentu, dan bukan
mempelajari pengetahuan tentang apa sesuatu itu. Jadi menguasai pengetahuan
prosedural berbeda substansinya dengan belajar menguasai pengetahuan deklaratif.
d. Hasil Belajar Pengetahuan Prosedural
Secara substansi pengorganisasian isi
pembelajaran adalah untuk meningkatkan hasil belajar pemecahan masalah. Telah
diketahui bahwa pengetahuan prosedural terdiri dari prosedur pengenalan pola,
dan prosedur urutan tindakan.
Hasil belajar prosedur
pengenalan pola merupakan representasi dari kemampuan mengenal dan
mengklasifikasikan pola-pola stimulus baik internal maupun eksternal dalam
upaya pemecahan masalah. Indikatornya adalah terjadinya proses diferensiasi dalam memori jangka panjang
dalam struktur kognitif pebelajar.
Hasil belajar prosedur
urutan tindakan, merupakan representasi kemampuan dalam melakukan urutan
tindakan (operasi prosedur) terhadap simbul-simbul dalam pemecahan masalah.
Indikatornya adalah ketepatan melakukan serangkaian tindakan yang pada akhirnya
menghasilkan pemecahan masalah menurut kondisi tertentu.
Hasil belajar sebagaimana
dijelaskan menurut kemampuan differensiasi dan kemampuan operasi prosedur
urutan tindakan dalam pemecahan masalah pada kondisi tertentu oleh
Indikator penguasaan untuk kemampuan
penguasaan urutan tindakan (operasi prosedur), merupakan refleksi dari proses
diferensiasi dan integrasi dan atau penciptaan pengetahuan baru melalui
pembentukan dan pengembangan skemata baru yang diaktualisasikan dalam bentuk
tindakan pemecahan masalah pada kondisi tertentu (Tennyson, 1989:6-8; Mukhadis,
2003:20).
Secara ringkas dilukiskan dalam proses
penstrukturan kognitif sebagaimana diagram gambar 7 berikut ini.
JENIS UNJUK KERJA |
|
SITUASI |
|
PROSES STRUKTUR KOGNITIF |
|
KRITERIA |
|
TINGKATAN UNJUK KERJA |
|
|
1. Dikenal sebelumnya |
|
Diferensiasi dari skemata yang ada |
|
Bagian dari skema |
|
|
1.Pengenalan Pola |
|
|
|
|
|
|
|
Recall |
|
|
2.
Dikenal sebelumnya atau baru |
|
Diferensiasi dan atau integrasi dan skemata
yang ada |
|
Bagian dari skema |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2. Tidak dikenal sebelumnya |
|
Diferensiasi dan integrasi pembentuk
skemata yang baru |
|
Bagian dari skema |
|
|
2.
Urutan Tindakan |
|
|
|
|
|
|
|
Problem solving |
|
|
3. Tidak dikenal sebelumnya |
|
Penciptaan pengetahuan dan integrasi pengembangan sekemata baru |
|
Mengem-bangkan kriteria baru |
|
|
Gambar 7
Proses
Penstrukturan Kognitif dalam unjuk Kerja Pengenalan Pola dan Urutan Tindakan
(diadaptasi dari Mukhadis, 2003:21)
Proses diferensiasi, integrasi dan
penciptaan pengetahuan baru dalam struktur kognitif pebelajar sebagai
pembentukan skemata baru dalam upaya tanggap terhadap situasi baru atas dasar
sekemata yang dimiliki merupakan peristiwa transfer belajar. Peristiwa transfer
belajar ini dapat terjadi pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor.
Terdapat tiga dimensi transfer belajar
yakni (1) transfer positif dan negatif; (2) transfer vertikal (pada topik-topik
tertentu) yang lebih kompleks dan horizontal (pada topik-topik yang
berhubungan), dan (3) transfer yang direncanakan maupun insidental sifatnya.
(Gallway, 1976:187 dikutip Mukhadis,
2003:22)
Dalam
pembelajaran yang perlu ditekankan adalah memfasilitasi kemudahan dan
mengoptimalkan terjadinya transfer belajar yang positif, vertikal atau
horizontal, baik yang direncanakan maupun yang insidental.
Pengorganisasian isi bahan belajar dalam
bentuk frame bahan belajar yang dikemas dalam Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
akan menentukan mutu pembelajaran dan transfer hasil belajar.
Pengorganisasian
isi bahan belajar menurut teori psikologi kognitif berlaku sebagai sumber
belajar dan obyek pengamatan yang memberikan stimulan bagi pembentukan struktur
kognitif yang baru yang lebih bermakna dari struktur kognitif yang sudah ada
(skema). Dalam kasus belajar Akuntansi untuk Perusahaan Jasa, dipreskripsikan
sebanyak 7(tujuh) frame bahan belajar yang dikemas dalam bentuk SAP.
e. Pengetahuan Prosedural Akuntansi
Setelah mengkaji
berbagai pola pendekatan pemecahan masalah dan jenis isi pengetahuan yang
menjadi obyek pengajaran, serta identifikasi hasil belajar pengetahuan
prosedural, maka dalam bidang Akuntansi dapat dikenali jenis-jenis pengetahuan
yang relevan dan analog dengan jenis pengetahuan menurut pola pendekatan yang
sudah dikenal.
Pada dasarnya
pengetahuan prosedural berisi himpunan dari rangkaian prosedur yang tertib,
urut dan holistik mengikuti sekuensi tertentu. Akuntansi, keberlakuannya tunduk
dan mengikuti Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) yaitu seperangkat konsep,
standar, prosedur, metoda, konvensi, dan praktik yang sehat yang dipilih atau
didukung berlakunya serta dijadikan pedoman umum.
Pengetahuan Akuntansi
memiliki konstruk dasar persamaan Akuntansi yang struktur substansi isinya
dapat berupa (1) komponen-komponen dan saling hubungannya yang menggambarkan
bagaimana pelaporan keuangan dalam suatu negara tersusun dan beroperasi, (2)
penggambaran pengertian akuntansi secara luas sebagai teknologi, bidang studi,
dan profesi, (3) penguasaan pengetahuan akuntansi menjadi bekal untuk memasuki
bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat seseorang, dan (4) basis untuk
mengembangkan kurikulum dan kompetensi pembelajar akuntansi (Suwardjono, 2002).
Dalam khasanah
Akuntansi dapat ditengarai dua kelompok pengetahuan prosedural pokok yakni (1)
prosedural herarkhi menurut siklus waktu dan proses kegiatan pencatatan atau
dikenal dengan struktur prosedural prasyarat dan (2) prosedural horisontal
menurut tahapan pada siklus akuntansi tetapi substansinya pada kategori jenis
badan usaha atau dikenal dengan struktur prosedural putusan.
Substansi pengetahuan
prosedural herarkhi menurut siklus dan proses kegiatan pencatatan yang berlaku
umum untuk semua jenis sistem akuntansi untuk semua Badan Usaha visualisasinya
dapat dilihat pada bagan siklus Akuntansi berikut ini. Bagan ini juga
menunjukkan pengetahuan Akuntansi yang
berstruktur prosedural prasyarat.
Data penyesuaian
Pengesahan
Penjumlahan
Pengakunan Peringkasan Penyesuaian
Pelaporan
BT = Bukti transaksi
BP = Bukti Pembukuan
Gambar 8
Bagan Siklus
Akuntansi
sebagai Struktur
Prosedural Prasyarat
Untuk substansi
pengetahuan prosedural horisontal dapat diidentifikasi pada ragam prosedur yang
terdapat pada setiap sub komponen kegiatan dari siklus Akuntansi menurut jenis
perusahaan dan bentuk Badan Usaha. Jenis perusahaan, menentukan isi dan rincian
laporan keuangan terutama laporan rugi-laba; sedangkan bentuk Badan Usaha
menentukan isi dan rincian laporan keuangan terutama pada sisi ekuitas atau
modal.
Menurut klasifikasi
atas dasar karakteristik kegiatan dalam menyediakan barang/jasa maka ada (1)
perusahaan jasa, (2) perdagangan, dan (3) pemanufakturan.
Atas dasar klasifikasi
pengetahuan prosedural hirarkhi dan prosedural horisontal, penjabaran dan
elaborasi isi bidang studi Akuntansi selanjutnya digunakan sebagai dasar dan
pendekatan pengorganisasian isi dalam penelitian ini.
2.
Pengorganisasian Isi
a. Teori Elaborasi
Eksemplar dari terapan teori kognitif
antara lain telah dikaji melalui teori elaborasi. Teori ini dikembangkan oleh
Reigeluth dan Stein (1983:364-370) dan diteruskan lagi oleh Reigeluth dan
Merrill (1994:245) yang merupakan perluasan teori komponen penyajian (component display theory) dari Merrill
(1978). Penyajian materi pada tingkat makro meliputi pemilihan penyajian,
urutan, sintesis dan rangkuman isi pengajaran. Elaborasi dapat dimaknai
memberikan kejelasan preskripsi komponen pembelajaran.
Strategi pengajaran tingkat makro
mempreskrikpsikan cara-cara penanganan 4(empat) bidang masalah, yang disebut
sebagai 4S: selection, sequencing,
synthesizing, dan summary (Reigeluth,1983:338;
Degeng, 1989:111)
Teori elaborasi
mempreskripsikan cara pengorganisasian isi pengajaran dengan mengikuti urutan
dari umum ke rinci dengan menampilkan epitome (struktur isi bidang studi yang
dipelajari), kemudian mengelaborasi bagian-bagian yang ada dalam epitome secara
lebih rinci. Konteks selalu ditunjukkan dengan menampilkan sintesis secara bertahap.
Dalam penelitian ini
teori elaborasi dipilih sebagai landasan untuk mengembangkan preskripsi
pengorganisasian isi pembelajaran Akuntansi Perusahaan Jasa. Pertimbangannya
karena teori elaborasi sesuai dengan karakteristiknya telah menampung esensi dari
teori-teori yang lain, sehingga untuk landasan mengembangkan preskripsi sampel
bahan pembelajaran Akuntansi Perusahaan Jasa yang isinya bersifat prosedural
secara makro lebih tepat. Berikut ini dibahas karakteristik teori elaborasi.
(1) Pengertian Elaborasi
Elaborasi adalah proses penambahan
pengetahuan yang berhubungan pada informasi yang sedang dipelajari
(Dahar,1988:73). Reigeluth & Stein (1983:338) memberikan penjelasan:
“The Elaboration Theorly of instruction
prescribes that the instruction start with a special kind of overview that
teaches a few general, simple, and fundamental (but not abstract) ideas. The
remainder of the instruction presents progressively more detailed ideas, which
elaborate on earlier ones”.
Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa teori elaborasi mempreskripsikan cara pengorganisasian isi pengajaran
dengan mengikuti urutan dari umum ke rinci. Urutan umum ke rinci dimulai dengan
menampilkan selayang pandang (overview) ide yang umum, sederhana dan
mendasar. Kemudian pengajaran maju setapak demi setapak dielaborasi satu
persatu.
(2) Komponen Strategi Elaborasi
Ada 7(tujuh) komponen yang
diintegrasikan dalam teori elaborasi yakni (1) urutan elaborasi dari sederhana
- ke kompleks (untuk struktur utama materi pelajaran), (2) urutan prasyarat
belajar, (3) rangkuman, (4) sintesis, (5) analogi, (6) pengaktif strategi kognitif,
dan (7) kontrol belajar (Reigeluth & Stein, 1983:342).
(3) Prinsip-prinsip Elaborasi
Prinsip-prinsip yang menjadi landasan
teknik elaborasi adalah :
1) Kerangka isi yang menunjukkan bagian-bagian utama bidang studi
dan hubungan-hubungan di antara bagian-bagian itu, hendaknya disajikan pada
fase pertama pengajaran.
2) Elaborasi secara bertahap, bagian-bagian yang tercakup dalam
kerangka isi hendaknya dielaborasi secara bertahap.
3) Bagian terpenting disajikan pertama kali, pada suatu tahap
elaborasi apa pun pertimbangan yang dipakai, bagian yang terpenting hendaknya
dielaborasi pertama kali.
4) Cakupan optimal elaborasi, kedalaman dan keluasan tiap-tiap elaborasi
hendaknya dilakukan secara optimal.
5) Penyajian pensintesis secara bertahap, pensintesis hendaknya
diberikan setelah setiap kali melakukan elaborasi.
6) Penyajian jenis pensintesis, jenis pensintesis hendaknya
disesuaikan dengan tipe isi bidang studi.
7) Tahapan pemberian rangkuman, rangkuman hendaknya diberikan
sebelum setiap kali menyajikan pensintesis.
(4) Tahap-tahap Pengajaran Menurut Strategi Elaborasi
Mengikuti alur pikir dan prinsip-prinsip
elaborasi maka langkah-langkah penyajian pengajaran meliputi tahapan
sebagaimana ditunjukkan pada gambar di halaman berikut ini.
Adapun penjelasan dari langkah-langkah
tersebut adalah:
1) Pengajaran dimulai dengan menyajikan epitome atau kerangka isi
struktur yang memuat bagian-bagian yang paling penting dari bidang studi.
2)
Elaborasi tahap
pertama, yaitu mengelaborasi tiap-tiap bagian yang ada dalam kerangka isi,
mulai dari bagian yang terpenting. Elaborasi tiap-tiap bagian diakhiri dengan
rangkuman dan pensintesis yang hanya mencakup konstruk-konstruk yang baru saja
diajarkan (pensintesis internal).
3)
Pada akhir elaborasi
tahap pertama, diberikan rangkuman dan diikuti dengan pensintesis eksternal.
Rangkuman berisi pengertian-pengertian singkat mengenai konstruk-kontruk yang
diajarkan dalam elaborasi.
Epitome (Kerangka Isi) Elaborasi Tahap Pertama |
(1) Menyajikan Epitome -
Strategi
motivasional -
Analogi -
Prasyarat
belajar -
Struktur isi -
Struktur
pendukung (2) Menyajikan elaborasi bagian yang lain dalam
epitome (3) Menyajikan rangkuman dan sintesis (2) Menyajikan Elaborasi salah satu bagian dalam
epitome |
||||||||||
Elaborasi Tahap Kedua |
Dst. atau
(4) Menyajikan elaborasi bagian yang lain yang ada
dalam elaborasi tahap pertama |
||||||||||
|
Dst. atau
|
||||||||||
|
|
Gambar 9
Model Elaborasi ( adaptasi dari
Reigeluth & Stein, 1983:367)
4)
Elaborasi tahap kedua.
Setelah elaborasi tahap pertama berakhir dan diintegrasikan dengan kerangka
isi, pengajaran diteruskan ke elaborasi tahap kedua, yang mengelaborasi bagian
pada elaborasi tahap pertama dengan maksud membawa pebelajar pada tingkat
kedalaman sebagaimana ditetapkan dalam tujuan pengajaran. Pada elaborasi tahap
kedua ini juga disertai rangkuman dan pensintesis internal.
5)
Pemberian rangkuman.
Pada akhir elaborasi tahap kedua, diberikan rangkuman dan sintesis eksternal,
seperti pada elaborasi tahap pertama.
6)
Setelah semua elaborasi
tahap kedua disajikan, disintesiskan, dan diintegrasikan ke dalam kerangka isi,
pola seperti ini akan berulang kembali untuk elaborasi tahap ketiga, dan
seterusnya sesuai dengan kedalaman yang ditetapkan oleh tujuan pengajaran.
7)
Pada tahap akhir pengajaran,
disajikan kembali kerangka isi untuk mensintesiskan keseluruhan isi bidang
studi yang telah diajarkan.
(5) Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Elaborasi
Keunggulan pembelajaran
elaborasi antara lain: (1) penyajian materi lebih sistematis; (2) pebelajar
lebih mudah mengingat informasi baru yang disampaikan pengajar; (3) Pebelajar
lebih mudah mengingat konsep, karena dalam penyampainnya diberikan analogi
sehingga lebih konkrit; (4) pemahaman suatu konsep menjadi lebih dalam, karena
semua konsep dipelajari dalam konteksnya dengan konsep lain yang terkait; (5)
pebelajar lebih mudah membuat klasifikasi materi yang disampaikan.
Kelemahan dari pembelajaran elaborasi
adalah (1) membutuhkan waktu yang cukup lama, karena pada setiap selesai
penyajian satu materi penting diberikan analogi, sintesis dan rangkuman; (2)
kurang memberikan keuntungan bagi pengajar yang lebih menekankan pada
pencapaian target materi; (3) pengajar lebih membutuhkan waktu lama untuk
mencari analogi yang cocok bagi setiap materi yang bersifat abstrak.
b. Pengorganisasian Materi Akuntansi
dengan Model Elaborasi
Penyajian epitome isi prosedural dalam pengembangan pengajaran
Akuntansi merupakan pensintesis dari prosedur alternatif yang paling sederhana
dari keseluruhan isi proses atau siklus Akuntansi Keuangan pada Perusahaan Jasa
yang dibelajarkan.
Hubungan di antara pensintesis prosedur alternatif ini lebih
tampak bersifat herarkhi dan prosedural. Sebagai contoh epitome dari pokok
bahasan prosedur dalam siklus Akuntansi adalah konstruk persamaan dasar
akuntansi, rekening buku besar, pencatatan transaksi dalam jurnal dan posting
buku besar, jurnal umum, buku besar dan neraca saldo, proses penyusunan laporan
keuangan, penyajian laporan keuangan, dan penutupan dan pembukaan buku besar.
Gambaran konkrit epitome struktur orientasi prosedural siklus
akuntansi perusahaan jasa tampak pada gambar 10 berikut. Epitome tentang
konstruk persamaan dasar akuntansi dapat dielaborasi dengan mengidentifikasi
tahapan prosedur yang harus dilakukan sebelum melakukan perubahan komposisi
persamaan dasar akuntansi. Demikian juga seterusnya untuk elaborasi kegiatan
pencatatan transaksi ke dalam jurnal, posting buku besar, neraca saldo,
penyusunan laporan keuangan dan lainnya.
Bukti Pembukuan |
|
Jurnal |
|
Buku Besar |
|
Neraca Lajur |
|
Laporan Keuangan |
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
Neraca Percobaan Neraca Saldo Ayat Jurnal Penyesuaian Neraca Saldo Perbaikan Rugi/Laba Neraca Akhir |
|
Neraca Laporan R/L Penjelasan Atas
Neraca dan R/L serta Perubahan Modal |
|
Transaksi Keuangan |
|||||||||||
|
|
|
|||||||||
|
|
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat Jurnal Pentutup |
|
|
|
|
|
|
|
Rekapitulasi
Jurnal |
|
Buku Besar
Pembantu |
|
Penutupan Buku
Besar Akhir Periode |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pembukaan Buku Besar Awal Periode |
|
Gambar 10
Epitome Struktur
Orientasi Prosedural Siklus Akuntansi Perusahaan Jasa
Elaborasi tahap pertama untuk konstruk persamaan dasar akuntansi
(H=U+M) ini dimulai dari identifikasi jenis transaksi keuangan, bukti
transaksi dan bukti pembukuan yang harus
digunakan sebagai dasar pencatatan, analisis pengaruh jenis transaksi terhadap
komposisi dan persamaan dasar akuntansi, pengenalan klasifikasi dan kode
rekening sebagai referensi jurnal. Sub-sub prosedur ini dielaborasi berdasarkan
proses penyelesaian transaksi untuk menghasilkan informasi akuntansi pada
siklus akuntansi keuangan.
Tahapan ini diakhiri dengan pembuatan rangkuman dan sintesis
berupa hasil analisis transaksi dan perubahan komposisi persamaan dasar
akuntansi. Tahap-tahap elaborasi selanjutnya dilakukan terhadap sub-sub
prosedur yang bersesuaian dan berurutan prosesnya, sehingga dapat mendukung
pemahaman dan penguasaan yang saling kait mengkait membentuk rangkuman dan
sintesis dari pengetahuan prosedural tentang persamaan dasar akuntansi.
Gambaran konkrit tentang hal ini dapat diamati pada gambar 11 di halaman berikut
ini.
Epitome-epitome yang lain menurut struktur isi akan disajikan
secara berurutan sesuai prosedur yang mengikuti siklus akuntansi untuk
penyelesaian transaksi pada perusahaan jasa. Terdapat tujuh epitome yang dapat
dibuat rangkuman dan sintesisnya, dan jika digabungkan semuanya akan menjadi
penyajian yang integral dan holistik untuk penguasaan kompetensi akuntansi
perusahaan jasa.
C.
Pengelolaan Belajar Kolaboratif
Komponen lain yang melengkapi metode
pengajaran selain pengorganisasian isi adalah pengelolaan pembelajaran. Dalam
strategi pengelolaan pembelajaran yang harus diperhatikan menurut Reigeluth dan
Merill, 1979 (Degeng, 1989:153) adalah (1) penjadwalan penggunaan strategi
pengajaran, (2) pembuatan catatan kemajuan belajar pebelajar, dan (3)
pengelolaan motivasional, serta (4) pengelolaan kontrol belajar, yaitu berupa
kebebasan pebelajar untuk melakukan pilihan tindakan belajarnya.
Epitome |
Harta |
|
= |
|
Utang |
+ |
Modal |
|
Elaborasi
tahap pertama |
|
Identifikasi jenis transaksi |
|
Identifikasi bukti transaksi dan bukti pembukuan |
|
Analisis pengruh transaksi terha-dap
komposisi H=U+M |
|
Pengenalan kode rekening sebagai referensi posting jurnal |
|
Elaborasi
Tahap ke dua
dst. |
|
Status transaksi |
|
Bukti kas/bank |
|
Transaksi berpengaruh pada komponen H; U; dan M saja |
|
Kode rekening Aktiva dan Passiva |
|
|||
|
Sumber transaksi |
|
Bukti Pembeli-an/ Penjualan |
|
Transaksi berpengaruh pada komponen H=U |
|
Prinsip Likuiditas dalam Neraca |
|
||||
|
|
|
Memorial |
|
Transaksi berpengaruh pada komponen H=M |
|
|
|
||||
|
|
|
Retur dan lain-lain |
|
Transaksi berpengaruh pada komponen U+M |
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
Transaksi berpengaruh pada komponen H=U+M |
|
|
|
Gambar 11
Epitome struktur
orientasi prosedural Konstruk Persamaan Dasar Akuntansi
Pengelolaan pembelajaran yang
dipreskripsikan esensinya berorientasi pada penguasaan kemampuan memecahkan masalah
dengan latar pengelolaan belajar kolaboratif. Pengelolaan belajar kolaboratif
sesuai dengan gagasan yang dilontarkan Bruffee (Zamroni, 2000:44) bahwasannya
praktik pengelolaan pendidikan tradisional yang telah menimbulkan kesenjangan
akademik, okupasional dan kultural harus direformasi dengan praktik pendidikan
yang memberi kesempatan kepada pebelajar untuk mengembangkan kerja kelompok.
1. Pengertian Belajar
Kolaboratif
Konsep belajar kolaboratif sering
diidentikkan dengan konsep belajar kooperatif, tetapi ada yang secara tegas
membedakan antara keduanya. Dalam belajar kooperatif belum tentu ada peristiwa
kolaboratif, tetapi pada setiap peristiwa kolaboratif diperlukan suasana
kerjasama atau kooperatif. Meminjam
pernyataan Kreijns, Kirschner dan Jochems (2003) menyatakan, bahwa: “Just placing students in groups does not
guarantee collaboration... The incentive to collaborate has to be structured within
the groups.” Artinya jika sekedar membagi-bagi pebelajar dalam
kelompok-kelompok tidak menjamin adanya kolaborasi; yang memicu adanya
kolaborasi itu harus dibangun dari dan oleh dalam kelompok sendiri.
Lingkungan belajar kolaboratif, baik
yang jelas maupun yang samar semua dikembangkan berdasar asumsi bahwa
pengetahuan adalah sebuah entitas yang kompleks yang dibentuk oleh konteks
sosial, bukan sekedar hasil yang sederhana dari pemindahan atau sumbangan
belaka (Daniel, B., 2003).
Kemampuan pebelajar untuk bekerja secara
kolaboratif dengan lainnya adalah sebagai kunci untuk membangun dan memelihara
kemantapan dalam berkeluarga, karir, persahabatan dan bermasyarakat. Kemampuan
dan keterampilan tak ada gunanya jika tak dapat diterapkan dalam hubungan kerjasama
dengan orang lain (Johnson & Johnson,1987:15)
Ted Panitz (1996) melakukan klarifikasi
definisi antara istilah kooperatif dan kolaboratif sebagai berikut:
Collaboration is a philosophy of
interaction and personal lifestyle whereas cooperation is a structure of
interaction designed to facilitate the accomplishment of an end product or
goal. Collaborative learning (CL) is a personal philosophy, not just a
classroom technique. In all situations where people come together in groups, it
suggests a way of dealing with people which respects and highlights individual
group members’ abilities and contributions. There is sharing of authority and
acceptance of responsibility among group members for the groups actions.
Pembelajaran kolaboratif bukan
pendekatan baru, menurut Totten, Sills, Digby, & Russ (1991), berbagai
variasinya sudah digunakan dalam kelas sejak awal tahun 1900-an dan kini
semakin menarik perhatian para ahli
pendidikan sejak munculnya bukti keberhasilan bukan buah dari kemampuan
individu tetapi justru dari paradigma kesalingtergantungan (interdependence) (Stephen R. Covey,
1997:38).
Falsafah dan teori sejumlah ahli seperti
Dewey (1916), Vygotsky(1981), dan Piaget (1969) telah menegaskan manfaat sosial
dan proses kolaboratif dalam belajar. Menurut Dewey (1916) pendidikan adalah
proses sosial dalam mana melalui kelompok
pebelajar memperoleh dan berbagi pengalaman baru yang bermakna. Vygotsky
(1981) juga memandang pendidikan sebagai usaha sosial. Postulatnya mengatakan
bahwa sebelum berbagai fungsi mental diinternalisasikan, untuk itu harus
dimulai dari tahapan eksternal. Maka dari itu interaksi sosial merupakan
petunjuk penting untuk internalisasi yang bermakna. Teori Piaget (1969) tentang
epistemologi genetic menyatakan pentingnya interaksi dengan teman sebaya
sebagai sumber stimulasi kognitif beserta pengembangannya.
Akhir-akhir ini penelitian dan penggagas
teori seperti Johnson & Johnson, (1975), Slavin (1983), Kagan (1985),
Sharan & Sharan (1976), dan cohen (1986) telah mengembangkan pendekatan
pengajaran khususnya untuk belajar kolaboratif.
Problem base learning termasuk yang
terkini, telah memunculkan pendekatan kolaboratif dalam kelompok kecil
(Albanese & Mitchell, 1993). Belajar berbasis masalah menekankan kecermatan
dalam penyusunan skenario masalah, kolaborasi dalam kelompok, bimbingan dari
para tutor, kemudian mencoba pemecahan masalah dan isi belajar adalah pengetahuan dan keterampilan (Savery & Duffy, 1995).
Istilah belajar kolaboratif mengacu
kepada metode pengajaran yang mana pebelajar dengan berbagai latar kemampuan
bekerja bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan.
Tiap-tiap pebelajar saling bertanggungjawab atas belajar dengan teman-temannya
sebagaimana ia bertanggungjawab belajar untuk diri sendiri. Keberhasilan tiap
individu merupakan keberhasilan pebelajar lainnya dalam kelompok.
Kesimpulannya, bahwa belajar kolaboratif
merupakan intensitas yang lebih tinggi kadarnya daripada belajar kooperatif.
Secara fisik belajar kolaboratif tak ada beda bentuk maupun formulanya dengan
belajar kooperatif, yang membedakan terletak pada intensitas interaksi, isi
kegiatan dan implikasi yang ditimbulkannya bagi setiap anggota kelompok belajar
yaitu adanya rasa saling ketergantungan dan tanggungjawab yang ditopang oleh kemandirian
dari setiap individu yang terlibat dalam belajar melalui interaksi sosial.
Semua sifat dan bentuk serta karakteristik belajar kooperatif merupakan
prakondisi belajar kolaboratif.
2. Elemen Dasar Belajar
Kolaboratif
Wujud kerjasama yang mengandung unsur
kolaborasi adalah bukan bentuk kerjasama pebelajar yang hanya sekedar duduk
berdampingan asyik berbincang satu sama lain dalam satu meja mengenai tugas
masing-masing, dan juga bukan kerjasama dalam arti tugas kelompok telah
diselesaikan oleh satu orang sementara yang lainnya hanya tumpang nama pada
laporan hasil kelompok.
Elemen-elemen dasar kerjasama
kolaboratif yang penting adalah (1) kesalingtergantungan secara positif; (2)
adanya interaksi saling ketemu muka dalam bekerjasama; (3) rasa tanggungjawab individu untuk menyelesaikan tugas bersama;
dan (4) dibutuhkannya keterampilan interpersonal dan kerjasama kelompok kecil
(Johnson & Johnson, 1987:12-13).
Kerjasama kolaboratif menjadi tim yang
efektif menurut Schrage (1989) jika didukung oleh 4(empat) elemen utama berikut ini:
(1) a compelling, shared goal or goals;
(2) team members with unique competencies that will contribute to successful
outcomes; (3) members that operate within a formal structure, with defined
roles that facilitate collective/collaborative work; and (4) mutual respect,
tolerance, and trust .
Menurut Lundgren (1994:22-26) kolaboratif yang terjadi dalam
pengajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi pebelajar
juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut
keterampilan kerjasama (kooperatif). Ketrampilan kerjasama
membuahkan implikasi adanya keterampilan sosial
yang dibutuhkan untuk berkolaboratif.
Keterampilan kerjasama berfungsi melancarkan hubungan kerja dan tugas.
Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar
anggota kelompok, sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar
anggota kelompok selama kegiatan. Rasa kesalingtergantungan tercipta melalui
kerjasama kolaboratif.
Keterampilan-keterampilan
bekerjasama tersebut antara lain:
a.
Keterampilan kerjasama tingkat awal: (a) menggunakan kesepakatan, (b)
menghargai kontribusi, (c) mengambil giliran dan berbagi tugas, (d) berada
dalam kelompok, (e) berada dalam tugas, (f) mendorong partisipasi, (g)
mengundang orang lain untuk berbicara, (h) menyelesaikan tugas pada waktunya,
(i) menghormati perbedaan individu.
b.
Keterampilan tingkat menengah: (a)
menunjukkan penghargaan, (b)
mengungkapkan ketidak setujuan dengan cara yang dapat diterima, (c) mendengarkan dengan aktif, (e) membuat
ringkasan, (f) menafsirkan, (g) mengatur dan mengorganisir, (h) menerima
tanggung jawab, (i) mengurangi ketanggangan.
c.
Keterampilan tingkat mahir: (a)
mengelaborasi, (b) memeriksa dengan cermat, (c) menanyakan kebenaran, (d)
menetapkan tujuan, (e) berkompromi.
Untuk menunjang
pencapaian tujuan belajar, pengelolaan belajar kolaboratif harus diorganisasi
dan dikelola pola interaksi pembelajarannya baik hubungan antara dosen-pebelajar
maupun antar pebelajar sedemikian rupa. Sandra Howard (2001) melansir
seperangkat langkah untuk pengorganisasian proses kerja kolaborasi tim yang
terdiri dari 9(sembilan) hal yakni :
(1)
Mengembangkan pemahaman
pebelajar pentingnya timkerja (promoting
student insight into the importance of teamwork)
(2) Pembentukan tim (forming the
teams)
(3)
Membantu tim
memfokuskan tugas pokoknya (helping teams
maintain focus through written aids)
(4) Membagi tanggungjawab secara bijaksana (distributing responsibilities wisely)
(5)
Mengembangkan
tanggungjawab dan akuntabilitas (promoting
accountability and responsibility)
(6) Meningkatkan ketrampilan menulis (promoting improved/enhanced writing skills)
(7)
Menyiapkan bantuan awal
dan umpan balik (providing initial
guidance and feedback)
(8)
Penggunaan lembar
pencatatan untuk pengorganisasian dan perencanaan (using record-keeping forms for organizing and planning)
(9)
Pelaksanaan umpan balik
instruktur (ongoing instructor feedback)
3. Landasan Teoritis
Belajar Kolaboratif
Teori belajar kolaboratif dimotori oleh
Bruffee (Zamroni, 2000:156) tumbuh dan berkembang atas kesadaran akan
pentingnya pengembangan diri pribadi pebelajar yang holistik, sehingga menuntut
perubahan mendasar proses pembelajaran konvensional yang didominasi oleh
ceramah dengan pengajar sebagai sumber tunggal dan pebelajar sebagai pendengar
yang baik. Teori belajar kolaboratif menekankan pada proses pembelajaran yang
digerakkan oleh keterpaduan aktivitas bersama baik intelektual, sosial dan
emosi secara dinamis baik dari fihak pebelajar maupun pengajar.
Teori ini didasarkan pada gagasan bahwa
pencarian dan pengembangan pengetahuan
adalah merupakan proses aktivitas sosial, dimana pebelajar perlu
mempraktikannya. Pebelajar bukanlah penonton dan pendengar yang pasif, tetapi
mereka harus dilibatkan dalam proses pembelajaran, lingkungan diciptakan untuk
mendorong dan menghargai inisiatif pebelajar, dan perlu perlakuan pemberian
insentif bagi keterlibatan pebelajar. Tujuan akhir adalah menghasilkan
pebelajar yang utuh yakni matang intelektual, sosial dan emosi. Mereka adalah generasi
baru yang diharapkan yang disamping memiliki prestasi akademik cemerlang, juga
memiliki kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang kuat. Praktik pendidikan
dibawa ke jalur yang benar yakni menghasilkan manusia yang ber-“otak” dan
ber-“hati” (Zamroni, 2000:146-147).
Belajar kolaboratif meskipun belum
banyak diterapkan dalam praktik, secara
paradigma telah diterima secara luas oleh para ahli pendidikan, karena memiliki
keunggulan-keunggulan, bahkan merupakan bentuk pembelajaran yang paling efektif
(Johnson & Johnson, 1984; Panitz & Panitz,1996).
Belajar kolaboratif sejalan dengan
pandangan Covey (1989:38), bahwa dengan tindakan “berpikir menang/menang”
mengingatkan seseorang yang dipenuhi pertentangan untuk berperilaku kerja tim
sehingga dapat mengendalikan perilaku diri untuk bekerjasama antar sesama dalam
mencapai tujuan bersama.
Tindakan tersebut merupakan salah satu
dari 7(tujuh) kebiasaan sebagai agenda untuk perbaikan diri dalam lingkup
perusahaan yang ditawarkan Covey. Kebiasaan itu selengkapnya: (1) menjadi
proaktif; (2) mengawali dengan bagian dari akhir yang telah dipikirkan sebagai
orientasi dari tujuan; (3) menempatkan yang pertama sebagai yang utama; (4)
berpikir menang/menang; (5) mengutamakan memahami, baru berusaha dipahami; (6)
sinergis, perlu kerja tim, perbedaan adalah yang berharga; (7) mempertajam
pandangan, kebiasaan memperbaharui diri (baik mental, spiritual,sosial/emosi
dan fisik). Covey berkesimpulan bahwa kesuksesan bagi orang-orang yang pernah
berhasil, tercapai berdasarkan pada prinsip dan pada karakter individu yang
bersangkutan (Kreitner & Kinicki, 2000:402).
Mahnaz Moallem (2003:88)
mengidentifikasi 4(empat) tipe pentingnya kerjasama kolaboratif pemecahan
masalah dalam kelompok yang dirangkumkan dari beberapa penelitian antara lain:
(1)
Menumbuhkan
tanggungjawab individu, karena diantara individu menyadari akan adanya
tugas-tugas bersama dalam kelompok (Johnson, Johnson, & Smith, 1991;
Slavin, 1995).
(2)
Meningkatkan komitmen pada kelompok dan
tujuan-tujuan bersama dimana anggota kelompok saling bantu-membantu, saling
membutuhkan, memberikan umpan balik yang tepat, dan memberi dorongan untuk
pencapaian tujuan-tujuan bersama (Johnson, et al., 1991; Slavin, 1995).
(3)
Memperlancar interaksi
antar individu dan antar kelompok di antara anggota kelompok, yang memungkinkan
tiap anggota menampilkan keterampilan sosial dan kompetensi dalam berkomunikasi
(Rubin, Rubin, & Johnson, 1997).
(4)
Memberikan stabilitas
pada kelompok sehingga anggota kelompok dapat bekerjasama dengan anggota lain
dalam waktu yang cukup lama tapi tidak melelahkan dan dapat membangun norma
kelompok, penampilan tugas bersama, dan pola-pola interaksi (McGrath, 1992).
Model kerjasama kolaboratif menurut Mahnaz Moallem (2003:87)
diilustrasikan sebagaimana tampak pada gambar 12.
Peer Interaction (Peer Support) Group Interaction (Community Support) Individual Interaction (Cognitive Support)
Gambar 12
Model Kolaboratif
(adaptasi dari Collaborative design
model Mahnaz Moallem, 2003:87)
Bentuk interaksi yang terjadi sebagai
perantara dalam belajar, adalah (1) interaksi kognitif atau interaksi
individual yakni interaksi dengan isi bahan belajar, dan (2) interaksi sosial
atau interaksi antar individu (interpersonal) (Mahnaz Moallem , 2003:86). Keduanya
sangat penting dalam kegiatan belajar, sejalan dengan pandangan konstruktivisme
yang menekankan bahwa belajar mengetahui (knowing) memiliki peranan sangat vital dalam dimensi interaksi
manusia dalam belajar (Gilbert & Moore, 1998; Knowles, 1990; Moore, 1992;
Mortera-Gutierrez & Murphy, 2000; Murhead, 199, 2000).
Belajar juga merupakan sebuah
konstruksi sosial yang
dibangun melalui bahasa
dan diskursus sosial; dalam
belajar mengetahui (knowing) pengetahuan
dikonstruksi karena dampak keterlibatan dalam siklus perkembangan yang
memfasilitasi perubahan konseptual pebelajar demikian penegasan Vygotsky, 1978;
Shaw, 1996(Mahnaz Moallem, 2003:86)
Interaksi sosial akan terjadi pada
lingkungan belajar yang kolaboratif dengan kerjasama serta adanya dialog aktif
(Moore, 1991; Saba & Shearer, 1994). Dalam situasi demikian lingkungan
belajar akan tampil dalam beragam perspektif yang memberi kesempatan untuk
membentuk tahapan pengetahuan seperti seorang pebelajar saling bertukar
informasi dengan lainnya, dengan orang-orang sekitarnya dan dengan para ahli
dalam bidang itu. (Harasim,1989 dalam Mahnaz Moallem, 2003:86).
Interaksi sosial telah digunakan sebagai
landasan prosedur belajar pemecahan masalah sebagaimana dirangkum Mahnaz
Moallem (2003:87) dari penelitian Barrows & Tamblyn, 1980; Blacklow &
Engel, 1991; Boud, 1985; Boud & Feletti, 1991; Engel, 1997 dengan tujuan
agar terjadi proses transfer belajar dari guru kepada pebelajar (Knowles, 1975;
Peterson, 1996). Untuk menyusun dan merancang pola belajar yang aktivitasnya
kolaboratif diperlukan frame bahan belajar atau isi materi yang diikuti dengan
tugas-tugas.
Bentuk-bentuk pendekatan belajar lainnya
yang mengandung berbagai aspek pendekatan kolaboratif antara lain dikenal
dengan experiential learning, cognitive
apprenticeships, service learning, case-based learning dan project-based learning. Bentuk-bentuk
ini oleh Schmidt, 1984 dikatakan belum komprehensif. Masing-masing hanya
memfokuskan pada aspek tertentu dari belajar kolaboratif. Belajar kooperatif
hanya menekankan pengelompokan pebelajar dan penstrukturan kegiatan, problem-based learning memfokuskan pada penciptaan sekenario masalah dan
memfasilitasi belajar dengan penggunaan tutor. Belum ada yang dengan jelas
menguraikan bagaimana membimbing proses kerja pebelajar pemecahan masalah yang
secara nyata (diambil tanggal 10 Desember 2005 dari http://www. indiana.edu/~educr795/
prop1.html).
Untuk menciptakan suasana kelas yang
kreatif, bervariasi dan mengarah kepada pemecahan masalah, Johnson &
Johnson, 1984 menyarankan 5(lima) unsur penting teknik untuk dipertimbangkan dalam
belajar kerjasama yaitu: (1) kesalingtergantungan yang positip (positive interdependence); (2)
interaksi tatapmuka yang menarik (face-to-face
interaction); (3) tanggungjawab perorangan (individual accountability); (4) interpersonil dan kecakapan kerja
kelompok (interpersonal and small group
skills), dan (5) proses kelompok (group
processing). Semua unsur dalam belajar bekerjasama digunakan dalam
situasi-situasi yang kolaboratif.
Dari berbagai pandangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa peristiwa belajar kolaboratif akan terjadi jika ada rasa
saling tanggungjawab dan terbentuk dalam suasana kerjasama di antara
anggota-anggota dalam kerja kelompok atau tim. Suasana kolaboratif merupakan
esensi dari belajar kelompok, keberhasilannya sangat tergantung dari kemampuan
anggota kelompok dalam membiasakan diri perilaku dalam kerja kelompok..
4. Perbedaan Belajar
Kolaboratif dengan Belajar Kelompok Tradisional
Keunggulan belajar kolaboratif dibanding
dengan belajar kelompok yang tradisional (Johnson & Johnson, 1987:14)
sebagaimana tampak pada tabel berikut.
Tabel
2
Perbedaan
Belajar Kolaboratif dan Belajar Kelompok Tradisional
Belajar Kolaboratif |
Belajar Kelompok Tradisional |
Kesalingtergantungan yang positif |
Tak ada
kesalingtergantungan |
Akontabilitas individu |
Tak ada akontabilitas
individu |
Heterogen |
Homogen |
Kepemimpinan berbagi bersama |
Kepemimpinan ditangan
satu orang |
Saling Berbagi tanggungjawab |
Tanggungjawab untuk
diri sendiri |
Lebih menekankan pada tugas dan
pemeliharaan |
Hanya menekankan pada
tugas |
Ketrampilan sosial sekaligus
terajarkan |
Ketrampilan sosial
hanya diasumsikan dan terabaikan |
Guru mengamati dan mengintervensi |
Guru mengabaikan
fungsi kelompok |
Proses kelompok sebagai ukuran
efektivitasnya |
Tidak ada proses
kelompok |
Belajar kolaboratif mengandung unsur
yang menguntungkan, tetapi banyak guru belum menggunakan, akibat sistem
pendidikan dewasa ini terlalu menekankan pada materi pengajaran (orientasi
materi) dan menghargai keberhasilan individu sebagi buah dari persaingan atau
kompetisi. Selain itu juga karena para guru tidak pernah menerima bekal tentang
teknik dan strategi pembelajaran kolaboratif. Pelatihan-pelatihan yang ada juga
jarang yang secara lengkap membekalkan tentang pembelajaran kolaboratif.
Mengapa para guru bertindak resisten dan
bertahan tidak mau menggunakan teknik pembelajaran kolaboratif, beberapa alasan
(Panitz dan Panitz, 2005) yang menyebabkannya antara lain:
(1) Takut kehilangan kontrol di dalam kelas, hal ini akibat teknik
kolaboratif lebih memberikan tanggungjawab belajar kepada pebelajar, sehingga
ada ketakutan materi tidak tersampaikan seluruhnya.
(2) Kehilangan kepercayaan diri, takut dan kurang percaya diri
jika menggunakan teknik kolaboratif menemui kesulitan dalam praktiknya.
(3) Khawatir materi pelajaran tak terselesaikan, penerapan kerja
kelompok dan kolaboratif dipandang butuh waktu banyak untuk interaksi dalam
kelompok, untuk merumuskan kesepakatan yang akan dipresentasikan di kelas.
(4) Kurangnya bahan yang digunakan di kelas (Irwin et al, 1985);
teknik kolaboratif menuntut guru harus membuat handout yang cukup untuk
menciptakan kelas bersuasana kesalingtergantungan (interdependence).
(5) Para guru egois; anggapan umum kelas adalah tempat untuk
menunjukkan pengetahuan dan keahlian guru, sehingga guru berperasaan bahwa
pebelajar tidak bisa dipercaya untuk belajar sendiri. Jadi ada unsur ego pada
diri guru.
(6) Kurang mengenal teknik asesmen alternatif; karena pola belajar
kolaboratif maka banyak guru tidak kenal dengan bagaimana mengases kemampuan
kelompok dan melakukan gradasi untuk kelompok.
(7) Terlalu memperhatikan evaluasi pengajar dan perkembangan
individu. Bagi pengajar yang belum pernah dilatih pembelajaran kolaboratif,
aktivitas-aktivitas semacam ini bisa jadi tidak efektif dalam mengajar dan
akhirnya membuat hasil evaluasi kinerja mereka oleh supervisornya menjadi
jelek.
(8) Pebelajar resisten terhadap teknik kolaboratif. Pada awal
pengenalan teknik kolaboratif, pebelajar akan bereaksi dengan pola lingkungan
atau nuansa yang baru. Nuansa yang sebelumnya pasif, menjadi dirasa ada
tanggungjawab belajar, penuh interaksi, terdorong berpikir kritis pada diri
setiap pebelajar.
(9) Guru kurang mendalami cara mengelola teknik kolaboratif.
Persoalan yang sering terjadi guru sering terkonsentrasi kepada sebagian kecil
pebelajar yang pintar-pintar, dan akhirnya hanya sekelompok kecil ini yang
mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru.
(10) Teknik kolaboratif jarang dilatihkan pada pelatihan guru.
Pelatihan-pelatihan tentang metode mengajar tidak mempercepat sosialisasi
teknik belajar kolaboratif.
Kegiatan belajar menurut konstruktivisme
merupakan kegiatan aktif pebelajar untuk menemukan sesuatu dan membangun
sendiri pengetahuannya. Pebelajar harus punya pengalaman dengan membuat
hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi obyek, memecahkan persoalan,
mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi,
mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk
membentuk konstruksi yang baru. Pebelajar membentuk pengetahuannya sendiri dan
pengajar membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.
Belajar kolaboratif sangat relevan dan
sangat mungkin untuk dikembangkan karena dalam belajar kolaboratif memungkinkan
berlangsungnya proses belajar yang ciri-cirinya selaras dengan ciri-ciri
belajar konstruktivisme. Pengetahuan pebelajar dalam kelompok dapat dibentuk
baik secara inidividual maupun sosial demikian menurut Shymansky, 1992; Watts
& Pope, 1989 (Suparno, 1997:63).
Belajar secara kolaboratif sangat
membantu pebelajar karena memiliki unsur-unsur yang berguna untuk menantang
pemikiran dan meningkatkan harga diri pebelajar. Kebermanfaatan belajar secara
kolaboratif telah dihimpun oleh Panitz dan Panitz (2005) terdiri dari 38 macam
manfaat:
(1)
Develops higher level thinking skills (Webb 1982)
(2)
Promotes student-faculty interaction and familiarity.
(3)
Increases student retention.
(4)
Builds self esteem in students (Johnson dan Johnson 1989).
(5)
Enhances student satisfaction with the learning experience.
(6)
Promotes a positive attitude toward the subject matter.
(7)
Develops oral communication skills (Yages 1985).
(8)
Develops social interaction skills.
(9)
Promotes positive race relations (Johnson dan Johnson 1972).
(10)
Creates an environment of active, involved, exploratory learning
(Slavin 1990).
(11)
Fosters team building and a team approach to problem solving while
maintaining individual accountability (Cooper et al. 1984; Johnson, Johnson dan
Holubec 1984).
(12)
Encourages diversity understanding (Burnstein dan McRae 1962).
(13)
Encourages student responsibility for learning (Baird dan White
1984).
(14)
Involves students in developing curriculum and class procedures
(Kort 1992).
(15)
Students explore alternate problem solutions in a safe environment
(Sandberg 1995).
(16)
Stimulates critical thinking and helps students clarity ideas through
discussion and debate (Johnson 1973a, 1974a).
(17)
Enhances self management skills (Resnick 1987).
(18)
Fits in well with the contructivist approach (Davis, Mahler dan
Noddings 1990).
(19)
Establishs an atmosphere of cooperation and helping schoolwide
(Deutsch 1975, 1985).
(20)
Students develop responsibility for each other.
(21)
Builds more positive heterogeneous relationships.
(22)
Encourages alternate student assessment techniques (Rosenshine dan
Stevens 1986).
(23)
Fosters and develops interpersonal relationships (Johnson dan
Johnson 1987).
(24)
Modelling problem solving techniques by students’ peers (Schunk
dan Hanson 1985).
(25)
Student are taught how to criticize ideas, not people (Johnson,
Johnson & Holubec 1984)
(26)
Sets high expectations for students and teachers.
(27)
Promotes higher achievement and class attendance (Hagman &
Hayes 1986).
(28)
Students stay on task more and are less disruptive.
(29)
Greater ability students to view situations from others’
perspectives (Development of empathy).
(30)
Creates a stronger social support sistem (Cohen & Willis
1985).
(31)
Creates a more positive attitude toward teachers, prinsipals and
other school personnel by students and creates a more positive attitude by
teachers toward their students.
(32)
Addresses learning style differences among students (Midkiff &
Thomasson 1993).
(33)
Promotes innovation in teaching and classroom techniques (Slavin
1980, 1990).
(34)
Classroom anxiety is significantly reduced (Kessler, Price &
Wortman 1985).
(35)
Tes anxiety is significantly reduced (Johnson & Johnson 1989).
(36)
Classroom resembles real life social and employment situations.
(37)
Students practice modelling societal and work related roles.
(38)
Collaborative is synergistic with writing across the curriculum.
Bandura (Kreitner & Kinicki,
2000:400) dengan teori belajar sosialnya berpandangan bahwa perilaku
dikendalikan dengan isyarat dan konsekuensi yang berkaitan dengan lingkungan,
dengan demikian proses kognitif atau mental mempengaruhi respons seseorang
terhadap lingkungan.
Kesuksesan adalah buah dari kesalingtergantungan
(interdependence) Covey (1989:38). Kesalingtergantungan
(interdependence) mengandung nilai
inti perdamaian yang harus dikembangkan yang terdiri dari:(1) cinta, (2)
keharuan, (3) harmoni, (4) toleransi, (5) mengasuh dan berbagi, (6)
interdependensi, (7) pengenalan jiwa orang lain, (8) spiritualitas, dan (9)
perasaan berterimakasih. Harapan suasana damai sebagai cita masyarakat dunia
seperti dicirikan oleh nilai-nilai itu, harus ditumbuh-kembangkan salah satunya
melalui praktik pengajaran pada berbagai jalur dan jenjang pendidikan.
Pengembangan model belajar kolaboratif
merupakan wahana yang tepat untuk misi penanaman nilai-nilai damai ini karena
muatannya sangat relevan untuk mewujudkan karakter dan perilaku individu
anggota masyarakat yang dicitakan. Pembekalan nilai-nilai damai adalah
kebutuhan yang rasional dan mendesak untuk membentuk karakter dan perilaku pebelajar
calon pengajar yang sekaligus juga untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam
arti luas.
Secara khusus pembekalan nilai-nilai
damai juga perlu dilakukan pada tiap-tiap matakuliah dengan tidak mengabaikan
esensi dari pembentukan kompetensi sebagai pengajar. Implikasinya maka setiap usaha membelajarkan
pebelajar dengan tujuan peningkatan kompetensi, seyogianya menerapkan pola
pengajaran kolaboratif. Oleh sebab itu peningkatan kemampuan pemecahan masalah
dalam kuliah Akuntansi yang pengelolaan pengajarannya diorganisir secara
kolaboratif, tidak terlepas dari misi untuk membentuk karakter dan perilaku
damai di kalangan calon pendidik sesuai yang dicitakan.
Pendukung-pendukung belajar kolaboratif
berargumentasi, bahwa pertukaran gagasan di antara anggota kelompok tidak saja
meningkatkan minat di antara anggota melainkan juga meningkatkan kemampuan
berpikir kritis. Sebagaimana Johnson dan Johnson (1986:35) berkesimpulan bahwa
terdapat peristiwa persuasif di mana kerjasama tim dapat mencapai tingkat
berpikir tertinggi dan memperoleh informasi lebih banyak ketimbang tiap
individu bekerja sendiri-sendiri meskipun sudah dengan sungguh-sungguh.
Belajar saling berbagi di antara pebelajar memberi
peluang terlibat dalam diskusi, bertanggungjawab untuk keberhasilan belajar
pada dirinya sendiri, dan akhirnya menjadi pemikir kritis demikian menurut Totten, Sills, Digby, &
Russ, 1991 sebagaimana dikutip Gokhale (1995).
Indikasi positif dari belajar kolaboratif yang lain dapat ditengarai
bila dibandingkan dengan pengajaran yang tradisional.
Belajar kolaboratif yang ditekankan
adalah bukan pencapaian hasil belajar tetapi lebih mengutamakan bagaimana
proses belajar yang dialami pebelajar dapat berlangsung yang memungkinkan
proses pembentukan pengetahuan
pada dirinya. Babbage,
Byers & Redding (1999:60)
telah mengidentifikasikan proses keterlibatan yang terjadi dalam
proses belajar individu terkait
dengan tujuan belajar pemecahan
masalah. Proses keterlibatan itu antara lain:
(1) knowing-there is a problem to solve;
(2) willing-to solve the problem; (3) analysing-the task; (4) understanding-the
rules of the investigation; (5) asking-appropriate questions; (6)
answering-questions; (7) choosing-the right resources to use; (8)
hypothesising-about what might happen; (9) waiting-for something to happen;
(10) attending-throughout the task; (11) sequencing-thoughts and actions; (12)
assessing-results.
Pada tabel berikut dikutip berbagai indikasi
perbedaan antara pengajaran tradisional dan pengajaran kolaboratif.
Tabel 3
Perbandingan Pengajaran Tradisional
dan Pengajaran Kolaboratif
Pengajaran tradisional (A teacher centered environment) |
Pengajaran Kolaboratif (A student centered environment) |
The teacher is in control. |
Students are in control of their own learning. |
Power and responsibility are primarily teacher centered. |
Power and responsibility are primarily student centered. |
The teacher is the instructor and decision maker. |
The teacher is a facilitator and guide. The students are the
decision makers. |
The learning experience is often competitive in nature. The
competition is usually between students. Students resent others using their
ideas. |
Learning may be co-operative, collaborative or independent.
Students work together to reach a common goal. Students willingly help each
other sharing/exchanging skills and ideas. Students compete with their
own previous performance, not against peers. |
Series of smaller teacher defined tasks organized within
separate subject disciplines. |
Authentic, interdisciplinary projects and problems. |
Learning takes
place in the classroom. |
Learning extends beyond the classroom. |
The content is
most important. |
The way information is processed and used is most
important. |
Students master
knowledge through drill and practice. |
Students evaluate, make decisions and are responsible for their
own learning. Students master knowledge by constructing it. |
Content is not
necessarily learned in context. |
Content is learned in a relevant context. |
Dari
pandangan-pandangan yang telah dipaparkan dapat dikatakan, bahwa belajar secara
kolaboratif dapat meningkatkan partisipasi pebelajar dalam proses belajar.
Belajar kolaboratif merupakan suatu himpunan pendekatan untuk mendidik, yang
terkadang juga disebut sebagai belajar kooperatif atau belajar kelompok kecil.
Belajar kolaboratif menciptakan suasana yang melibatkan pebelajar mengerjakan
sesuatu dan berpikir tentang sesuatu yang ia kerjakan, dan mendorong yang lain
untuk ikut terlibat. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa belajar kolaboratif
merupakan salah satu strategi mengajar yang dapat diandalkan untuk dapat
membuat proses pembelajaran menjadi aktif dan efektif yang sekaligus dapat
digunakan untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian.
5. Tahap-tahap Pembelajaran Kolaboratif
Pengajaran
kolaboratif mempunyai 6 langkah utama (Arend, 2000) yaitu: (1) penyampaian
tujuan dan memotivasi pebelajar; kedua, penyajian informasi dalam bentuk
demonstrasi atau melalui bahan bacaan; (3) pengorganisasian pebelajar ke dalam
kelompok-kelompok belajar; (4) membimbing kelompok bekerja dan belajar; (5)
evaluasi tentang apa yang sudah dipelajari sehingga masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya; (6) memberikan penghargaan baik secara
kelompok maupun individu.
6. Gradasi (Pemberian Nilai)
Esensi dari belajar kolaboratif adalah persepsi
tentang kesalingtergantungan. Salah satu cara untuk menciptakan persepsi
kesalingtergantungan adalah dengan memberikan tantangan pemberian bonus atau
hadiah (reward) atas prestasi kerja
yang didapat dari kesalingtergantungan itu.
Menurut Johnson & Johnson, 1984 (Johnson &
Johnson, 1987:137-138) ada 11(sebelas) cara untuk
pola pemberian nilai dan bonus sebagai hadiah (reward). Cara-cara itu antara lain:
(1)
Pemberian nilai berupa rerata dari
skore yang diperoleh anggota kelompok.
(2)
Pemberian nilai merupakan total
dari skore individu anggota kelompok.
(3)
Pemberian nilai didasarkan pada skore
kelompok yang terletak pada hasil kerja tertentu, misalnya laporan kerja
kelompok. Hasil ini dinilai dan semua anggota menerima skore dari hasil
penilaian ini.
(4)
Pemberian nilai didasarkan pada skore
penilaian secara random dari salah satu kertas kerja anggota kelompok. Anggota
kelompok menyelesaikan tugas secara individual masing-masing, dan melakukan
saling periksa kertas kerja di antara mereka,
kemudian menentukan salah satu sebagai yang sempurna dan terbaik. Dosen
kemudian memberikan skore penilaian atas paper yang terpilih ini, dan skore ini
merupakan nilai dari setiap anggota kelompok tersebut.
(5)
Pemberian nilai dilakukan dengan
prosedur dipilih secara random salah satu hasil ujian anggota kelompok kemudian
diberi skore. Anggota kelompok menyiapkan suatu ujian dan menyatakan tiap
anggota telah menguasai bahan. Kemudian semua anggota kelompok mengikuti ujian
secara individual. Karena tiap anggota telah menyatakan menguasai bahan yang
dipelajari, maka sedikit sekali perbedaan hasil ujian jika diskore. Dosen
kemudian memilih salah satu secara random untuk diberi skore, dan skore ini
merupakan skore yang diterima untuk setiap anggota kelompok.
(6)
Pemberian nilai didasarkan pada skore
inidividu ditambah skore bonus kelompok. Anggota kelompok belajar bersama dan
semua dinyatakan telah menguasai bahan. Kemudian setiap anggota kelompok
mengikuti ujian secara individual dan mendapatkan skore. Jika semua anggota
kelompok mencapai lebih dari kreteria yang ditentukan, tiap anggota kelompok
akan menerima bonus.
(7)
Pemberian nilai atas dasar poin
bonus yang diberikan berdasarkan skore terendah. Tiap anggota kelompok saling
menyiapkan diri untuk ujian. Anggota kelompok menerima poin bonus berdasarkan
skore terendah yang dicapai dalam kelompok mereka. Prosedur ini menumbuhkan,
mendorong dan membimbing bagi yang mendapat skore rendah dalam kelompoknya.
Kreteria poin bonus dapat disesuaikan pada setiap kelompok belajar, tergantung
pada tampilan skore terendah anggota kelompok yang lalu.
(8)
Pemberian nilai atas dasar skore
individu ditambah rerata skore kelompok. Tiap anggota kelompok saling siap
untuk mengambil ujian. Tiap anggota ikut ujian akan mendapatkan skor. Kemudian
setiap anggota ujian dan mendapatkan skore. Skore anggota kelompok kemudian
dirata-rata. Rerata skore kelompok ditambahkan pada skore tiap individu.
(9)
Pemberian nilai mengikuti prosedur
di mana tiap anggota kelompok memperoleh skore dari skore terendah anggota
kelompok. Anggota kelompok satu sama lain siap menempuh ujian. Masing-masing
menempuh ujian sendiri-sendiri. Semua anggota kelompok kemudian mendapatkan
skore dari skore terendah yang dicapai oleh anggota kelompok.
(10) Pemberian
nilai didasarkan pada rerata skore prestasi ditambah skore kecakapan
berkolaborasi. Kelompok bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas. Mereka
menempuh ujian sendiri-sendiri dan kemudian skorenya dirata-rata. Selain itu
kerja mereka diamati dan kegiatan kecakapan berkolaborasi frekuensinya dicatat
(kepemimpinan, kepercayaan dsb.). Atas dasar ini skore kecakapan berkolaborasi
kelompok diberikan dan ditambahkan pada rerata prestasi kelompok yang kemudian
menjadi skore untuk masing-masing semua anggota kelompok.
(11) Pemberian
nilai dengan memberi hadiah ganda prestasi akademik dan non-akademik. Anggota
kelompok saling siap untuk menempuh tes secara individu, dan mendapatkan nilai
secara individu. Berdasarkan rerata kelompok, mereka memperoleh hadiah bebas
waktu, tambahan waktu senggang, atau hadiah yang lain.
Untuk
kepentingan pengembangan gradasi penilaian pada penelitian ini akan
dikembangkan pola tersendiri tetapi mengacu pada contoh-contoh tersebut yang
dituangkan dalam preskripsi asesmen.
7. Konsep
Dasar Model Pembelajaran Kolaboratif Investigasi Kelompok
a. Tujuan dan Asumsi
Dewey,
1916 (Udin S.,2001:34) telah menyarankan bahwa keseluruhan kehidupan sekolah
harus ditata sebagai bentuk kecil atau miniatur kehidupan demokrasi. Untuk
itulah pebelajar seyogianya memperoleh kesempatan dan pengalaman dalam
membangun sistem sosial secara berangsur-angsur belajar bagaimana menerapkan
metode yang berwawasan keilmuan dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Dalam
kerangka pemikiran yang demikian Joyce dan Weil (1996:75) menyatakan bahwa
suasana kelas merupakan analogi dari kehidupan masyarakat, yang didalamnya ada
tatatertib, dan budaya kelas. Yang harus dikembangkan pebelajar adalah
memelihara cara hidup, standar hidup dan pengharapan yang tumbuh di dalam
kehidupan kelas.
Oleh
sebab itu tugas dosen harus memfasilitasi dengan menciptakan suasana yang
memungkinkan tumbuhnya kehidupan kelas seperti dimaksud. Pemikiran ini sejalan
dengan usaha untuk mereformasi dunia pendidikan yang mengacu pada perkembangan
ekonomi dan masyarakat yang cepat dan kemampuan tenaga kerja yang diperlukan
yang menetapkan perlunya pengembangan skill dasar bagi setiap pebelajar. Skill
dasar itu menurut Murname dan Levy (Zamroni, 2000:154) meliputi (1) the hard skills, yang mencakup
dasar-dasar matematik, problem solving,
dan kemampuan membaca, (2) the soft
skills, yang meliputi kemampuan bekerja sama dalam kelompok dan kemampuan
untuk menyampaikan ide dengan jelas baik lisan maupun tulis, (3) kemampuan
memahami bahasa komputer yang sederhana, seperti word processor.
Kelas
dengan kerjasama kolaboratif merupakan gambaran awal untuk tumbuhnya wawasan pebelajar
sebagaimana yang diharapkan dalam hidup demokrasi. Hidup demokrasi sebagaimana
dicitakan, berwujud tampilnya kultur sekolah yang ideal. Banyak bukti
menunjukkan, bahwa kultur sekolah yang guru-gurunya diorganisir dalam suatu tim
yang masing-masing anggotanya memiliki peran yang sederajat, otonom, saling
menghormati, dan saling membantu telah berjalan lebih baik daripada guru yang
diorganisir berdasarkan otoritas yang bersifat hirarkhis (Zamroni, 2000:39).
Melalui
model investigasi kelompok, mahasiswa akan bekerja dan belajar cara-cara
anggota masyarakat melakukan proses mekanisme sosial melalui berbagai proses
pengambilan keputusan untuk memperoleh kesepakatan-kesepakatan. Belajar
kemampuan pemecahan masalah dalam Akuntansi sangat tepat dilakukan dengan model
ini karena selain pengembangan keilmuan secara akademis, mahasiswa sekaligus
melatih diri belajar melalui kesepakatan-kesepakatan dan mereka terlibat
langsung praktik dalam pemecahan masalah sosial.
Tiga konsep
utama yang dikandung dalam model investigasi kelompok, yakni (1) penyelidikan
atau inquiry, (2) pengetahuan atau knowledge, dan dinamika belajar kelompok
atau the dynamics of the learning group.
Penyelidikan adalah proses di mana mahasiswa dirangsang dengan dihadapkan pada
masalah. Dalam proses ini mahasiswa masuk dalam situasi melakukan respon
terhadap masalah yang mereka rasakan untuk dipecahkan. Wujud masalah itu dapat
berasal dari mahasiswa sendiri atau dari dosen.
Dalam
penelitian ini masalah sudah dipreskripsi dalam bentuk bahan belajar dalam
Satuan Acara Perkuliahan (SAP). Untuk memecahkan masalah tersebut dituntut
prosedur dan persyaratan yang sudah tertentu kaidahnya menurut norma dalam
pemecahan masalah kasus Akuntansi. Kemudian pengetahuan, adalah pengalaman yang
didapat oleh mahasiswa secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan
pemecahan masalah. Dinamika kelompok menunjuk
pada suasana yang menggambarkan sekelompok individu saling berinteraksi
membicarakan sesuatu yang sengaja dikaji bersama. Proses yang terjadi adalah
berbagi gagasan dan pendapat, saling tukar pengalaman, dan saling adu
argumentasi. Ketiga hal inilah yang merupakan dasar dari investigasi kelompok
sebagai unsur-unsur dasar dalam pengelolaan belajar kolaboratif.
b. Prinsip Pengelolaan
Prinsip
pengelolaan yang digunakan sebagai acuan, bahwa pengembangan sistem sosial
harus berlangsung secara demokratis, ditandai oleh keputusan-keputusan yang
tumbuh dari iklim konsensus atau kesepakatan kelompok dengan pokok masalah
sebagai sentral kegiatan belajar. Dosen diupayakan seminimal mungkin memberi
kontribusi pengarahan, sehingga kelas acapkali tampak tak terstruktur. Dosen
dan mahasiswa berstatus sama dalam menghadapi masalah sebagai sentral kegiatan
belajar, tetapi peranannya berbeda.
Oleh
sebab itu prinsip yang dipegang adalah bahwa dosen sebagai konselor, konsultan,
dan pemberi kritik yang konstruktif. Bimbingan diarahkan melalui proses tiga
tahap: (1) tahap pemecahan masalah, (2) tahap pengelolaan kelas, dan (3) tahap
pemaknaan secara perorangan. Tahap pemecahan masalah adalah tahap berkaitan
dengan upaya menjawab pertanyaan apa hakikat dan fokus dari masalah. Tahap
pengelolaan berkaitan dengan proses menjawab pertanyaan, antara lain informasi
apa yang dibutuhkan, bagaimana mengorganisir kelompok untuk memperoleh
linformasi itu. Tahap pemaknaan perseorangan berkenaan dengan proses pengkajian
bagaimana kelompok menghayati kesimpulan yang dibuat, dan apa yang membedakan
seseorang sebagai hasil dari terlibat proses tersebut demikian menurut Thelen
(Joyce & Weil, 1996:78).
Kegiatan
pembelajaran akan lancar jika sarana pendukung mencukupi. Sarana pendukung itu
antara lain tersedianya bahan kajian untuk mendukung informasi yang diperlukan
untuk pemecahan masalah dalam kelompok. Bahan belajar yang cukup, fasilitas
pendukung sebagai sarana melakukan kalkulasi cukup tersedia. Media penyajian
atau persentasi dalam kelas mendukung.
Dampak
pengajaran yang didapat dengan penerapan belajar kolaboratif investigasi
kelompok sebagaimana dilukiskan oleh Joyce dan Weil (1996:87) antara lain (1)
pandangan konstrutivis tentang pengetahuan terfasilitasi; (2) penelitian yang
berdisiplin, dan (3) proses dan keteraturan kelompok yang efektif. Sedangkan
dampak pengiring yang mengikutinya antara lain: (1) menghormati hak asasi
manusia dan komitmen terhadap keanekaragaman, (2) kemerdekaan sebagai pebelajar
(mahasiswa), (3) komitmen terhadap penelitian sosial, dan (4) kehangatan dan
keterikatan antar pebelajar dapat dibangun.
Selanjutnya
tahap-tahap pelaksanaan pengajaran menurut investigasi kelompok meliputi
6(enam) tahap yakni : (1) penyajian situasi problematis, (2) eksplorasi (respon
situasi problematis), (3) merumuskan tugas-tugas belajar dan mengorganisasikan
untuk proses penelitian, (4) bekerja dan belajar individu dan kelompok, (5) analisis
kemajuan dan proses yang dilakukan dalam penelitian kelompok, (6) proses
pengulangan kegiatan (recycle activities).
Langkah-langkah
(sintak) pengajaran kolaboratif yang dipreskripsikan merupakan ramuan sintak
model investigasi kelompok ( Joice & Weil, 1996:87) di asimilasikan dengan
model Silber, 2002 yang pola struktur proses pemecahan masalahnya menggunakan
pola dasar pemecahan masalah kolaboratif. Secara operasional sintak
pembelajarannya menjadi tampak seperti pada gambar 13 berikut.
Kegiatan Dosen |
Langkah Pokok |
Kegiatan Mahasiswa |
|||||
|
|
|
|
||||
PENGELOLAAN KOLABORATIF |
·
Memberikan
perhatian ·
Menyampaikan
pengetahuan baru · Menyampaikan apa yang harus dipelajari
dengan pengetahuan baru itu |
|
Pemilihan dan Pemahaman Informasi |
|
·
Memilih
informasi untuk melibatkan diri |
BELAJAR KOLABORATIF DALAM
KELOMPOK |
|
|
|
|
|
|
|||
· Mengingatkan kembali (Recall)
pengetahuan lama · Menghubungkan (Relate) pengetahuan
baru dengan yang lama |
|
Menghubung-kan Informasi dengan Memori |
Pencar i an Solus i |
|
·
Menghubungkan
pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki |
||
· Menstrukturkan Isi · Merumuskan tujuan · Mengelompokkan informasi (Chunking) · Membuat text layout Menyiapkan
ilustrasi |
|
Organisasi Informasi |
|
·
Mengorganisasikan
informasi yang diterima |
|||
· Menyajikan pengetahuan baru · Memberikan contoh |
|
Assimilasi Prosedur |
|
·
Mengasimilasikan
pengetahuan baru kedalam memori |
|||
|
|
|
|
|
|||
· Menyiapkan latihan · Rangkuman dan sintesis |
|
Latihan, Jawaban Pemecahan, Penguatan Memori |
|
·
Memantapkan
pengetahuan baru ke dalam memori atau ingatan untuk dapat digunakan pada
situasi baru atau kerja |
|||
|
|
|
|
|
|||
· Memberikan umpan balik · Memberikan tes |
|
Umpan Balik |
|
·
Melakukan
refleksi diri, unjuk kerja individu dan kelompok |
|||
|
Gambar 13
Preskripsi
Sintak Pengajaran Kolaboratif Pemecahan Masalah Akuntansi
A. Sistem dan Prosedur
Asesmen Sejawat
1. Asesmen Dalam Kerangka Sistem Pengajaran
Asesmen sebagai bagian dari sistem pengajaran merupakan sarana untuk
memantau proses dan kemajuan belajar pebelajar, sekaligus memberikan balikan
bagi perbaikan proses dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan,
dengan demikian asesmen harus mengacu dan relevan dengan rumusan tujuan yang
ingin dicapai (Reiser & Dick,1996:83).
Hakikat asesmen menurut Pasal 63 ayat (1) point a) dari PP No. 19 Tahun
2005 pengembangannya ditujukan untuk penilaian hasil belajar oleh pendidik yang
dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil belajar. Fungsinya untuk menilai pencapaian kompetensi pebelajar, memenuhi bahan pelaporan kemajuan
hasil belajar dan untuk memperbaiki proses pembelajaran.
Sejalan dengan pemikiran itu pengembangan ini bermaksud mengembangkan
sistem dan perangkat asesmen kelas dalam kawasan variabel metode
pengajaran yang terkait dengan implikasi dari penerapan strategi pengelolaan
dan strategi pengorganisasian belajar (Reigeluth, 1983:21; Degeng, 1989:14)..
Asesmen kelas memerlukan prakondisi variabel metode pengajaran yakni strategi
pengelolaan belajar.
Penerapan hasil pengembangan asesmen akan bermanfaat jika preskripsinya
telah dikaji dan dikembangkan melalui
strategi pengelolaan dan pengorganisasian pengajaran. Oleh sebab itu
pengembangan asesmen untuk tujuan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah di
bidang Akuntansi perlu disertai preskripsi strategi pengelolaan dan
pengorganisasian isi pengajaran yang menopang penguasaan kemampuan pemecahan
masalah bidang Akuntansi.
Preskripsi pengelolaan dikembangkan dengan pendekatan belajar
kolaboratif; sedangkan pengorganisasian isi dipilih pendekatan strategi tingkat
makro dan teori elaborasi digunakan sebagai landasan kerja pengembangannya.
Komponen-komponen dalam teori elaborasi (Reigeluth dan Stein, 1983:342; Degeng,
1989:114) terdiri dari: (1) urutan elaboratif, (2) urutan prasyarat belajar,
(3) rangkuman, (4) sintesis, (5) analogi, (6) pengaktif strategi kognitif, dan
(7) kontrol belajar.
Kemampuan pemecahan masalah bidang Akuntansi
merupakan hasil pengajaran yang diinginkan (desired
outcomes), dan bukan hasil pengajaran yang nyata (actual outcomes) dalam pengertian probabilistik. Pengembangan
asesmen dan pengelolaan pengajaran ini merupakan pengembangan pada kawasan
teori preskriptif. Pengembangan pada kawasan teori presktiptif adalah ‘goal oriented’, sedangkan teori
deskriptif adalah ‘goal free’
(Reigeluth, 1983: Degeng, 1989:21). Pengembangan asesmen ini ditujukan untuk
meningkatkan kompetensi kemampuan pemecahan masalah di bidang Akuntansi dan
bukan bermaksud memerikan hasil belajar
Akuntansi.
a. Pengertian Asesmen
Asesmen adalah proses dari pengumpulan
informasi guna membuat keputusan (
Asesmen dapat didefinisikan juga sebagai
proses dari pengumpulan dan pengujian informasi untuk meningkatkan kejelasan
pengertian tentang apa yang sudah dipelajari oleh pebelajar dari
pengalaman-pengalamannya (Huba dan Freed, 2000:8).
Tindakan asesmen sangat erat kaitannya
dengan pengambilan keputusan. Semakin meningkat
jumlah peristiwa pengambilan keputusan dari asesmen tentang nasib pebelajar,
semakin serius konsekuensi dan implikasinya dalam jangka panjang. Pengajar
harus serius dalam mengemban masalah asesmen ini (
Astin (1993:2) mengartikan asesmen dengan
didasari pertimbangan untuk tujuan menghimpun informasi yang fungsinya
ditujukan bagi pebelajar, staff, dan lembaga. Fungsinya mengacu kepada
tujuan-tujuan sosial dari universitas, yakni memfasilitasi dan mengembangkan
belajar pebelajar, mengembangkan keterbatasan pengetahuan, dan menyumbangkan
diri bagi kepentingan sosial dan masyarakat. Atas dasar tujuan ini, Astin
(1993:2) membedakan dua kegiatan yang berbeda: (1) sekedar menghimpun informasi
(pengukuran), dan (2) pemanfaatan informasi untuk kepentingan pengembangan
lembaga dan individu di dalamnya.
Asesmen sebagai keseluruhan metode yang
biasa digunakan untuk menaksir atau menilai kinerja individu atau kelompok (Gipps,
1996 dalam Headington, 2000:21). DES,1988 (Headington, 2000:21) mempertegas
lagi, bahwa asesmen tidak berada di luar pengajaran dan pembelajaran, tetapi
berada dalam interaksi dinamis di dalamnya.
Asesmen
adalah suatu cara berpikir tentang proses belajar. Asesmen bukan tahapan
yang terjadi sebelum pengajaran tetapi terjadi selama dalam proses menganalisa
informasi untuk meningkatkan efektivitas mengajar dengan tujuan pokok: (1)
penempatan (placement), (2)
pengajaran (instruction), dan (3)
komunikasi (communication) (Hoy &
Gregg, 1994:4).
Rowntree (1999) menyatakan, bahwa asesmen
adalah sesuatu yang penting untuk mencoba mencari tahu tentang pebelajar dan
menemukan hakikat dan kualitas belajarnya, yaitu tentang kelemahan dan
kekuatannya, minat dan keengganan, motivasi dan pendekatan-pendekatan yang
digunakan untuk belajar.
Menurut Popham (1995:7) alasan perlunya
melakukan asesmen, adalah untuk: (1) mendiagnosa kekuatan dan kelemahan
pebelajar, (2) memantau kemajuan belajar, (3) memberi atribut pemberian nilai,
dan (4) menentukan efektivitas pengajaran.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat
disimpulkan 4(empat) hal pokok terkait dengan tindakan asesmen: (1) asesmen
membutuhkan informasi yang terhimpun secara sistematis, dapat dianalisis, dan
terintegrasi, (2) tujuan utama proses asesmen dalam pendidikan adalah untuk
menginterpretasikan perbedaan dalam pola-pola belajar dari pebelajar, (3)
asesmen dapat membantu pengajar memfokuskan diri pada strategi mengajar yang
efisien dan tepat, dan (4) asesmen pada dasarnya merupakan proses yang
berlangsung terus-menerus.
b. Tujuan Asesmen
Herman, Aschbacher, dan Winters (1992) menyatakan
2(dua) tujuan yang paling dasar, yaitu untuk (1) menentukan sejauh mana
pebelajar telah menguasai pengetahuan khusus atau keterampilan-keterampilan (content goal), (2) mendiagnosa
kelemahan dan kelebihan pebelajar dan merancang pengajaran yang sesuai (process goals). Program asesmen berarti
untuk memenuhi tujuan diagnosa dan penempatan, formatif dalam rangka
perencanaan pengajaran, dan evaluasi sumatif untuk kegiatan akhir keseluruhan
pengajaran. Terkait dengan tujuan pertama, asesmen harus difokuskan kepada
hasil belajar dengan menggunakan tes pilihan jawaban (multiple choice) dan asesmen langsung terhadap proyek atau produk
karya pebelajar. Untuk tujuan kedua, asesmen difokuskan kepada perhatian
tentang pemahaman mengapa pebelajar berbuat salah, sehingga yang dibutuhkan
adalah informasi tentang proses daripada hasil belajar, oleh karenanya
teknik-teknik yang tepat digunakan antara lain wawancara, observasi dokumen,
log dan jurnal belajar atau evaluasi diri, daftar isian tentang perilaku, dan
pemikiran-pemikiran pebelajar mengenai proses belajarnya.
Dari pendapat ini dapat dikatakan, bahwa
tujuan pokok dari kegiatan asesmen selain untuk mengetahui penguasaan
pengetahuan dan keterampilan pebelajar (assessment
of learning), yang lebih utama adalah untuk kepentingan diagnosa kesulitan
belajar (assessment for learning).
Asesmen lebih tertuju pada proses belajar daripada hasil belajar. Strategi
asesmen formatif untuk tujuan perbaikan tahapan belajar, sedangkan asesmen
sumatif ditujukan untuk kepentingan melihat pencapaian hasil belajar.
c. Prinsip-prinsip Asesmen
Pada dasarnya asesmen dilakukan oleh
pengajar setiap hari dengan menggunakan pengukuran formal maupun informal.
Komponen terpenting bukan pengukuran dengan tes, melainkan pada pengumpulan,
pencatatan dan penerjemahan yang sistematis dari kinerja pebelajar.
Prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan
asesmen menurut The National Board for Professional Teaching Standards (diambil 20 Desember 2005 dari http://www.nbpts.org/standards/dev.cfm)
adalah : (1) tugas-tugas harus autentik dan kompleks;
(2) tugas-tugas harus terbuka, memungkinkan pengajar melihat praktiknya; (3)
tugas-tugas harus menyediakan peluang memberdayakan untuk analisis dan
refleksi; (4) pengetahuan materi bidang studi harus menekankan untuk semua
penampilan; (5) tugas-tugas harus memberdayakan guru untuk memberi contoh
praktis yang baik; (6) tiap tugas harus mengases suatu himpunan yang
terstandard; dan (7) tiap standard harus diases oleh lebih dari satu macam
tugas.
d. Landasan Teori Asesmen Kinerja
Asesmen teman sejawat sebagai salah satu asesmen kinerja sangat
terkait dengan teori belajar sebagai landasan psikologisnya. Teori belajar
fleksibilitas kognitif dari R. Spiro, 1990 (Asmawi Zainul, 2001:5) menegaskan
belajar pada dasarnya sesuatu yang kompleks dan tidak terstruktur. Proses
belajar berarti tak pernah berakhir, selalu ada proses adaptasi dan selalu
berubah; oleh karenanya asesmen dibutuhkan untuk menyertai seluruh kegiatan
belajar dan pembelajaran.
J. Bruner, 1966 (Asmawi Zainul, 2001:5) telah menegaskan bahwa
belajar adalah proses aktif pebelajar
yang mengkonstruksikan gagasan baru atau konsep baru atas dasar konsep,
pengetahuan dan kemampuan yang telah dimiliki. Ada peluang pebelajar untuk
bergerak lebih jauh melampaui informasi yang didapat, karena dia mampu menyusun
hipotesis, membuat keputusan atas dasar struktur kognitifnya. Proses belajar
berlangsung melalui tiga proses, yaitu perolehan, mentransfer dan mengolah
kembali. Belajar membutuhkan dialog intensif antara dosen dan pebelajar. Dialog
akan baik jika dosen mampu masuk dalam
struktur kognitif dan pada tingkat pemahaman pebelajar.
Belajar merupakan suatu kegiatan pengolahan informasi yang
menemukan kebutuhan untuk mengenal dan menjelaskan gejala yang terjadi di
lingkungan pebelajar. Dalam belajar tercakup tiga hal yakni informasi tentang
bagaimana kreativitas tumbuh di antara para pebelajar, belajar membantu
menyusun pengetahuan, dan belajar membantu mengurutkan pengetahuan sedemikian
rupa menjadi bermakna. Dalam konteks demikian maka assessment kinerja dibutuhkan untuk dikembangkan dalam praktik
penilaian.
Pada dimensi yang lain, C Rogers, 1969 (Asmawi Zainul, 2001:6)
mengidentifikasi belajar menjadi dua jenis yakni cognitive learning dan experiental
learning. Yang pertama berhubungan
dengan pengetahuan yang sifatnya akademik, sedangkan experiental learning lebih ke pengetahuan yang sifatnya terapan.
Jenis pengetahuan terapan merupakan landasan kuat untuk tumbuh dan berubahnya
pribadi pebelajar, karena proses keterlibatan pribadi, inisiatif diri, evaluasi
diri dan dampak langsung yang terjadi pada diri pebelajar. Implikasinya belajar
harus dilakukan sendiri oleh pebelajar, sedangkan dosen hanya sebagai
fasilitator yang tugas pokoknya menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
belajar. Asesmen dibutuhkan untuk mendeteksi aktivitas perolehan kompetensi pebelajar
baik pada proses keterlibatan pribadi, inisiatif, evaluasi diri dan dampak yang
dialaminya.
Lebih lanjut Howard Gardner (Zamroni, 2000:131) melansir bahwa
belajar bukan hanya didominasi oleh aspek kognitif saja tetapi memiliki multi
aspek, sehingga pembelajaran harus memperhatikan aspek-aspek yang lain. Teori
lama hanya memperhatikan kemampuan verbal-linguistics
sensitivity dan kemampuan logical-mathematical;
sedangkan teori multipleabilities,
talents, and skills melibatkan juga kemampuan (1)visual-spatial, (2)bodily-kinesthetic, (3)musical-rhythmical,
4)inter-personal, (5)intrapersonal, (6)naturalist. Pandangan Gardner
memperjelas, bahwa asesmen hasil maupun proses belajar tidak cukup hanya
mengukur salah satu atau beberapa aspek kemampuan pebelajar, tetapi harus
mengukur seluruh aspek kemampuan pebelajar. Penggunaan penilaian hanya dengan
tes formal tidak cukup memenuhi kaidah asesmen kinerja yang menjadi acuan untuk memenuhi standar nasional
pendidikan.
Dari keempat teori belajar ini maka
jelas bahwa asesmen teman sejawat sebagai asesmen alternatif dibutuhkan sebagai
sarana untuk menghimpun dan melengkapi informasi tentang proses perolehan
belajar dan hasil belajar yang digunakan untuk tujuan pengambilan keputusan dan
untuk memberikan umpanbalik kepada pebelajar maupun pihak lain berkepentingan
tentang perlu tidaknya tindak lanjut atas proses dan hasil pembelajaran.
e. Asumsi-asumsi Dan Karakteristik
Asesmen Kinerja
Gagasan asesmen autentik atau alternatif
termasuk asesmen teman sejawat sebagai asesmen kinerja dikembangkan dalam
rangka memenuhi tuntutan diterapkannya standard kompetensi yang digunakan
sebagai acuan oleh lembaga pendidikan dalam proses pendidikannya. Asumsi-asumsi
yang digunakan menurut Wangsatorntanakhun (1997) adalah bahwa:
(1)
Pengetahuan itu
dikonstruksi. Karena itu partisipasi aktif pebelajar dalam belajar adalah kunci
dari asesmen kinerja.
(2)
Tugas adalah
bermanfaat. Tugas yang ideal adalah berkaitan dengan pengajaran, mengaktifkan
keterlibatan pebelajar dalam aktivitas belajar yang bermanfaat.
(3)
Asesmen yang
baik meningkatkan pengajaran. Semua tujuan asesmen adalah menyediakan informasi
yang sahih untuk pengambilan keputusan.
(4)
Kesepakatan
kriteria mendorong belajar. Pebelajar akan aktif terlibat dalam belajarnya,
jika mereka harus tampil terbaik, ketika mereka
tahu bahwa tujuan mereka bekerja untuk masa depan, ketika mereka
memiliki peluang untuk meguji model belajar yang terbaik, dan ketika mereka mengerti
bahwa bagaimana kinerjanya akan dibandingkan dengan kriteria.
Asesmen kinerja sebagai asesmen autentik
dengan demikian memiliki basis pengembangan dari standard kompetensi. Asesmen autentik
yang diselenggarakan dalam konteks kelas akan meliputi kegiatan-kegiatan
penilaian yang bersifat formatif dan sumatif yang masing-masing menggunakan
acuan kriteria. Implikasinya bagi setiap pengajar dalam menerapkan kriteria
untuk mengacu standar kompetensi yang diajarkan harus melakukan pengembangan
matriks kompetensi belajar yang menjamin pengalaman belajar yang terarah dan
pengembangan penilaian outentik yang bersifat berkelanjutan sehingga menjamin
pencapaian dan penguasaan kompetensi yang diharapkan. Untuk dapat mengembangkan
kedua hal ini seorang pengajar harus mengetahui komponen-komponen pendukung
dari asesmen tersebut.
Asesmen kompetensi menurut Wolf, 1995
(Asmawi Zainul, 2004:10) garis besarnya terdiri dari komponen-komponen (1)
tujuan yang harus dinyatakan secara akurat dan dalam terminologi tingkah laku (behavioral terms); (2) kriteria untuk
asesmen harus dinyatakan secara terbuka dan eksplisit; (3) penolakan terhadap
penetapan masa belajar dan persyaratan masuk bagi calon peserta didik; (4)
persyaratan kelulusan adalah kemampuan mendemonstrasikan kompetensi dalam
profesinya; (5) needs assessment
menjadi suatu yang esensial untuk mengidentifikasi kompetensi peserta didik;
dan (6) personalisasi program pembelajaran dan individualisasi asesmen.
Untuk merancang program pembelajaran dan sistem asesmen yang tepat
perlu diketahui karakteristik-karakteristik asesmen yang berbasis kompetensi. Wolf, 1995 (Asmawi Zainul, 2004:10)
mengidentifikasikan karakteristik asesmen berbasis kompetensi terdiri dari:
(1)
One-to one correspondence with outcome-base-standards.
(2)
Individualized assessment.
(3)
Competent/not yet competent judgement only.
(4)
Assessment in the workplace.
(5)
No specified time for completion of assessment.
(6)
No specified course of learning/study.
(7)
The only condition for achieving is successful
assessment on all performance criteria.
Dalam
kesempatan lain Djemari Mardapi (2004:5) juga mengemukakan
karakteristik-karakteristik asesmen berbasis kompetensi yang meliputi: (1) hasil belajar merupakan
kemampuan atau kompetensi yang dapat didemonstrasikan, (2) kecepatan belajar pebelajar berbeda dalam mencapai
ketuntasan belajar, (3) asesmen hasil belajar menggunakan acuan kriteria, dan
(4) adanya program pembelajaran remidi dan pengayaan, (5) pengajar atau
pendidik merancang pengalaman belajar peserta didik (6) pengajar adalah
fasilitator, (7) pembelajaran mencakup aspek afektif yang terintegrasi dalam
semua bidang studi.
Dalam kesempatan yang sama Djemari Mardapi (2004:7)
juga telah mengemukakan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam asesmen
atau penilaian. Prinsip asesmen atau penilaian yang penting adalah akurat,
ekonomis, dan mendorong peningkatan kualitas pembelajaran; oleh sebab itu
sistem asesmen yang digunakan di setiap lembaga pendidikan harus mampu: (1)
memberi informasi yang akurat, (2) mendorong peserta didik belajar, (3)
memotivasi tenaga pendidik mengajar, (4) meningkatkan kinerja lembaga, dan (5)
meningkatkan kualitas pendidikan.
Terkait khusus dengan asesmen kinerja, Popham
(1995:147) mensyaratkan adanya 7(tujuh) kriteria yang harus digunakan dalam
melakukan asesmen yakni: (1) Generability,
yakni apakah kinerja peserta tes dalam melakukan tugas yang diberikan sudah
memadai untuk digeneralisasikan kepada tugas-tugas lain; (2) Authenticity, yakni apakah tugas yang
diberikan sudah serupa dengan apa yang dihadapi dalam praktik kehidupan nyata
sehari-hari; (3) Multiple foci, yakni
apakah tugas yang diberikan kepada peserta tes sudah mengukur lebih dari satu
kemampuan yang diinginkan; (4) Teachability,
yakni apakah tugas yang diberikan merupakan tugas yang relevan yang hasilnya
semakin baik akibat adanya usaha mengajar pengajar di kelas; (5) Fairness, yakni apakah tugas yang
diberikan sudah adil (fair), tidak
mengandung bias berdasar latar untuk semua peserta tes; (6) Feasibillity, yakni apakah tugas-tugas
yang diberikan dalam penilaian keterampilan atau penilaian kinerja memang
relevan untuk dapat dilaksanakan mengingat faktor-faktor seperti biaya,
ruangan/tempat, waktu, atau peralatannya; (7) Scorability, yakni apakah tugas yang diberikan nanti dapat diskor
dengan akurat dan reliabel, karena salah satu tahap dalam penilaian kinerja
yang sensitif adalah perlakuan dalam pemberian skor.
f. Perbedaan
Asesmen Kinerja dan Asesmen Tunggal
Kecenderungan
dewasa ini asesmen kinerja digunakan secara luas dalam lingkup pendidikan,
berawal dari rasa tidak puas terhadap penggunaan asesmen tunggal berupa tes
baku yang dianggap tidak mampu menampilkan kemampuan pebelajar secara holistik.
Dalam konteks ini yang dimaksud dengan asesmen tunggal adalah tes baku yang
secara tradisional digunakan untuk mengukur perkembangan belajar yang pada
umumnya berbentuk tes obyektif. Tes obyektif hanya memungkinkan peserta tes
untuk memilih satu pilihan jawaban yang benar. Format tes baku biasanya
berbentuk pilihan ganda, satu butir disediakan tiga atau lima pilihan
kemungkinan jawaban. Sebelum digunakan, tes-tes ini distandardisasikan terlebih
dahulu.
Perkembangan
selanjutnya tes baku telah merambah penggunaannya ke tingkat kelas, yang digunakan
dengan tujuan untuk penilaian formatif yang bentuknya juga menggunakan format
tes baku. Istilah tes baku sebagai asesmen tunggal karena memang tidak ada
alternatif lain menjadi istilah yang digunakan untuk menyebut tes-tes yang
diterapkan di kelas sebagaimana dimaksud itu.
Ditilik dari prosedur untuk
merancang instrumennya menurut Anderson (2003:48-73) perbedaan antara asesmen
alternatif dengan asesmen konvensional terletak pada 4(empat) langkah dalam
merancang instrumen yaitu pada langkah ke 4, 5, 7 dan 10 dari 10(sepuluh)
langkah yang ada berikut ini.
Prosedur merancang instrumen Asesmen kecakapan pebelajar:
1. Tentukan tujuan dan gunakan tabel
taksonomi untuk menentukan sel-sel yang sesuai untuk rumusan tujuan tersebut.
2. Tentukan banyaknya jumlah unit asesmen.
3. Tuliskan tugas asesmen dari setiap
tujuan.
4. Setelah tugas asesmen direview pihak
lain, lakukan perubahan jika perlu.
5. Persiapkan unit asesmen
6. Persiapkan metode penskoran
7. Administrasikan unit asesmen
8. Analisis hasil asesmen
9.
Nilai skor pebelajar pada setiap unit asesmen
10. Simpan instrumen asesmen, hasil analisis
dan daftar skor dalam file folder.
Dari sisi lain perbedaan asesmen alternatif dengan asesmen tunggal berupa
tes baku dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Tabel 4
Perbedaan Asesmen Alternatif dan Tes
Baku
Asesmen alternatif |
Tes baku |
1.
Testee
diminta menunjukkan respon terhadap tugas, tidak mengenal ada benar atau
salah tetapi seberapa jauh tugas telah dikerjakannya. 2.
Pada umumnya
testee diminta untuk membuat sesuatu atau mengerjakan sesuatu perbuatan
tertentu. 3.
Tugas
bersifat autentik dikaitkan dengan kehidupan nyata, problemnya praktis. 4.
Menggunakan
kriteria penilaian berupa rubrik sebagai salah satu komponennya. 5.
Sangat
dimungkinkan untuk memperoleh informasi aspek afektif (kepribadian) pebelajar. |
1.
Testee
diminta menunjukkan respon memilih benar atau salah, atau ya apa tidak. 2.
Testee pada
umumnya diminta untuk menuliskan responnya. 3.
Soal-soal
tes seringkali artifisial hanya dalam kelas. 4.
Tidak
menggunakan rubrik sebagai kriteria penilaian, tetapi cukup menggunakan kunci
jawaban. 5.
Tidak
memungkinkan untuk memperoleh informasi tentang aspek afektif (kepribadian) pebelajar. |
2. Sistem Asesmen Dalam Pengajaran di Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Menurut pasal 25 PP 19 Tahun 2005 hasil
belajar calon guru dikategorikan dalam tiga aspek yaitu pengetahuan,
keterampilan, dan sikap (termasuk kepribadian). Ketiga aspek ini merupakan
kemampuan yang bersifat holistik untuk mendukung profesi calon guru yang
mencakup kompetensi-kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial.
Berdasarkan PP 19 Tahun 2005 pasal 17
ayat (4) kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di
perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan
tinggi dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Setiap program studi
bertanggungjawab untuk mengembangkan kurikulum, silabus, desain pembelajaran,
dan sistem asesmennya berdasarkan standar kompetensi lulusan yang ingin
dicapai. Oleh karena itu program studi akan dievaluasi tingkat pencapaian
standar kompetensi lulusannya, salah satu diantaranya didasarkan pada hasil
asesmen terhadap pebelajarnya.
Ada tiga tahapan asesmen yang perlu dilakukan di
LPTK. Pertama, asesmen oleh dosen untuk mengukur tingkat penguasaan kompetensi
pebelajar dalam mata kuliah di bawah binaannya. Kedua, asesmen untuk mengukur
penguasaan calon guru atas standar kompetensi yang dilaksanakan oleh program
studi. Ketiga, berupa ujian sertifikasi kompetensi mengajar, oleh lembaga
independen dan profesional. Bagi pebelajar lulus asesmen tahap kedua oleh
program studi, dapat mengikuti asesmen tahap ketiga (PSABK, 2005:8).
Pebelajar berhak mengikuti asesmen kompetensi
lulusan, jika yang bersangkutan telah menyelesaikan dan lulus seluruh mata
kuliah dan persyaratan lainnya. Kemudian jika mereka berhasil lulus mengikuti
asesmen kompetensi lulusan, mereka berhak mengikuti asesmen kompetensi mengajar
sebagai guru pemula. Asesmen kompetensi mengajar sebagai guru pemula juga berlaku bagi lulusan
non-LPTK. Hanya peserta yang lulus asesmen kompetensi mengajar yang berhak
mendapat sertifikat kompetensi mengajar sebagai guru pemula.
Asesmen Kompetensi Mata Kuliah |
Didasarkan pada
kajian teoritik dan need assessment
serta kebutuhan konsumen |
|
|||||||
|
|
Asesmen Tahap I Oleh Dosen Pembina Kuliah |
|||||||
ya
Asesmen
Kompetensi Lulusan |
tidak tidak |
Asesmen Tahap II Oleh Prodi LPTK Dalam Bentuk
Ujian komprehensif dan Tugas Akhir |
|||||||
ya |
tidak |
Assemen Tahap III Oleh Lembaga Independen
Profesional |
|||||||
ya
Sertifikat
Kompetensi Mengajar |
|
|
Gambar 14
Tahapan Asesmen dalam
Sistem Pembelajaran di LPTK
(adaptasi dari PSABK,
2005:7)
Diagram
pada Gambar di halaman 114 di atas memperjelas kedudukan sistem asesmen dalam
sistem pembelajaran di LPTK.
Pengembangan
model asesmen teman sejawat ini difokuskan pada asesmen kompetensi matakuliah
yang dilaksanakan oleh dosen pengajar Akuntansi.
Untuk
memperbaiki praktik asesmen di perguruan tinggi Ramsden, 1992 (James,
1994) mengajukan 14(empatbelas) aturan
untuk asesmen yang baik di perguruan tinggi, yakni:
(1)
Kaitkan asesmen pada belajar:
pusatkan pertama pada pelajaran, kedua pada usaha yang memberi harapan, dan
ketiga pada penentuan gradasi; lakukan ases sepanjang pengalaman belajar hingga
akhir pelajaran; atur tugas yang mirip dengan permasalahan realistis jika
memungkinkan; integrasikan dan berikan penghargaan.
(2) Jangan pernah mengases tanpa memberi komentar kepada para pebelajar
tentang kemungkinan bagaimana mereka dapat meningkatkan diri.
(3) Belajarlah dari
kekeliruan yang diperbuat pebelajar. Gunakanlah asesmen untuk menemukan kesalah-pahaman mereka, kemudian memodifikasi
pengajaran untuk memperbaiki kesalahpahaman itu.
(4) Tebarkan berbagai metode asesmen.
(5) Coba libatkan pebelajar dalam proses asesmen melalui : a) diskusi tentang metode yang sesuai
dan mengapa metode dikaitkan dengan tujuan
pengajaran, b) gabungkan staff-siswa untuk merancang
pertanyaan-pertanyaan asesmen dan negosiasikan tentang kriteria sukses
dan gagal, dan c) tawarkan pilihan metode asesmen kepada pebelajar secara
bertanggungjawab antara kegiatan self asssesment
dan peer assessment.
(6) Beri pesan sesering mungkin yang mudah diikuti, baik dalam
pertanyaan-pertanyaan asesmen yang dibuat dan dalam sasaran pengajaran, yang
direkam, direproduksi, dan ditiru yang akhirnya keberhasilan pengajaran hanya
akan dapat dicapai ditentukan melalui peragaan pengertian.
(7) Pikirkan hubungan antara laporan dan umpan balik;
membenarkan pada alasan-alasan yang mendidik baik secara terpisah maupun kombinasi menyangkut fungsi sumatif dan
diagnostik test tertentu.
(8) Gunakan pilihan ganda dan 'objective tests yang lain dengan hati-hati, lebih bagus bila
dikombinasi dengan metoda lain. Mengenai kapan teknik alternatif ini dipakai,
dasarkan pada hasil prestasi pebelajar dan waktu yang tepat untuk digunakan.
(9) Dalam hal-hal yang melibatkan manipulasi kuantitatif,
selalu dituntut adanya penjelasan rinci
atas pertanyaan-pertanyaan; sebagai contoh pertanyaan " Apa artinya jika
dikatakan bahwa simpangan baku adalah 1.8?" untuk itu perlu contoh-contoh
numerik.
(10) Pusatkan pada validitas tentang apa yang penting untuk
diukur sebelum reliabilitas atas konsistensi tes yang dilakukan. Cobalah untuk
menghindari godaan untuk aspek test
trifling sebab hal tersebut lebih mudah untuk diukur dibanding masalah validitas dan reliabilitas.
(11) Kerjakan sesuatu
yang sesuai dengan kemampuan untuk belajar dari keraguan yang muncul akibat
asesmen.
(12) "Ujian adalah kejadian yang dibentuk dan disiapkan
dengan sebaik-baiknya”. Jangan
pernah membuat pertanyaan ujian atau tugas yang jawabannya sendiri belum siap.
Latih kebiasaan menulis model jawaban
atas pertanyaan yang dibuat dan gunakan untuk membantu pebelajar menghargai apa
yang diinginkan.
(13) Kurangi persaingan antar siswa dari aspek asesmen. Secara serempak
gunakan rangsangan untuk berhasil melawan tuntutan terhadap suatu standard
(gunakan penilaian hasil kerja kelompok dan buat standard dari beberapa siswa
sebagai contoh).
(14) Menaruh curiga atas ketelitian dan obyektifitas dari
semua pengukuran kemampuan siswa, dan sadar bahwa tiap pengambilan keputusan
adalah unsur yang paling utama tiap-tiap indikator dari prestasi.
Berpijak pada kedudukan sistem
asesmen di LPTK dan tuntutan dari PP 19 Tahun 2005 sebagaimana telah diuraikan
di atas maka preskripsi pengembangan ini merupakan asesmen pada tingkat asesmen
matakuliah atau asesmen kelas yang pelaksananya adalah dosen pembina
matakuliah. Dalam pengembangannya perlu mempedulikan aturan-aturan tertentu
agar memenuhi fungsinya.
Ditilik dari tradisi yang telah
dikembangkan oleh para pakar pendidikan tentang pembelajaran, menurut Joice dan
Weil (1996) dapat dikelompokan menjadi 4(empat) model mengajar yang
eksplanasinya berisi pembelajaran, yaitu (1) kelompok model pengolahan
informasi, (2) kelompok model personal, (3) kelompok model sosial, dan (4)
kelompok model sistim perilaku. Apa pun model pembelajaran yang dilakukan
dosen, sistem pembelajaran senantiasa mengharuskan adanya asesmen.
Tradisi asesmen selama ini lebih
berorientasi pada evaluasi yang senantiasa menekankan pengembangan pebelajar
sebagai individu. Jarang asesmen yang ditujukan untuk kepentingan pemanfaatan
informasi proses pembelajaran yang mengembangkan pebelajar secara bersama
sebagai suatu kelompok tim kerja. Pengaruh budaya belajar menekankan isi materi
sangat dominan. Mulai dari evaluasi tugas harian, tanya jawab dan diskusi
kelas, ujian tengah semester sampai evaluasi akhir hasil studi, hampir semuanya
merupakan tugas individual dan mengarah pada nuansa penggunaan tes tunggal atau
tes baku semata.
Tradisi asesmen yang tunggal oleh
kalangan ahli mulai disadari mengandung kelemahan, antara lain tidak dapat
mendeteksi tentang bagaimana proses belajar telah terjadi sehingga tidak
diketahui tindakan tepat untuk perbaikan atau memberi bantuan pada tahapan
belajar yang menimbulkan kesulitan pebelajar.
Untuk mendeteksi keberhasilan belajar pebelajar yang dilandasi dengan
penanaman semangat kerjasama dan solidaritas sosial tidak cukup mengandalkan
asesmen tunggal berupa evaluasi dengan tes baku.
Tes baku tidak dapat mendeteksi
secara cermat kawasan-kawasan kemampuan di luar kognitif, bahkan pada proses
pekembangan kemampuan kognitif sekalipun. Mengikuti perkembangan paradigma
pembelajaran yang konstruktivis, sistem asesmen tunggal tidak akurat dari segi
tuntutan fungsinya. Asesmen alternatif perlu dikembangkan untuk melengkapi dan
mengisi kekurangan dari asesmen tunggal semacam ini.
Fungsi asesmen lebih penting
daripada hanya sekedar pengukuran Jika tindakan asesmen hanya sebatas
menghimpun informasi, maka kepentinganya hanya terbatas pada pengukuran; tetapi
jika informasi itu untuk dimanfaatkan bagi kepentingan lain seperti
pengembangan lembaga, individu dan masyarakat yang berkepentingan maka inilah
yang dimaksud dengan tujuan dari tindakan asesmen (Astin, 1993:2).
Gambaran tradisi sistem
asesmen yang selama ini berlaku dalam praktik penilaian kuliah di FKIP Unlam
Banjarmasin dapat diilustrasikan seperti pada diagram di halaman berikut ini. Proses ini
berlangsung mengikuti prosedur yang ada dalam Buku Peraturan Akademik FKIP
Unlam. Dosen merupakan sentral penentu keputusan dalam memberikan nilai akhir.
Sumber-sumber informasi yang diperlukan dosen dalam merumuskan dan menentukan
tingkat kelulusan pebelajar berupa: (1) ujian bagian, (2) beberapa tugas
terstruktur dan ditambah tugas mandiri, (3) ujian tengah semester, dan 4) ujian
akhir semester. Informasi lainnya yang terkait dengan sikap dan tingkahlaku
dalam belajar, seperti tingkat kehadiran, kedisiplinan dan atribut lainnya
digunakan sebagai sarana pendukung penilaian, tidak secara mutlak menjadi
pertimbangan dalam keputusan gradasi penilaian.
Prosedur penilaian pada
ujian (bagian, tengah semester dan akhir semester), dilakukan dengan urutan
kegiatan sebagai berikut:
(1)
melancarkan tes
(2)
melakukan skoring
(menggunakan kunci jawaban atau pedoman penskoran/marking scheme).
(3)
membuat daftar skor
hasil ujian.
(4)
mengolah skor hasil
ujian dengan acuan kreteria, dikonversi dalam skala nilai 0-10 atau 0-100.
(5)
membuat daftar gradasi
dalam skala nilai.
(6)
Prosedur penilaian pada
hasil penugasan, dilakukan dengan urutan kegiatan sebagai berikut:
(a)
melancarkan tugas
(b)
melakukan skoring
dengan justifikasi berdasarkan rubrik atau pedoman penskoran/marking scheme.
(c)
membuat daftar skor.
(d)
mengkonversi skor ke
dalam nilai skala 0-10 atau 0-100.
(e)
membuat daftar gradasi
dalam skala nilai.
Pada akhir semester
semua nilai dari komponen ujian bagian, tugas, ujian tengah semester dan ujian
akhir semester diadministrasikan dan kemudian digabungkan. Sebelum digabungkan,
komponen ujian bagian dan komponen tugas dihitung nilai rerata dan hasilnya
digunakan sebagai nilai dari komponen ujian bagian dan tugas yang diberi bobot
3(tiga) dalam komponen nilai akhir.
Secara keseluruhan
untuk memperoleh nilai kesimpulan akhir mata kuliah, komponen rerata ujian
bagian dan tugas yang diberi bobot 3(tiga) digabung dengan dua komponen lainnya
yaitu komponen ujian tengah semester dan komponen ujian akhir semester, yang
masing-masing komponen diberi bobot penilaian 3(tiga) dan 4(empat). Nilai akhir
diperoleh dengan membagi jumlah hasil kali nilai tiap komponen dengan bobotnya
dibagi dengan total bobot (yakni 10/sepuluh), atau jika diformulasikan maka:
NA = [ 3 ((UB+NT)/2) + 3 UTS + 4UAS ] / 10 x
100
Gambar
15
Formula
Penentuan Nilai Akhir
Keterangan
: |
|
|
|
NA :
Nilai akhir UB :
Ujian bagian NT :
Nilai tugas |
UTS :
Ujian tengah semester UAS :
Ujian akhir semester |
Skala yang digunakan
untuk NA adalah 0-100. Hasil ini (skala angka) kemudian dikonversikan ke skala
huruf A-E, kaidah skalanya mengikuti Buku Peraturan Akademik UNLAM. Setelah
proses ini selesai, prosedur selanjutnya melaporkan hasil nilai akhir ke Biro
Administrasi Akademik fakultas. Laporan dibuat dalam rangkap 4(empat), satu
asli dan 3(tiga) tembusan. Asli untuk laporan nilai yang diumumkan oleh
Fakultas, tembusan pertama untuk arsip dosen yang bersangkutan, tembusan kedua
untuk arsip fakultas (Biro Administrasi Akademis), tembusan ketiga untuk arsip
program studi.
Semua prosedur tersebut
tampak dalam diagram alir pada gambar diagram berikut, dan selanjutnya disebut
sebagai asesmen konvensional.
Dari formulasi sistem
asesmen konvensional kebutuhan informasi aspek afektif (termasuk kepribadian)
belum dapat terpenuhi. Informasi-informasi tentang aspek afektif penting untuk
dipertimbangkan sebagai komponen penilaian, karena asesmen ditujukan bukan
sekedar untuk menghimpun informasi tetapi ditujukan untuk memenuhi fungsi
diagnostik, untuk melacak kesulitan belajar pebelajar.
Dalam konteks
mendeteksi masukan (input),
lingkungan (environment) sehingga
didapat keluaran (outcome) tertentu (Astin, 1993) perlu dikembangkan asesmen alternatif
yang memungkinkan diperolehnya informasi akurat, konsisten dan valid untuk
mendukung tindakan perbaikan pada proses pembelajaran. Hasilnya akan didapat
ketegasan dan kejelasan bentuk bantuan, bimbingan dan jika perlu pengayaan
proses belajar pebelajar sehingga pencapaian target kompetensi dapat
diperoleh.
Pada sistem asesmen konvensional
tindakan demikian memang tidak menjadi acuan, sehingga laporan nilai akhir
merupakan tindakan akhir dari asesmen dan tidak dimungkinkan untuk dapat
melacak tentang kesulitan proses belajar pebelajar, karena informasi untuk itu
tidak diperoleh selama pembelajaran. Oleh sebab itu gagasan untuk mengembangkan
asesmen alternatif ditujukan untuk kepentingan ini.
Berbagai kendala yang
dirasakan dalam praktik asesmen konvensional sebagaimana diuraikan di atas,
berimplikasi hasil keputusan dosen terhadap
atribut pemberian nilai kompetensi pebelajar mengandung bias, artinya
dimungkinkan adanya penyimpangan atas keputusan yang terjadi dengan keputusan
yang seharusnya diambil.
Keterangan
: PAP=Penilaian Acuan Patokan
Gambar 16
Prosedur Asesmen
Konvensional
Pertama, keputusan mengenai
status kompetensi seseorang pebelajar bisa melebihi dari nilai keputusan yang
seharusnya dan bisa juga sebaliknya kurang dari nilai keputusan yang seharusnya.
Kedua, berimplikasi adanya
tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan untuk perbaikan atau pengayaan
tidak memberikan sinyal yang tepat bagi kepentingan pengembangan program
bantuan oleh dosen sendiri maupun lembaga (dalam hal ini program studi yang
bersangkutan).
Ketiga, efek psikologis yang negatif
kepada pebelajar menimbulkan rasa apatis dan tidak menaruh hormat pada
keputusan akan penilaian maupun kepada pembina kuliah. Inilah yang oleh Keeves
(1999:235) dikatakan telah terjadi kesalahan pengukuran. Sumber kesalahan
pengukuran antara lain: (1) variabilitas keputusan yang dibuat oleh pengamat,
(2) variabilitas yang dibuat atau keputusan akibat penggunaan instrumen
pengamatan, dan (3) variabilitas dalam karakteristik dari subyek yang diukur
atau diamati.
Kejadian kesalahan
semacam ini berimplikasi selain merugikan diri pebelajar, juga berakibat kepada
tidak mantapnya fidelitas (fidelity)
yang menjamin kepuasan akan pengukuran memenuhi unidimensionalitas dan
keyakinan akan kecukupan rentang dari manifestasi karakteristik obyek yang
diamati (bandwidth). Praktik asesmen
tunggal semacam ini sebagai salah satu sumber penyebab target kompetensi tak
memenuhi standard dan menimbulkan kemampuan unjuk kerja belum sesuai harapan
(kemampuan transfer belajar lemah, penguasaan kemampuan pemecahan masalah
rendah, dan belum berani tampil praktik mengajar untuk bidang studi Akuntansi,
dan semacamnya).
Gagasan untuk mengatasi
bias asesmen tunggal dirancang asesmen alternatif dan dipreskripsikan model
asesmen teman sejawat (peer assessment)
yang memiliki beberapa keunggulan, antara lain dapat meningkatkan keterlibatan
pebelajar dalam asesmen yang pada gilirannya dapat mendorong munculnya rasa
tanggungjawab diri pebelajar pada keberhasilan belajar.
E. Asesmen Teman Sejawat (Peer Assessment)
1. Rasional Model Asesmen Teman Sejawat
Gagasan Model Asesmen
Teman Sejawat (MATS), sebagai sistem asesmen formal atau asesmen alternatif
yang akan dikembangkan ditujukan untuk meningkatkan validitas, konsistensi dan
keajegan serta fidelitas maupun bandwidth
dari hasil nilai akhir sehingga memenuhi tujuan yang melatar belakangi
perlunya evaluasi, yakni (1) akontabilitas (accountability)
yang merujuk kepada keputusan yang telah dibuat oleh otoritas kekuasaan seorang
pengajar, dan (2) asesmen (assessment)
yang merujuk kepada kemampuan pengajar yang mantap dalam rangka tujuan koreksi
sendiri dan perbaikan (self-correction
and improvement); sebagaimana dikemukakan oleh Hansen dari Western Washington
University.
MATS
dikembangkan untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan belajar kemampuan
pemecahan masalah. MATS sebagai sistem asesmen dirancang untuk memenuhi
kekurangan yang terjadi pada asesmen konvensional seperti telah diuraikan di
muka.
Pendapat
para ahli berikut dapat digunakan sebagai landasan untuk mendukung gagasan ini.
Melibatkan pebelajar berpartisipasi dalam melakukan penilaian (rating) menurut Gronlund & Linn
(1990:396) memberikan beberapa keuntungan.
Keuntungan-keuntungan
itu dapat membantu pebelajar untuk (1) mengerti lebih baik tujuan-tujuan
pembelajaran, (2) menyadari kemajuan-kemajuan yang telah diperbuat untuk
mencapai tujuan, (3) mendiagnosa secara efektif kekuatan-kekuatan dan kelemahan
tertentu, dan (4) mengembangkan peningkatan ketrampilan dalam penilaian diri (self evaluation) pebelajar.
Sejalan
dengan pendapat sebelumnya Johnson &
Johnson (2002:4-5) memperkuat pendapat tersebut dengan menyatakan, bahwa
alasan-alasan melibatkan pebelajar dalam kegiatan asesmen, antara lain: (1)
dapat meningkatkan kualitas keputusan yang diambil tentang asesmen akibat
memanfaatkan sumberdaya pebelajar sebagaimana pengajar, (2) dapat meningkatkan
komitmen pebelajar untuk menerapkan cara asesmen yang terbaik, (3) dapat
mengurangi sikap resisten pebelajar terhadap umpanbalik dan perlunya perubahan,
(4) dapat meningkatkan prestasi pebelajar, (5) dapat mendorong motivasi yang
besar untuk belajar dan membangun sikap belajar yang positif dan asesmen, dan
(6) dapat meningkatkan asesmen diri (self-assessment)
pebelajar.
Dalam
MATS selain kawasan kognitif, asesmen dapat dilakukan terhadap kawasan
psikomotor, kawasan afektif dan kepribadian. Perilaku kawasan kognitif adalah
perilaku yang merupakan hasil proses berpikir atau hasil kerja otak. Kemampuan
manusia dalam kawasan kognitif oleh Gagne (1979) dibagi menjadi tiga macam,
yaitu: keterampilan intelektual, strategi kognitif, dan informasi verbal
(Suparman, 2001:108).
Sementara
itu perilaku kawasan psikomotor, merupakan perilaku yang dimunculkan oleh hasil
kerja fungsi tubuh manusia. Bentuknya dalam gerakan tubuh. Perilaku kawasan
psikomotor oleh Dave (1967) dibagi dalam lima jenjang, yaitu: menirukan gerak,
memanipulasikan kata-kata menjadi gerak, melakukan gerak dengan tepat,
merangkaikan berbagai gerak, dan melakukan gerak dengan gerak wajar dan efisien
(Suparman, 2001:109).
Perilaku
berikutnya kawasan afektif, adalah perilaku yang dimunculkan seseorang sebagai
pertanda kecenderungannya untuk membuat pilihan atau keputusan untuk beraksi di
dalam lingkungan tertentu. Bloom dan Masia (1964) membagi kawasan ini menjadi
lima tingkatan, yaitu: menerima nilai, membuat respon terhadap nilai,
menghargai nilai-nilai yang ada, mengorganisasikan nilai, dan mengamalkan nilai
secara konsisten atau karakterisasi (Suparman, 2001:109).
Pendeteksian
pada kawasan selain kawasan kognitif memungkinkan bagi dosen untuk melihat
tahapan pencapaian kemajuan kompetensi dan sekaligus dapat melihat
kelemahan-kelemahan yang dialami pebelajar secara individual, dan lebih lanjut
dapat dimungkinkan adanya bentuk bantuan, pembinaan, bimbingan yang konkrit,
operasional dalam upaya meningkatkan proses pembelajaran pebelajar. Gejala yang timbul karena sikap, dan
perilaku seseorang yang muncul karena manifestasi dari sikap, tdak dapat dideteksi
dengan asesmen tunggal, maka dari itu harus didekati dengan asesmen alternatif
sebagai pilihan lainnya. MATS dipreskripsikan dan diprediksikan dapat
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pencapaian kompetensi pebelajar, dalam
hal ini adalah kompetensi kemampuan pemecahan masalah di bidang Akuntansi.
Sebagaimana
dinyatakan oleh Johnson & Johnson (2002:2), bahwa asesmen dapat saja
dilakukan tanpa evaluasi tetapi tidak akan mungkin melakukan evaluasi tanpa
melakukan asesmen. Asesmen idealnya dilakukan secara terus-menerus, sedangkan
evaluasi boleh jadi dilakukan cukup hanya sekali waktu. Kualitas asesmen pada
umumnya akan menentukan kualitas evaluasi. Dengan demikian asesmen meliputi
pengumpulan informasi tentang kualitas atau kuantitas dari perubahan-perubahan
pada diri pebelajar, kelompok, kelas, sekolah, pengajar, dan administrator/tata
usaha.
Efektivitas
asesmen tergantung pada penggunaan seminimal mungkin dari sumber-sumber untuk:
(1) mencapai tujuan dari asesmen, (2) pemeliharaan yang efektif hubungan kerja
di antara pelaksana asesmen, yang diases dan semua yang berkepentingan, (3)
peningkatan motivasi dari semua bagian untuk berpartisipasi terhadap asesmen
kedepan. Efektivitas asesmen juga bisa
menurun kapan saja, juga akibat dari ketiga aspek tersebut (pencapaian tujuan,
pemeliharaan hubungan kerja dan motivasi berpartisipasi untuk asesmen kedepan).
Masalah
utama yang berhubungan dengan pelaksanaan asesmen adalah bagaimana membuat
asesmen bermakna, memberi manfaat dan bagaimana asesmen dapat dikelola dengan
baik. Agar asesmen bermakna maka asesmen harus: (1) dirasakan kebutuhannya oleh
pengguna (pebelajar dan pengajar) yang sama-sama punya tujuan, (2) mudah
dimengerti prosedurnya, kreteria, maupun penggunaan rubriknya, (3) jelas
arahnya untuk meningkatkan kualitas belajar dan pengajaran (Johnson &
Johnson, 2002:3).
Selain
asesmen harus bermakna, asesmen juga dapat dikelola dalam memberikan informasi
yang bermanfaat dengan pengorbanan sumberdaya secara minimal. Dua hal penting
terkait dengan masalah pengelolaan ini adalah (1) tersedianya sumberdaya yang
cukup memadai untuk memenuhi tuntutan prosedur asesmen, (2) nilai informasi
yang diperoleh seimbang dengan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan asesmen
(Johnson & Johnson, 2002:3).
Beberapa
ahli yang mendukung adanya asesmen teman sejawat adalah Farh, Cannella, &
Bedeian, 1991; Fry, 1990; Goldfinch & Raeside, 1990 (Keaten, Richardson
& Elizabeth, 1993:5) yang menunjukkan optimisnya dalam praktik penggunaan
asesmen teman sejawat di mana pebelajar akan dapat menemukan bukan saja
menerima rasa tanggungjawab tetapi juga dapat menilai secara lebih akurat
daripada profesornya. Ditegaskan, bahwa prosesnya memang berlaku khusus untuk
penilaian kerja kelompok bukan untuk kelas paralel. Bahkan dengan asesmen teman
sejawat pebelajar dapat menilai pekerjaannya maupun pekerjaan sejawatnya yang
sama-sama terlibat yang berlangsung pada waktu di dalam kelas maupun di luar
kelas.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah kapan asesmen teman sejawat
tepat digunakan? Kane dan Lawler, 1978 (Keaten, Richardson & Elizabeth,
1993:5) mengutip bahwa asesmen teman sejawat cocok digunakan jika salah satu
atau lebih dari kondisi berikut ditemukan:
(1)
keberadaan anggota
kelompok sejawat semuanya saling dapat berusaha memperhatikan aspek tingkahlaku
yang mencolok.
(2)
keberadaan anggota
kelompok sejawat mampu dengan teliti menilai dan menginterpretasikan aspek
tingkahlaku mencolok yang diperhatikan.
(3)
adanya kebutuhan untuk
meningkatkan manfaat yang berhubungan
dengan satu atau beberapa karakteristik dari anggota kelompok yang sedang
diases.
Perlu disadari bahwa penerapan asesmen
teman sejawat dalam prosesnya selain ditentukan oleh tiga kondisi ini juga
dipengaruhi oleh variable-variabel lain, seperti sistem penilaian, sikap
pebelajar terhadap asesmen dan validitas dari asesmen teman sejawat itu
sendiri.
2. Definisi Asesmen Teman Sejawat (Peer Assessment)
Dilatari oleh pernyataan Assessment Reform Group, 2002 (Clarke,
2005:84) berikut, tampak substansi pengertian asesmen teman sejawat (peer assessment):
Independent learners have
the ability to seek out and gain new skills, new knowledge and new
understandings. They are able to engage in self-reflection and to identify the
next steps in their learning. Teachers should equip learners with the desire
and the capacity to take charge of their learning through developing the skills
of self-assessment.
Artinya kebebasan pebelajar memiliki
kemampuan untuk meningkatkan ketrampilan yang baru, pengetahuan baru dan
pengertian yang baru. Mereka dapat terlibat dalam merefleksi diri dan
mengidentifikasi tahapan belajar berikutnya. Dosen/guru harus memenuhi
keinginan pebelajar dan kapasitas untuk mengambil bagian dalam belajarnya
melalui pengembangan ketrampilan dari asesmen tentang dirinya. Penilaian diri,
penilaian teman sejawat dan umpan balik serta marking menunjukkan betapa pentingnya hal-hal tersebut secara
bersama saling melengkapi. Pebelajar dilibatkan dalam penilaian antar teman
dimaksudkan untuk memberi umpan balik kepada pebelajar yang lain, peer marking merupakan penilaian antar
teman, dan marking dari pengajar
adalah umpan balik.
Dengan demikian asesmen teman sejawat pada
hakikatnya adalah bentuk asesmen untuk memperoleh informasi balikan dari hasil
kerja pebelajar yang didapat dari teman sejawat, selain yang sudah lazim yakni
balikan dari pengajar.
Keaten, Richardson, & Elizabeth,
(1993:3) mendefinisikan asesmen teman sejawat: … the process in which students evaluate each other, is a practice that
can foster high level of responsibility among students; the students must be
fair and accurate with the judgements they make regarding their peers.
Clarke (2005:84) mengakui bahwa cara marking dari sesama pebelajar kurang
bernilai daripada yang dilakukan pengajar, meskipun demikian kebiasaan ini
perlu dilanjutkan. Black et al, 2003 (Clarke, 2005:88) justru menegaskan
penilaian teman sejawat merupakan umpan balik yang efektif selama proses
belajar berlangsung, karena pebelajar lebih bebas saling menerima dan memberi
kritik daripada cara-cara dari pengajar-pebelajar
atau sebaliknya. Keuntungan lain bahasa yang digunakan alami, sesuai dengan
yang digunakan sehari-hari daripada bahasa sekolah. Dalam kondisi demikian
pebelajar lebih dapat melakukan analisis dan menerima kritik yang membangun
guna perbaikan cara kerjanya. Jika kritik dan umpan balik hanya dari pengajar,
pebelajar akan kehilangan daya (power)
dalam belajarnya. Ditegaskan lagi oleh Dyck (2003) yang menyatakan bahwa
guru-guru adalah direktur utama dari asesmen. Penelitian-penelitian dewasa ini
mengindikasikan bahwa guru-guru mulai menggabungkan asesmen teman sejawat
kedalam keseluruhan prosedur evaluasinya.
3. Asesmen Teman Sejawat Dalam Kerangka
Asesmen
Asesmen teman sejawat (peer assessment) mulai berkembang di kalangan peneliti pendidikan mengikuti
perkembangan jenis-jenis asesmen alternatif lainnya karena kemanfaataannya
sebagai sarana untuk memberikan balikan kepada pebelajar cukup signifikan.
Sebagaimana telah diungkap di atas bahwa asesmen teman
sejawat memiliki segi positif selain memberikan balikan yang konstruktif, dari
segi bahasa asesmen ini lebih memungkinkan berlangsung alami dalam cara dan
suasana komunikasi sosial pebelajar sehingga lebih dapat dipahami. Bahkan
Black, Harrison, Marshal dan Williams (2004) menyatakan asesmen teman sejawat
dapat meningkatkan belajar karena meletakan pekerjaan (evaluasi) pada
siswa-siswa. Konsekuensinya guru-guru menyediakan waktu untuk meningkatkan
refleksi asesmen dari kinerja dan kecakapan siswa-siswanya.
Asesmen teman sejawat dapat dikatagorikan
sebagai asesmen alternatif atau asesmen autentik maupun asesmen kinerja. Yang dimaksud
adalah asesmen lain sebagai pilihan alternatif untuk melengkapi asesmen konvensional
yang sudah umum digunakan. Sebagai asesmen alternatif, asesmen teman sejawat
dapat dikategorikan dalam kelompok asesmen kinerja dan dalam kawasan asesmen
kelas (classroom assessment). Karena
obyek dari asesmen teman sejawat adalah performasi kinerja tentang proses
maupun hasil belajar dari sejawat.
Ditilik dari fungsinya untuk memberikan
balikan terhadap hasil belajar ketika proses belajar berlangsung, maka asesmen
teman sejawat termasuk asesmen formatif. Asesmen formatif adalah asesmen yang
dilakukan selama proses pengajaran berlangsung. Informasi didapat dengan cara
melakukan observasi yang tujuannya untuk memberikan informasi kepada pengajar
dan merupakan bentuk pengubahan strategi penyampaian pengajaran (Airasian,
1997, Smith, Smith, & DeLisi, 2001 dalam Anderson, 2003:45).
Sebagai asesmen alternatif karakteristik
asesmen teman sejawat merupakan lawan dari asesmen tunggal seperti tes pilihan
ganda, benar-salah dan bentuk-bentuk tes obyektif lainnya. Asesmen tunggal
hanya menuntut respon dari pebelajar terhadap satu pilihan jawaban. Lain halnya
asesmen teman sejawat lebih mengacu kepada tampilan kinerja pebelajar, sehingga
kriteria tentang penguasaan kemampuan yang menjadi acuan untuk melakukan
gradasi skor atau pemberian nilai, dan bukan banyaknya respon yang benar. Conant (1997) mengindikasikan bahwa asesmen
teman sejawat (1) menekankan penggunaan keterampilan berpikir tingkat tinggi,
(2) mengembangkan keterampilan sosial, dan (3) menciptakan rasa tanggungjawab
dan pemberdayaan pribadi sendiri pebelajar.
Asesmen tunggal lazimnya digunakan untuk
evaluasi akhir dari suatu program pembelajaran, sedangkan asesmen teman sejawat
dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan diagnosa kesulitan belajar dan
berlangsung selama proses pembelajaran atau untuk evaluasi formatif. Asesmen
teman sejawat sebagai asesmen alternatif dapat berupa berbagai metode asesmen
yang mencerminkan berbagai aktivitas proses belajar, hasil belajar, motivasi,
maupun sikap yang pelaku asesornya adalah sejawat atau teman dari pebelajar.
4. Jenis Metode Asesmen Teman Sejawat
Kane dan Lawler, 1978 (Keaten, Richardson,
& Elizabeth, 1993:3) telah memperkenalkan tiga metode asesmen teman sejawat
yakni (1) peer rating; (2) peer ranking; dan (3) peer nomination.
Peer
rating adalah metode penilaian
teman sejawat di mana tiap anggota kelompok saling memberi urutan jenjang (rate) tentang sejumlah kinerja atau
karakteristik individu dengan menggunakan salah satu teknik skala lajuan (rating scales).
Peer
ranking adalah metode menilai teman
sejawat di mana setiap anggota kelompok melakukan penjenjangan dari yang
terbaik hingga yang terburuk untuk seluruh anggota kelompok tentang satu atau
lebih faktor yang dinilai.
Peer
nomination adalah metode menilai teman
sejawat di mana tiap anggota kelompok memilih anggota kelompok yang lain yang
dianggap terbaik pada karakteristik hal tertentu dan menurut dimensi kinerja
tertentu (Kane dan Lawler, 1978:557 seperti dikutip Keaten, Richardson, &
Elizabeth (1993:3).
Menurut Kane & Lawler, 1978 (Latham
& Wexley, 1982:88-89) yang terbaik digunakan dari ketiga jenis peer assessment ini, tergantung pada
tujuan penggunaannya. Jika untuk mendeteksi kesulitan belajar pebelajar, peer
rating memberikan informasi yang lebih rinci tentang tahapan kecakapan yang
sudah berhasil dan yang masih gagal dicapai oleh pebelajar dalam belajar. Oleh
sebab itu dalam preskripsi asesmen teman sejawat ini lebih ditekankan pada
pengembangan instrument asesmen untuk jenis rating.
5. Unsur-unsur Asesmen Teman Sejawat
Herman, Aschbacher, dan Winters (1992)
menyarankan 10(sepuluh) tahap sebagai unsur-unsur proses perancangan asesmen:
(a)
Clearly state the purpose for the assessment, and do
not expect the assessment to meet purposes for which it was not designed.
(b)
Clearly define what it is you want to assess (the
achievement target).
(c)
Match the assessment method to the achievement purpose
and target defined in step2.
(d)
Specify illustrative tasks that require students to
demonstrate certain skills and accomplishments. Avoid tasks that may be merely
interesting activities for students, but may not yield evidence of a student’s
mastery of the desired outcomes.
(e)
Specify the criteria and standards for judging student
performance on the tasks selected in step 4. Be as specific as possible, and
provide samples of student work that exemplify each of the standards.
(f)
Develop a reliable rating process that allows
different raters at different points in time to obtain the same-or nearly the
same-results, or allows a single teacher in a classroom to assess each student
using the same criteria.
(g)
Avoid the pitfalls that threaten reliability and
validity and can lead to mismeasurement of students.
(h)
Collect evidende/data showing that the assessment is
reliable (yields consistent results) and valid (yields useful data for the
decisions being made)
(i)
Ensure “consequential validity.” That is, the
assessment should have a maximum of positive effects and a minimum of negative
ones.
(j)
Use test results to refine assessment and improve
curriculum and instruction; provide feedback to students, parents, and the
community.
Sementara
itu Beyer (1999:91-94) menuliskan unsur-unsur yang harus dikerjakan dalam
melakukan asesmen untuk kecakapan berpikir (thinking
skills):
(1)
Pemilihan tipe
prosedur atau instrumen yang diinginkan untuk digunakan mengases kecakapan yang
telah diajarkan.
(2)
Menganalisa
contoh-contoh dan penjelasan dari jenis tes, instrumen asesmen, atau
langkah-langkah yang akan digunakan.
(3)
Merancang (draft) instrumen untuk kecakapan yang
sudah dipilih untuk diajarkan.
(4)
Memeriksa ulang
dan melakukan revisi rancangan (draft).
(5)
Mengadministrasikan
tes, instrumen, melaksanakan prosedur sesuai dengan kecakapan yang diajarkan,
analisis hasilnya, dan melakukan revisi untuk digunakan kemudian.
Asesmen alternatif mengharuskan pebelajar
dapat memper-tunjukkan kinerja, bukan menjawab benar-salah atau memilih jawaban
dari sederetan kemungkinan jawaban yang sudah tersedia seperti pada asesmen
tunggal berupa tes baku. Asesmen yang demikian ini disebut dengan asesmen
kinerja, karena dengan cara demikian itu
pebelajar diharapkan dapat menunjukkan penguasaannya tentang kemampuan yang
dipelajarinya.
Sejalan dengan ini Hibbard dkk,
(1996:5) sebagaimana dikutip oleh Brualdi (1998) menyatakan bahwa asesmen
kinerja ‘represent a set of strategies
for the...application of knowledge, skills, and work habits through the
performance of tasks that are meaningful and engaging to students”. Untuk
sarana pebelajar menunjukkan kemampuannya, maka diperlukan serangkaian tugas
sebagai task dan kriteria untuk
menilai penyelesaian tugas itu yang disebut dengan rubrik. Rubrik sebagai
sarana untuk melakukan penilaian tugas, disusun pengajar bersama dengan
pebelajar untuk disepakati sebagai tolok ukur penilaian. Jo Anne
Wangsatorntanakhun (1997) sebagaimana dikutip oleh Asmawi Zainul (2001:9)
menyatakan, bahwa asesmen kinerja terdiri dari dua bagian yaitu “clearly defined task and a list of explicit
criteria for assessing student performance or product”.
Asumsi pokok yang melandasi asesmen
kinerja adalah (1) asesmen kinerja didasarkan pada partisipasi aktif pebelajar,
(2) tugas-tugas yang diberikan atau dikerjakan oleh pebelajar merupakan bagian
tak terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran, (3) asesmen tidak hanya
untuk mengetahui posisi pebelajar pada suatu saat dalam proses pembelajaran,
tetapi lebih dari itu, asesmen juga dimaksudkan untuk memperbaiki proses pembelajaran
itu sendiri, dan (4) dengan mengetahui lebih dahulu kriteria yang akan
digunakan untuk mengukur dan menilai keberhasilan proses pembelajarannya, pebelajar
akan secara terbuka dan aktif berupaya untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Lebih lanjut Lynn S. Fuchs (1995)
dalam Asmawi Zainul (2001:10) menjelaskan bahwa asesmen kinerja dapat
memperbaiki proses pembelajaran, karena asesmen kinerja membantu dosen untuk
membuat keputusan-keputusan selama proses pembelajaran sedang berjalan.
Keputusan-keputusan itu menyangkut (1) penempatan, (2) formatif, dan (3)
diagnostik. Ketiga keputusan ini dapat dimanfaatkan dalam memperbaiki selama
proses pembelajaran berlangsung.
Beranjak dari pemahaman bahwa
asesmen alternatif merupakan upaya untuk mengintegrasikan kegiatan pengukuran
hasil belajar dengan keseluruhan proses kegiatan pembelajaran, maka banyak
pilihan-pilihan teknik yang tersedia dan bahkan mungkin masih perlu
dikembangkan untuk mendeteksi proses belajar pebelajar sehingga semakin akurat
informasi serta keputusan yang dapat dibuat karenanya.
(1) Tugas dan Rubrik.
Tugas dikatakan sebagai task dengan kriteria penilaiannya berupa
rubrik. Bentuk-bentuk tugas dapat berupa suatu proyek, pameran, portofolio,
atau tugas yang mengharuskan pebelajar memperlihatkan kemampuan menangani hal-hal
yang kompleks melalui penerapan dan keterampilan nyata. Rubrik merupakan sarana
panduan atau pedoman untuk memberi skor, yang jelas dan disepakati oleh dosen
dan pebelajar.
Dalam mempersiapkan task atau tugas ada 3(tiga) langkah utama
yaitu:
(a) mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan
yang diharapkan dapat dimiliki oleh pebelajar setelah mengerjakan tugas, yang
meliputi (1) jenis pengetahuan dan
keterampilan yang diharapkan, (2) pengetahuan dan keterampilan bernilai tinggi untuk
dipelajari, (3) penerapan pengetahuan dan keterampilan tersebut memang terdapat
dalam kehidupan nyata di masyarakat.
(b) merancang tugas-tugas yang memungkinkan pebelajar
dapat menunjukkan kemampuan berpikir dan keterampilan.
(c) menetapkan kriteria keberhasilan yang dijadikan
tolok ukur untuk menyatakan seseorang pebelajar telah mencapai tingkat
penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan.
Asesmen kinerja tidak menggunakan
kunci jawaban dalam menentukan skor, melainkan menggunakan pedoman penskoran
berupa rubrik. Untuk menjamin reliabilitas, keadilan dan kebenaran penilaian
maka perlu dikembangkan kriteria atau rubrik untuk pedoman menilai hasil kerja pebelajar.
Rubrik dapat disusun bersama dengan pebelajar, sehingga jelas dasar yang dipakai
untuk menilai kinerjanya dan dengan mengetahui target yang harus dipenuhi dalam
tugasnya pebelajar akan termotivasi proses belajarnya. Rubrik pada dasarnya
berisi senarai tentang daftar kriteria yang diwujudkan dengan dimensi-dimensi
kinerja, aspek-aspek atau konsep-konsep yang akan dinilai beserta gradasi mutu
dari yang paling sempurna hingga yang paling tidak sempurna.
Ada dua macam rubrik, yakni
holistik rubrik dan analitik rubrik. Holistik rubrik adalah rubrik yang
bersifat menyeluruh artinya satu rubrik dipakai untuk pedoman menilai semua
aspek atau komponen hasil kerja pebelajar; sedangkan rubrik analitik adalah
rubrik yang disusun sesuai dengan tiap-tiap komponen yang bersesuaian antara
pedoman penskoran dan dimensi kinerja yang diukur, sehingga dimungkinkan dalam
satu unit pengajaran terdiri dari beberapa rubrik yang berbeda-beda panduan
penskorannya. Rubrik dapat dikembangkan berdasarkan dua standart, yakni
standart isi dan standart yang berkaitan dengan dimensi belajar.
(2). Log dan Jurnal
Johnson & Johnson (1998)
menyebutnya ‘log dan jurnal belajar’ merupakan sarana kunci bagi pebelajar
untuk mendokumentasikan dan merefleksikan pengalaman belajarnya (Johnson &
Johnson, 2002:201).
(a) Pengertian Log dan Jurnal Belajar
Log dan jurnal belajar, digunakan pebelajar untuk membuat laporan
pribadi (self-report) yang isinya
memuat catatan ringkas tentang materi pelajaran yang sedang dipelajarinya.
Hal-hal yang dimasukkan dalam log antara lain mencakup materi pelajaran
tentang: 1) apa yang sudah dibaca, 2) hasil pengamatan dari kegiatan percobaan,
3) pemecahan masalah yang matematis, 4) daftar bacaan yang telah dibaca di luar
yang dipersyaratkan, 5) pekerjaan rumah yang telah diselesaikan, 6) atau
catatan tentang sesuatu yang lain karena pinjam-meminjam.
Jurnal belajar merupakan prosedur
laporan pribadi dalam mana pebelajar mencatat secara naratif terkait dengan
materi pelajaran yang sedang dipelajarinya. Isinya bisa menyangkut hasil
pengamatan pribadi, perasaan dan pendapat sebagai respon dari kegiatan membaca,
atau suatu peristiwa/kejadian dan pengalaman. Jurnal adalah koleksi pribadi
berupa catatan dan pemikiran yang bernilai bagi penulisnya tentang apa yang
telah dipelajarinya dan yang sangat relevan dengan pribadinya. Isi jurnal
berhubungan dengan apa yang telah dipelajari di dalam kelas dengan kelas
lainnya, dan atau dengan lingkungan masyarakat di luar kelas. Jurnal sifatnya
lebih deskriptif, lebih panjang, dan lebih leluasa mengisikannya daripada log.
(b) Rasional Penggunaan Log dan Jurnal Belajar
Penggunaan log dan jurnal belajar berguna
dan tepat sebagai alat asesmen, untuk tugas-tugas seperti berikut (Johnson
& Johnson, 2002:21):
(i)
Menelusuri jumlah soal yang sudah
dipecahkan, buku yang telah dibaca, atau pekerjaan rumah yang telah
terselesaikan.
(ii)
Mencatat pelajaran, tayangan,
persentasi, kuliah lapangan, percobaan, tugas membaca 1) gagasan pokok, 2)
pertanyaan, dan 3) refleksi.
(iii)
Merespon pertanyaan yang diajukan
dosen atau pebelajar lainnya.
(iv)
Langkah lanjutan dari kegiatan
percobaan; cuaca, di sekolah, nasional, atau kejadian dunia, atau peristiwa
sejarah dan 1) memantau perkembangan waktu, atau 2) membuat perkiraan tentang
apa yang akan terjadi kelak.
(v)
Menghubungkan gagasan yang muncul
dengan kawasan materi yang lain.
(vi)
Curah pendapat gagasan tentang proyek
yang potensial, kertas kerja, atau presentasi.
(vii)
Identifikasi masalah dan mencatat
teknik-teknik pemecahan masalah.
(viii)
Menerapkan apa yang telah
dipelajari di kelas pada salah satu kehidupan pribadi yang nyata.
(ix)
Menggunakan apa yang telah
dipelajari di kelas untuk klarifikasi, memperbarui, dan merefisi suatu teori
yang disesuikan dengan situasi.
(c) Tujuan
Penggunaan Log dan Jurnal Belajar
Tujuan
penggunaan log dan jurnal belajar:
(i)
Untuk menelusuri kegiatan yang
berkaitan dengan pengajaran (apa yang harus dikerjakan untuk membuat sesuatu
bermanfaat dalam mengajar).
(ii)
Untuk menjawab secara tertulis
beberapa pertanyaan penting secara jelas dari isi pengajaran (ini hanya
disarankan, tergantung pada pilihan anda)
(iii)
Untuk menghimpun pemikiran yang
berkaitan dengan isi pengajaran (pemikiran terbaik acapkali muncul ketika anda
sedang dalam perjalanan menuju sekolah, atau terkadang saat akan tidur malam,
dan lain sebagainya)
(iv)
Untuk menghimpun berita surat kabar
atau artikel majalah dan referensi yang relevan dengan topik pelajaran.
(v)
Untuk memantau ringkasan dari
pembicaraan dan bahan catatan yang unik, menarik, atau suatu ilustrasi yang
berhubungan dengan pelajaran.
(vi)
Untuk menghimpun
pemikiran-pemikiran yang menarik, artikel-artikel, dan pembicaraan yang tidak
ada hubungannya dengan pelajaran tetapi penting bagi anda.
(d) Petunjuk Penggunaan Log dan Jurnal Belajar
Dalam menggunakan log dan jurnal, pebelajar diminta
mahasiswa:
(i)
menulis sebuah jurnal paling tidak
meliput satu masukan (entry) tiap
minggu.
(ii)
meringkaskan apa yang telah
dipelajari di kelas dalam seminggu terakhir.
(iii)menguraikan
apa saja yang dianggap penting dari pengalaman mereka selama seminggu terakhir,
meliputi: 1) hakikat dari situasi itu; 2) orang-orang yang pernah terlibat; 3)
hubungan-hubungan di antara partisipan (orang yang terlibat); 4) strategi
yang digunakan untuk mengelola situasi
itu; 5) pengalaman-pengalaman yang dirasakan; 6) outcome yang dihasilkan dari
kegiatan-kegiatan itu.
(iv) Dari
uraian tadi, diminta meringkaskan secara implisit teori-teori kegiatan yang
membimbing tingkah laku mereka.
(v)
menggunakan apa yang telah
dipelajari di kelas untuk mendeskripsikan bagaimana pebelajar dapat berusaha
lebih efektif dan dengan cara yang konstruktif, termasuk bagaimana pebelajar
akan mengubah aksi dari teori-teorinya.
(e) Penerapan Log dan Jurnal Belajar
Log dan jurnal belajar pada umumnya
dipakai sebagai salah satu cara asesmen formatif. Penggunaan log dan jurnal
belajar memang sulit untuk merancang point nilainya atau melakukan gradasinya,
tetapi hal itu dapat dilakukan.
(i)
Rancang tugas-tugas pebelajar yang
dipantau dengan jurnal atau log
berkaitan dengan isi dari pelajaran.
Jelaskan apa arti jurnal itu. Tekankan tujuan kerjasama untuk meyakinkan
semua anggota kelompok menggunakan jurnal sehingga dapat digunakan untuk
melakukan spesifikasi kriteria.
(ii)
Beritahukan kepada pebelajar kapan
mereka memulai mengisinya, bagaimana mereka harus menuliskannya, seberapa lama
rentang waktu harus mengisikan, dan bagaimana mereka akan saling berbagi untuk
mengisi dengan anggota kelompoknya dan dengan pengajar, dan bagaimana isian
jurnal itu akan diases, dan kapan batas akhir dari jurnal itu harus berhenti
diisi.
(iii)
Tunjukan kepada pebelajar contoh
atau model dari jurnal atau log yang sudah lengkap, dari contoh yang terbaik
dan contoh yang terjelek. Pebelajar perlu mengembangkan kerangka sebagai
referensi untuk kesepakatan jurnal atau log yang dipakai.
(iv)
Setelah pebelajar mengembangkan 1)
kriteria khusus untuk mengases kualitas dari jurnal atau log yang lengkap, 2)
indikator-indikator yang terbaik, menengah, dan yang kualitasnya jelek; ajari
pebelajar salah satu rubrik standar apakah yang dibuat pengajar, sekolah,
daerah atau dari pusat.
(v)
Setelah pebelajar mengkonstruksi
jurnal atau log mereka, bantu mereka cara mengisinya secara langsung atau diberi
bimbingan. Pertama, isian dilakukan pada kegiatan sesi di kelas. Kemudian di
setiap sesi kelas berikutnya, berikan bimbingan langsung, arahkan, atau beri
prosedur cara mengisinya.
(vi)
Usahakan pebelajar saling berbagi
dalam mengisi jurnal dan log di antara anggota-anggota dalam kelompoknya pada
situasi tertentu (tiap hari, duakali seminggu, atau satukali seminggu).
(vii) Usahakan
perputaran jurnal dan log mereka secara berkala untuk diberikan umpan balik
oleh pengajar atau diberikan gradasi nilai tentang jumlah dan kualitasnya.
(viii)
Usahakan semua pebelajar melengkapi
dengan asesmen diri (self assessment) pada jurnal atau log mereka sebelum ditentukan kriterianya.
(ix)
Usahakan, pebelajar bekerjasama
dengan kelompoknya dan dibantu pengajar untuk menuliskan ulang jurnal dan
lognya menjadi portofolio.
(f) Cara Mengases Log dan Jurnal Belajar
Untuk mengetahui kualitas log dan jurnal dapat
dilakukan dengan dua cara. Pertama, kriteria keunggulan untuk skala masukan
ulang. Metode ini terdiri dari 4(empat) langkah: (i) menspesifikasi sejumlah
kriteria kualitas, (ii) mengembangkan indikator-indikator untuk tampilan
kinerja tinggi, menengah dan rendah, (iii) melakukan penskalaan (rating) log
dan jurnal pebelajar pada setiap kriteria, dan (iv) mejumlahkan semua skala
pada setiap kriteria untuk menentukan skore total.
Kedua, menandai point nilai untuk
tiap kriteria. Metode ini untuk mengases jurnal atau log yang memungkinkan
untuk memberikan perbedaan skala dengan berbeda bobot.
Apapun pilihan cara mengases log
dan jurnal, penggunaan log dan jurnal kuliah dilandasi oleh alasan-alasan yang
rasional. Beberapa alasan penggunaan jurnal dalam kelas: (i) meningkatkan
kesadaran pebelajar dari teori aksi pebelajar; (ii) membuat justifikasi tentang
kefektifan dari teori aksi pebelajar; (iii) memperbarui atau memperbaiki teori
aksi berdasarkan apa yang telah dipelajari di kelas.
6.
Penerapan Asesmen Teman Sejawat
Asesmen teman sejawat (peer assessment) termasuk kategori asesmen kinerja, karena yang
menjadi tolok ukur dari obyek yang diamati oleh sejawat adalah tampilan kinerja
dari individu yang diamati. Karakteristik asesmen sejawat dalam banyak hal sama
dengan karakteristik asesmen kinerja, yang membedakan dengan asesmen alternatif
jenis lainnya adalah prosedur pengukurannya, yakni menggunakan sejawat.
Asesmen kinerja atau ‘performance assessment’ ditilik dari istilahnya merujuk kepada
penggunaan yang berbeda terhadap pendekatan penilaian. Fitzpatrick dan Morison,
1971 (Dirjen Dikdasmen, Dirtendik, Depdiknas, 2003:55) menyatakan bahwa tidak
ada perbedaan yang sangat besar antara asesmen kinerja dengan tes lainnya yang
dilaksanakan di dalam kelas. Perbedaan antara asesmen kinerja dengan tes lain
yang konvensional adalah sejauh mana tes itu dapat mensimulasikan situasi dari
kriteri-kriteria yang diharapkan. Rudner, &
The term alternative
assessment was coined to distinguish it from what it was not: traditional
paper-and-pencil testing. There are even now distinctions within performance
assessment, a distinction which refers to the fact that some assessments are
meaningful in an academic context whereas others have meaning and value in the
context of the real world, hence they are called “authentic.
Secara eksplisit Trespeces, 1999 (Dirjen
Dikdasmen, Dirtendik, Depdiknas, 2003:55) mengatakan bahwa asesmen kinerja
adalah berbagai macam tugas dan situasi dimana peserta tes diminta untuk
mendemonstrasikan pemahaman dan penerapan pengetahuan yang mendalam, serta
ketrampilan di dalam berbagai macam konteks.
Sejalan dengan ini Asmawi Zainul (2001:4)
menuliskan bahwa asesmen kinerja secara sederhana didefinisikan sebagai
penilaian terhadap proses perolehan, penerapan pengetahuan dan keterampilan,
melalui proses pembelajaran yang menunjukkan kemampuan pebelajar dalam proses
maupun produk. Dengan demikian asesmen kinerja merupakan suatu pendekatan
penilaian yang meminta peserta tes untuk mendemonstrasikan dan mengaplikasikan
pengetahuan kedalam berbagai macam konteks sesuai dengan kriteria yang
diinginkan.
Kriteria dimaksud seringkali dikaitkan
dengan situasi kehidupan nyata sehari-hari, dan karenanya asesmen kinerja yang
demikian dikenal dengan istilah autentik asesmen (authentic assessment). Jadi dalam asesmen autentik selalu
mengkaitkan kriteria dengan tuntutan akan penerapan pengetahuan dan
keterampilan dalam suasana praktik kehidupan sehari-hari dari peserta tes. Tuntutan
akan kriteria yang demikian merupakan manifestasi dari tuntutan kompetensi atau
kemampuan peserta tes untuk melakukan unjuk kerja atau demonstrasi tentang
tingkat atau derajad penguasaan kompetensinya.
Pengukuran kemampuan tentang pemecahan
masalah dalam Akuntansi dapat dilakukan dengan meminta unjuk kerja peserta tes
melalui pendemonstrasian dan penerapan pengetahuan dan keterampilan Akuntansi
dalam konteks kegiatan nyata transaksi keuangan dalam lingkup kehidupan badan
usaha sehari-hari.
Kinerja individu merupakan performasi
maksimal yang ditunjukkan sebagai akibat dari suatu proses belajar. Penilaian
terhadap proses dan atau karya individu merupakan satu ciri dalam asesmen
kinerja karena sifatnya yang sangat individual, setiap individu dapat
menunjukkan kemampuan kinerjanya secara maksimal mungkin melalui
keterlibatannya dalam proses ataupun pada produk yang dihasilkannya.
7. Keunggulan Dan Kelemahan Asesmen Teman
Sejawat
Keuntungannya:
-
Helps students to become more autonomous, responsible
and involved.
-
Encourages students to critically analyse work done by
others, rather than simply seeing a mark.
-
Helps clarify assessment criteria.
-
Gives students a wider range of feedback.
-
More closely parallels possible career situations
where judgement is made by a group.
-
Reduces the marking load on the lecturer.
-
Several groups can be run at at once as not all groups
require the lecturer’s presence.
Kelemahannya:
-
Students may lack the ability to evaluate each other.
-
Students may not take it seriously, allowing
friendships, entertainment value, etc. to influence their marking.
-
Students may not like peer marking because of the
possibility of being discriminated against, being minsunderstood, etc.
-
Without lecturer intervention, students may misinform
each other.
Betapa pun asesmen teman sejawat
mengandung kelemahan, namun dilihat dari segi keuntungannya merupakan sarana
alternatif asesmen yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kemampuan belajar mahasiswa.
Untuk mengurangi kelemahan-kelemahan ini dosen dapat menempuh strategi
pelaksanaan yang tepat antara lain penggunaan rubrik, dan himbauan yang serius
kepada semua pebelajar dalam memberikan gradasi, penjelasan yang rinci dan
pengertian yang sebahasa dalam memahami pedoman kerja.
8.
Preskripsi Model Asesmen Teman Sejawat (Peer Assessment) Pembelajaran
Akuntansi
Sebuah
cara yang pernah dikembangkan Wiersema (2000) dalam melakukan evaluasi dengan
melibatkan pebelajar, relevan digunakan untuk mendesain pola struktur asesmen
teman sejawat (peer assessment).
Tahap-tahap proses evaluasi selama proses belajar kolaboratif dilakukan
bersumber dari berkas portofolio yang dihimpun dalam sebuah amplop. Dari
himpunan portofolio yang telah dihimpun oleh dosen, dapat diperoleh dua laporan
penilaian, yakni: (1) pemberian nilai untuk kelompok (team), dan (2) justifikasi pemberian nilai untuk gradasi nilai
anggota kelompok.
Setiap
laporan kerja anggota kelompok disampaikan dalam sampul tertutup, atau
sederhananya cukup distaples tetapi hanya dosen yang boleh tahu isinya, dan
dari laporan ini dapat dinilai untuk: (1) pemberian nilai tiap anggota
kelompok, dan (2) justifikasi pemberian nilai tersebut untuk gradasi nilai
anggota kelompok.
Komponen
lain yang dapat dipertimbangkan menjadi unsur-unsur pelengkap yang dinilai
untuk melakukan justifikasi tiap peserta kuliah (meskipun indikator ini bisa
tumpang tindih) adalah: (1)tingkat partisipasi individu baik secara kualitas
maupun kuantitas dalam kuliah, (2) ketepatan hadir, (3) respek atau rasa
hormat, (4) kejujuran, (5) gagasan/ide, dan (6) kreativitas, serta (7)
komitmen.
Prosentase
dari nilai portofolio dialokasi sebesar 10% dari tiap bagian. Sedangkan
proporsi nilai portofolio secara keseluruhan antara penilaian kelompok dengan
penilaian yang berasal dari individu anggota kelompok berbanding 50% : 50%.
Ditegaskan
oleh Wiersema, bahwa penilaian dari tiap individu anggota kelompok sifatnya
sangat rahasia, dan digunakan sebagai dasar keyakinan dari tidak terjadinya bias
dalam penentuan gradasi nilai. Dengan demikian tiap peserta kuliah akan merasa
benar-benar dilibatkan dan dihargai dalam kegiatan asesmen terhadap diri dan
terhadap anggota kelompok lainnya. Prosedur seperti ini menurut Wiersema, juga
dapat digunakan untuk melakukan asesmen kegiatan-kegiatan persentasi di kelas.
Mengacu
pada model yang dikembangkan Wiersema (2000) tersebut, selanjutnya dipakai
sebagai dasar dalam mempreskripsi pengembangan prosedur asesmen MATS untuk
mengukur perkembangan belajar kemampuan pemecahan masalah Akuntansi. Secara
visual preskripsi prosedur asesmen mengikuti diagram alur diagram pada Gambar
17 halaman berikut ini.
Tahapan
pada diagram tersebut digunakan sebagai landasan untuk mempreskripsikan
pengembangan MATS dengan tetap mengacu pada Peraturan Akademik di FKIP Unlam.
Untuk memenuhi tuntutan dari setiap tahap prosedur asesmen teman sejawat,
diperlukan perangkat atau instrumen pendukungnya. Instrumen pendukung untuk itu
adalah tugas dan rubrik analitik serta log dan jurnal sebagaimana
direferensikan oleh Johnson & Johnson (2002:201-213).
Gambar 17
Prosedur Model Asesmen Teman
Sejawat (MATS)
Keterangan:
Proses asesmen dosen
Proses asesmen melibatkan pebelajar
Proses balikan
Tabel 5
Uraian Preskripsi MATS Yang
Dikembangkan
Kompo-nen Asesmen |
Instrumen |
Asesor |
||
Dosen |
Teman Sejawat (Peer) |
|||
Nilai Individu |
Nilai Kelompok |
|||
(1) Tentamen Bagian |
1. Tes obyektif untuk
kemampuan pengenalan dan penggunaan prosedur pemecahan masalah 2. Tes kasus pemecahan
masalah |
Grade menurut PAP, porsi 90% |
Grade nilai porsi 10% |
|
Nilai yang diperoleh
individu, porsi 50% |
Nilai yang diperoleh
kelompok, porsi 50% |
|||
(2) Tugas terstruktur |
1. Tugas latihan pemecahan
masalah individu 2. Tugas latihan pemecahan
masalah kelompok |
Grade menurut PAP, porsi 90% |
Grade nilai porsi 10% |
|
Nilai tugas terstruktur
yang diperoleh individu, porsi 50% |
Nilai tugas terstruktur
kelompok yang diperoleh kelompok, porsi 50% |
|||
(3) Komponen Afektif |
1. Skala sikap tentang
ketekunan, kehadiran dan aspek sikap lainnya. 2. Tanggapan pebelajar
terhadap proses belajar 3. Balikan pebelajar
terhadap dosen |
Profil individu per
matakuliah |
Profil Respon Sejawat |
|
Profil Self-report |
Profil Rating sejawat |
|||
(4) Tentamen tengah semester |
1. Tes obyektif untuk
kemampuan pengenalan dan penggunaan prosedur pemecahan masalah 2. Tes kasus pemecahan
masalah |
Grade menurut PAP, porsi 90% |
Grade nilai porsi 10% |
|
Nilai ujian tengah semester
yang diperoleh individu, porsi 50% |
Nilai ujian tengah semester
yang diperoleh kelompok, porsi 50% |
|||
(5) Ujian Akhir semester |
1. Tes obyektif untuk
kemampuan pengenalan dan penggunaan prosedur pemecahan masalah 2. Tes kasus pemecahan
masalah |
Grade menurut PAP, porsi 90% |
Grade nilai porsi 10% |
|
Nilai ujian akhir semester
yang diperoleh individu, porsi 50% |
Nilai ujian akhir semester
yang diperoleh kelompok, porsi 50% |
|||
(6) Grade nilai kesimpulan |
1. Untuk Nilai Akhir:
[3(1+2) + 3(4) + 4(5)]/10 x 100 konversi ke skala huruf dan dilaporkan
sebagai balikan untuk pebelajar dan program. |
|||
2. Dari komponen (3)
dianalisis dibuat profil belajar pebelajar baik dari teman sejawat maupun
dari dosen; dan saran tindak lanjut untuk program. |
||||
Keterangan
: PAP : Penilaian Acuan
Patokan |
F.
Peranan Adversity Quotient dan Lokus Kendali dalam Pencapaian Kemampuan
Pemecahan Masalah.
1. Peranan Adversity Quotient Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Adversity quotient
menjelaskan tentang “kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan”, dan berfungsi
memberdayakan potensi. Adversity quotient menurut Stoltz, 1997 (Musthofa,et.al,
2005:180) diibaratkan sebagai media tumbuhnya pohon (potensi-potensi diri
manusia). Apabila media tumbuh pohon tersebut kaya akan zat hara, maka pohon
akan tumbuh subur dan kuat, mampu hidup tegak, tahan terpaan angin, hujan dan
panasnya matahari. Tetapi sebaliknya apabila media tempat tumbuh pohon langka
zat hara, maka sebaik apapun kualitas pohon tersebut, tidak akan mampu hidup
subur dan tegak secara optimal. Untuk mendapatkan media tumbuh yang kaya zat
hara dapat diupayakan dengan mengolahnya
sehingga menjadi media efektif bagi tumbuh tegaknya pohon.
Dari ilustrasi itu
secara fungsional adversity quotient
merupakan fasilitas bagi sifat-sifat kepribadian, baik yang berasal dari bawaan
maupun dari hasil belajar dan pengalaman. Sifat-sifat kepribadian yang
akomodatif terhadap kemajuan dan kesuksesan individu belum tentu dapat
berfungsi dengan baik bagi kinerja dirinya bila tidak didukung oleh adanya adversity quotient yang memadai. Respon
pikiran (otak sadar) lebih diperlukan dalam merespon permasalahan yang dihadapi
individu, sebab respon pikiran akan lebih konstruktif karena persepsi terhadap
realitas kenyataan yang tersusun akan mengarahkan kepada
pertimbangan-pertimbangan yang lebih akurat. Jika respon yang terjadi lebih
banyak melalui otak bawah sadar, maka menurut konsep adversity quotient respon yang terjadi akan kurang konstruktif dan
keterlibatan pertimbangan pikiran dalam mengelaborasi permasalahan akan
terreduksi pengaruhnya atau tertutup oleh respon bawah sadarnya.
Hal yang kemudian perlu
diketahui lebih lanjut adalah masalah bagaimana kapasitas kemampuan dalam adversity quotient tersebut mampu
mengantisipasi pengaruh-pengaruh hambatan eksternal dalam proses berpikir
pemecahan masalah.
Hambatan eksternal
tersebut diidentifikasi oleh Tversky dan Kahneman, Pligt, 1996 berupa anchor
dan tingkat resiko masalah keputusan. Anchor adalah berupa informasi nilai
keputusan yang muncul mendahului pertimbangan keputusan yang dilakukan individu
yang dapat mempengaruhi ketepatan dalam pengambilan keputusan, sebab dalam
proses pengambilan keputusan, terdapat informasi yang menyertai masalah
keputusan atau mendahului pertimbangan yang dilakukan individu, walaupun tidak
relevan dengan obyek pertimbangan keputusan, dan akan mempengaruhi individu
dalam mengambil keputusan (Musthofa et.al, 2005:p.181). Dalam kondisi demikian
peran adversity quotient seseorang
diuji. Artinya perlu dikaji lebih lanjut sejauh mana adversity quotient menjadi
pengendali individu dari keterpengaruhannya terhadap keberadaan anchor dan
beban rasa tidak nyaman terhadap resiko dari ketidak-tepatan keputusan yang
akan diambil dalam memecahkan suatu masalah.
Pertimbangan
dilibatkannya adversity quotient
sebagai variable penjelas kemampuan pemecahan masalah dalam penelitian ini, di
samping bertujuan ingin memperoleh informasi tentang kualitas kemampuan
pemecahan masalah sehubungan dengan tingkat adversity
quotient seseorang, juga ingin melihat peranannya dalam pengambilan
keputusan karena pengambilan keputusan individu merupakan satu bagian yang
menentukan kualitas kinerja individu dalam menghadapi dan menunjukkan kemampuan
pemecahan masalah.
Informasi ini
dibutuhkan karena jika memang terbukti bahwa adversity quotient memberi pengaruh terhadap kualitas kinerja
kemampuan pemecahan masalah, maka adversity
quotient dapat menjadi sarana bagi pengembangan dan peningkatan potensi
kualitas pribadi pebelajar dalam hubungannya dengan peningkatan kualitas sumber
daya manusia dalam lingkup organisasi dan manajemen.
2. Peranan Lokus Kendali Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Lokus kendali (locus of control) merupakan gambaran kecenderungan persepsi
seseorang terhadap harapan umum (general
expectancy), dalam menerima ganjaran (reward)
dan hukuman (punishment) sebagai
variable intervening dalam bertingkah laku berpikir dan bertindak seseorang.
Setiap individu bervariasi dalam banyaknya kewajiban pribadi yang mereka
tanggung untuk setiap perilaku mereka dan konsekuensinya. Lokus kendali menurut
Julian Rotter (Kreitner & Knicki, 2003) termasuk dimensi kepribadian yang digunakan
untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan kepribadian seseorang. Ia berpendapat
bahwa orang cenderung menghubungkan penyebab dari perilaku terutama pada diri
mereka sendiri atau pada faktor lingkungan. Ciri kerpribadian menghasilkan pola
perilaku yang berbeda. Orang-orang yang yakin bahwa dirinya mengendalikan
peristiwa dan konsekuensi yang mempengaruhi kehidupan mereka dikatakan memiliki
lokus pengendalian internal.
Lokus kendali sebagai
representasi harapan umum seseorang dalam mempersepsi fenomena di lingkungannya
dapat dipilah menjadi tiga kecenderungan yaitu kecenderungan persepsi internal, eksternal dan campuran
antara internal dan eksternal. Namun, untuk kepentingan mempelajari
kecenderungan persepsi seseorang individu terhadap fenomena lingkungan, lokus
kendali ini secara praktis dipilah menjadi dua yaitu kecenderungan tipe
internal dan kecenderungan tipe eksternal (Mukhadis, 2003:58). Kelompok
pebelajar yang termasuk berorientasi internal ditandai oleh adanya
kecenderungan persepsi bahwa keberhasilan dalam melakukan kegiatan untuk
mencapai suatu tujuan dalam hidup ini termasuk dalam kegiatan belajar banyak
ditentukan oleh usaha diri sendiri, sedangkan kelompok pebelajar yang
berorientasi eksternal ditandai oleh adanya kecenderungan persepsi bahwa
keberhasilan dalam melakukan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dalam hidup
ini termasuk dalam melakukan kegiatan belajar lebih banyak ditentukan oleh
faktor-faktor di luar dirinya.
Orientasi lokus kendali
pebelajar sangat berpengaruh terhadap kecenderungan persepsi dan kepercayaan
diri dalam melakukan usaha dan interpretasi hasil kegiatan yang dilakukan.
Fenomena ini dalam kegiatan belajar akan berpengaruh dalam bentuk tingkat
motivasi, interaksi dengan sejawat dan hasil belajar. Faktor penyebabnya adalah
adanya perbedaan kecenderungan persepsi pebelajar dalam menerima dan mereaksi
stimulus dalam melakukan kegiatan belajar.
Pebelajar yang memiliki
kecenderungan persepsi external control
dalam melakukan kegiatan belajar sangat bergantung pada faktor eksternal bila
dibandingkan dengan pebelajar yang memiliki kecenderungan persepsi internal control, demikian temuan
Crandall, Kotkovsky dan Crandall, Crandall, Kotovsky dan Presto, serta Rotter
dan Morley, (dalam Owie, 1983:383-384), dan Miller, Lefcourt dan Holmes (1986). Orientasi lokus kendali pebelajar juga
berkorelasi dengan tingkat prestasi akademik Walberg dan Tukey (Uguraglu dan
Weiberg, 1980), serta Coleman, dkk. (Bartal, dkk., 1980).
Terkait dengan masalah ini Morrison dan
McIntyre (1971), dan Phares (1975) menyarankan bahwa lokus kendali dapat
digunakan sebagai variable personalitas yang cukup penting dalam memprediksi
keberhasilan dan kegagalan belajar.
Akhirnya dapat
dikatakan bahwa variable lokus kendali akan berpengaruh terhadap mutu
pengelolaan pembelajaran dengan pengorganisasian isi secara elaborasi (sebagai
faktor eksternal), yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap hasil belajar
berupa penguasaan kemampuan pemecahan masalah.
G. Kajian Penelitian Relevan
1. Studi Terdahulu Tentang Pola
Belajar Kolaboratif
Penggagas
belajar kolaboratif telah mengklaim bahwa pertukaran gagasan secara aktif
didalam kelompok kecil bukan saja meningkatkan minat di antara para peserta
tetapi juga menumbuhkan untuk berpikir kritis (Gokhale, 1995:1).
Johnson
dan Johnson (1986) juga menyatakan bahwa belajar dengan kerjasama dalam tim
dapat mencapai tingkat berpikir yang tertinggi dan informasi akan bertahan
lebih lama daripada belajar dengan tekun tetapi sendirian. Kesempatan pebelajar
saling membantu merupakan keuntungan dari keterlibatan dalam diskusi, saling
bertanggungjawab atas belajarnya, dan akhirnya menjadi pemikir yang kritis,
demikian kesimpulan Totten, Sills, Digby, & Russ, 1991 (Gokhale, 1995:1).
Penelitian
Gokhale (1995) menemukan bahwa ada perbedaan secara sangat signifikan prestasi
belajar yang didapatkan dengan tes berpikir kritis antara pebelajar yang
belajar secara kolaboratif dibanding dengan yang belajar secara individu.
Rerata prestasi yang belajar secara kolaboratif (12,21) lebih tinggi daripada
yang belajar secara individu (8,63) dengan harga t = 3,53; p<0.001. Beberapa
hal yang dianggap menguntungkan dalam belajar kolaboratif dilihat dari segi
proses adalah (1) membantu pemahaman, (2) terhimpunnya pengetahuan dan
pengalaman, (3) didapatkannya balikan yang membantu, (4) menstimulasi berpikir,
dan (5) diperolehnya cara pandang yang baru. Ditinjau dari segi aspek sosial
dan emosional, keuntungannya adalah (1) suasana yang rileks atau bebas
memudahkan pemecahan masalah, (2) menyenangkan, (3) meningkatkan rasa
tanggungjawab pribadi maupun kelompok, (4) menambah kawan. Hal yang tidak
menguntungkan adalah pemborosan waktu untuk menjelaskan materi kepada sejawat.
Dari
temuan ini dapat disimpulkan bahwa belajar kolaboratif dapat mendorong
pengembangan berpikir secara kritis melalui diskusi, klarifikasi gagasan, dan
saling menilai gagasan yang lain. Meskipun cara-cara konvensional dan
kolaboratif sama-sama efektif untuk mengajarkan pengetahuan faktual, namun jika
tujuan pengajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan
pemecahan masalah, pola kolaboratif lebih menguntungkan (Gokhale, 1995:8).
2. Studi Terdahulu Tentang Asesmen
Teman Sejawat
Kaufman dan Felder (2000:16) telah melakukan
percobaan asesmen autorating (peer rating) untuk menentukan prestasi pebelajar
Teknik Kimia di Universitas North Carolina dalam tim kerja kegiatan proyek.
Temuannya menunjukkan (1) perbedaan antara teknik self-rating dan rata-rata rating
dari sesama anggota tim tidak signifikan; dalam kenyataan ditemui penilaian
yang cenderung rendah dari sesama anggota tim lebih banyak ditemui daripada
penilaian yang cenderung lebih tinggi, (2) secara umum semua tim yang terlibat
dalam penelitian (tiap kelas ada 2(dua) tim dan seluruhnya 57 tim) menyetujui
jika penilaian secara peer rating
digunakan oleh fakultas, (3) terdapat korelasi positif yang signifikan hasil
penilaian peer rating dengan
penilaian berdasarkan tes; pebelajar yang mendapat rating tinggi menurut anggota timnya juga mendapatkan hasil tes yang lebih baik
dibanding mereka yang ratingnya
rendah dalam tim. Dari hasil ini didapatkan informasi bahwa kekhawatiran yang
seringkali muncul bahwa jika menggunakan peer
rating dalam belajar kolaboratif akan terjadi unsur subyektif pebelajar
yang prejudice dalam pemberian rating nilai tidak terbukti. Kaufman dan
Felder (2000:17) berkesimpulan bahwa penggunaan peer rating lebih obyektif dan mengurangi subyektivitas dalam
penilaian.
Studi Fry (1990) dengan metode peer marking menemukan bahwa dalam
kegiatan tutorial peer marking dapat
mempengaruhi belajar pebelajar; pebelajar menjadi lebih bertanggungjawab dalam
menyelesaikan tugas pekerjaannya, bertanggungjawab dalam memberi nilai kertas
kerja (paper) sejawatnya, dan
termotivasi belajarnya melalui proses asesmen.
Williams (1992) meneliti sikap pebelajar
terhadap asesmen teman sejawat. Ia menemukan bahwa mayoritas pebelajar
menyatakan senang dengan model asesmen teman sejawat (90%), namun di antar
pebelajar ada yang menyatkan menemui kesulitan untuk memberikan kritik kepada
hasil kerja sejawatnya. Pebelajar juga menyatakan bahwa asesmen teman sejawat
sulit diterapkan atau tak disukai jika petunjuk penilaiannya tidak
diperkenalkan sejak awal kegiatan belajar. Pebelajar berlaku apa adanya atau
realistis dalam melakukan evaluasi hasil pekerjaannya.
Farh, Cannella, & Bedeian (1991) menguji
pengaruh tujuan dari kualitas rating
dan dayapakai pengguna pada 65 (enampuluh lima) pebelajar sarjana yang dibagi
dalam 11(sebelas) kelompok yang diberi perlakuan untuk menyelesaikan 3(tiga)
buah tugas proyek. Semua kelompok mula-mula mengerjakan tugas proyek pertama
tanpa diikuti asesmen teman sejawat. Pebelajar diberitahu bahwa untuk tugas
proyek yang kedua diterapkan evaluasi sejawat setelah tugas proyek
diselesaikan. Pada akhir kegiatan tugas proyek yang kedua, 6(enam) kelompok
menggunakan peer rating untuk menilai
hasil tugas proyek, 5(lima) kelompok melakukan peer rating dan memberikan umpan balik atas perkembangan pengerjaan
tugas. Satu minggu setelah tugas proyek diselesaikan dan diases, mereka
masing-masing mendapatkan hasil rating
dan kemudian diminta melakukan perhitungan rerata rating untuk kelompoknya. Kemudian mereka diberi angket tentang
suka atau tidaknya praktik asesmen dengan cara peer rangking. Bagi pebelajar yang dinilai merasa diuntungkan oleh
karena tujuannya mendapatkan nilai, hasilnya mereka tampak lemah lembut dan posisinya berada di atas
rata-rata, sehingga menguatkan bahwa asesmen sejawat dirasa lebih santai jika
pemberian nilai dianggap sebagai masalah. Sebaliknya pebelajar yang melakukan
penilaian dengan rating yang
tujuannya untuk pengembangan belajar, mereka lebih kritis dalam memberikan
umpan balik. Kesimpulannya bahwa pebelajar lebih suka memberikan kritik dalam
asesmen teman sejawat, jika mereka tahu
bahwa masukan (umpan balik) mereka tidak membahayakan nilai teman-temannya,
tidak mengancam reputasinya dan nilai mereka tidak dalam bahaya.
Fedor & Bettenhousen (1989) juga telah
melakukan pengujian pengaruh sikap terhadap asesmen teman sejawat. Sikap itu
khusus tentang (1) tujuan appraisal (umpan
balik vs. pemberian nilai), (2) prakonsepsi peserta, dan (3) kesukaan terhadap peer rating. Hasilnya menunjukkan bahwa
evaluasi sejawat lebih disukai dan dipandang lebih positif jika tujuan dari
appraisal adalah pemberian nilai dan jika pebelajar mengakui bahwa asesmen
teman sejawat dipandang positif. Selain
tiga variabel ini, masih ada variabel lain mempengaruhi proses asesmen antara
lain hakikat pekerjaan (tugas) dan sistem hadiah (reward), peranan pengawas dan persepsi awal pebelajar memegang
peranan penting sukses tidaknya dalam proses penggunaan asesmen teman sejawat.
Dari beberapa temuan penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa asesmen teman sejawat dapat menggunakan beberapa cara misalnya
peer rating, peer marking, self rating dan lainnya yang pada intinya melibatkan
pebelajar untuk melakukan pemberian nilai. Asesmen teman sejawat cocok untuk
menilai hasil kerja kelompok, lebih disukai, lebih akurat dan terhindar dari
subyektivitas. Asesmen teman sejawat juga tepat digunakan untuk melakukan
penilaian dengan tujuan pengembangan belajar. Dalam implementasinya perlu
diperhatikan variabel-variabel sikap, karena dalam proses asesmen ternyata
variabel sikap dan persepsi awal pebelajar sangat menentukan berhasil tidaknya
tindakan asesmen memenuhi tujuannya. Oleh sebab itu preskripsi asesmen teman
sejawat untuk diterapkan dalam situasi
belajar kolaboratif diduga akan dapat memberi pengaruh signifikan pada
perkembangan belajar kemampuan pemecahan masalah bidang Akuntansi.
3. Studi Terdahulu Tentang Pembelajaran Kemampuan Pemecahan
Masalah
Di Indonesia pernah diterapkan pembelajaran
kemampuan pemecahan masalah pada tahun 1980 yang dikenal dengan Teknik
Pemecahan Masalah secara Kreatif (PMK) ketika
setelah Utami Munandar, ahli psikologi dari Indonesia ditugaskan ke
University of Buffalo mengikuti pelatihan Creative
Problem Solving dan berguru kepada tokoh kreativitas Sidney Parnes dan M.O.
Edwards pengarang Doubling Idea Power
yang isinya menguraikan teknik Creative
Problem Solving (Utami Munandar, 1999:293). Lokakarya tentang cara
pendekatan pemecahan masalah (kreativitas) diselenggarakan oleh Yayasan
Pengembangan Kreativitas dengan peserta para manajer perusahaan, dosen, guru SD
dan guru pendidikan menengah, ibu-ibu dari organisasi wanita, siswa-siswa
sekolah menengah. Proses yang dipakai mengadaptasi pola yang digunakan oleh
M.O. Edwards yang dikenal dengan proses pemecahan masalah secara kreatif,
dengan langkah mulai dari penemuan fakta, penemuan masalah, penemuan gagasan,
penemuan solusi dan penemuan penerimaan (implementasi). Kesimpulannya cara
pendekatan pemecahan masalah ternyata dapat diberikan kepada berbagai jenjang
kalayak, bahkan kepada kalangan anak sekolah dasar pun juga bisa.
Kecakapan atau skills kemampuan
pemecahan masalah telah langka di kalangan tenaga kerja. Laporan National Adult
Literacy Survey (NALS) menemukan bahwa separo lebih pekerja dewasa mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang menuntut kemampuan pemecahan
masalah sekali pun pada tugas yang sederhana. Misalnya tugas menentukan yang
benar dengan memanfaatkan informasi yang sudah tersaji dalam menu; menjawab
pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan informasi tentang daftar tugas perawat
yang dinas ke luar seperti dilaporkan oleh Kirsch, Jungeblat, Jenkins, &
Kolstad, 1993 (Foshay & Kirkley, 2003:2).
Dari temuan ini ditengarai bahwa
apa yang terjadi pada pekerja dewasa seperti itu, sama halnya dengan yang
terjadi pada pebelajar di sekolah-sekolah sehingga ditegaskan bahwa perlunya
menekankan pentingnya literasi kecakapan dasar dengan menekankan kemampuan
pemecahan masalah dan kecakapan berpikir tingkat tinggi lainnya.
Terkait dengan pengorganisasian isi
pembelajaran pemecahan masalah Mukhadis (2003) merangkum beberapa temuan,
antara lain (1) bahwa pengorganisasian isi model elaborasi lebih unggul dalam
perolehan skor mengingat dan skor pemahaman dalam belajar konsep dibanding
pengorganisasian isi yang konvensional (Divesta dan Finke, 1985; Hanclosky,
1966; dan Degeng, 1988), (2) pengorganisasian isi model elaborasi lebih unggul
daripada model advance organizer dan
analisis tugas dalam belajar konsep dan prinsip (Hanclosky, 1986), (3) model
elaborasi lebih unggul dalam skor informasi verbal, konsep dan retensi dibanding
dengan pengorganisasian isi menurut buku teks dalam belajar informasi verbal
dan konsep (Degeng, 1988). Temuan Mukhadis (2003:129) menunjukkan bahwa
pengorganisasian isi model elaborasi lebih unggul bila dibandingkan dengan
model urutan linier bertahap dalam hal hasil dan transfer belajar pengenalan
pola, urutan tindakan prosedural, dan pada gabungan keduanya.
Suharsono (1991:66) menemukan dan menegaskan
bahwa salah satu variabel terpenting yang harus dipegang dalam upaya
pengembangan model, penyiapan program, serta pelaksanaan kegiatan
belajar-mengajar pemecahan masalah dengan menggunakan substansi pokok bahasan
bidang studi adalah struktur organisasi disiplin ilmu yang menjadi obyek
pengembangannya. Temuan Suharsono (1991) ini sejalan dengan temuan Boreham
dkk., 1985 (Suharsono, 1991:66) bahwa pengorganisasian materi belajar dengan
urutan dari aplikasi ke teori ternyata lebih mudah dikuasai daripada urutan
dari teori ke aplikasi dalam proses belajar mengingat prosedur pemecahan
masalah. Akan tetapi kedua prosedur ini menjadi tidak berbeda pengaruhnya
ketika dua kelompok perlakuan disajikan kasus-kasus pemecahan masalah dengan
menerapkan prosedur yang sudah diajarkan untuk itu.
Tidak adanya perbedaan penerapan teori saat
pemecahan kasus-kasus menimbulkan pemikiran skeptis apakah pola pembelajaran
tidak memberikan pengaruh efek perbedaan dalam optimalisasi tindak belajar dan
berpikir pebelajar atau terletak pada variabel perbedaan latar individu
pebelajar.
Oleh sebab itu pengembangan model yang ditawarkan
untuk mengoptimalkan proses terjadinya pembentukan pengetahuan baru pada diri
pebelajar melalui cara-cara yang dipreskripsikan dalam bentuk pengelolaan
interaksi, pengorganisasian isi dan sistem asesmen dalam pembelajaran masih
selalu diperlukan uji-coba dan verifikasi yang berulang menurut latar situasi
dan karakteristik individu pebelajar yang berbeda-beda.
4. Studi Terdahulu Tentang Pengaruh
Adversity Quotient
Musthofa & Djamaludin Ancok (2005) telah
mendeteksi bahwa tingkat adversity
quotient pada diri individu dapat mengantisipasi pengaruh anchor (sebuah informasi nilai keputusan
yang muncul mendahului pertimbangan keputusan) terhadap bias pengambilan
keputusan; makin tinggi nilai adversity
quotient yang dimiliki seorang individu akan dapat mengantisipasi pengaruh anchor; kekuatan pengaruh adversity quotient dalam mengantisipasi
pengaruh anchor dalam membuat
keputusan menjadi menurun ketika beban resiko dari masalah yang diputuskan
tinggi, dengan kata lain semakin tinggi beban resiko dari masalah yang
diputuskan maka akan makin kecil pengaruh kekuatan adversity quotient dalam mengantisipasi bias keputusan oleh adanya anchor. Perbedaan jenis kelamin tidak
memberikan perbedaan efek dari nilai adversity
quotient, terutama dalam hubungannya dengan pengambilan keputusan.
Dari temuan penelitian ini disarankan bahwa
untuk membangun kualitas diri dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas adversity quotient. Kualitas adversity quotient pada dasarnya
meningkatkan karakteristik respon individu terhadap masalah atau tantangan yang
dihadapi, dalam mana karakteristik respon tersebut adalah berupa mendahulukan
respon kognitif ketika berhadapan dengan suatu masalah untuk dihadapi dan
diputuskan.
Penelitian adversity
quotient lebih lanjut tidak perlu melakukan kontrol pada perbedaan jenis
kelamin, perbedaan kualitas respon dan
penyelesaian masalah diduga justru disebabkan oleh perbedaan nilai adversity quotient yang dimiliki
individu. Penelitian Musthofa & Djamaludin Ancok (2005) ini baru mengungkap
tentang adversity quotient dalam
kaitannya dengan pengambilan keputusan dalam rangkaian mekanisme menghadapi dan
menyelesaikan hambatan atau pemecahan masalah, dengan demikian masih terdapat
beberapa bagian kaitan adversity quotient
dengan kemampuan pemecahan masalah. Selain itu dikarenakan adversity quotient adalah kontrak penilaian kualitas individu dalam
bentuk ketrampilan respon terhadap masalah, maka tidak terkait secara langsung
dengan pengetahuan dan keahlian spesifik seseorang.
Dorongan menggali potensi untuk mengantisipasi
permasalahan merupakan suatu dorongan yang bersumber dari orientasi internal.
Orientasi internal dapat berfungsi optimal jika melibatkan potensi dari
orientasi eksternal, yaitu dorongan menggali potensi lebih lanjut yang
menumbuhkan keyakinan kemampuan diri untuk mengatasi masalah yang dapat
dikembangkan berdasar pemahaman terhadap sumber, bentuk dan jangkauan dari
masalah yang dihadapi individu. Oleh sebab itu perlu diteliti tentang masalah
kualitas adversity quotient dalam
hubungannya dengan pengetahuan dan keahlian kognitif individu sehubungan dengan
bidang permasalahan yang dihadapi, dalam hal ini adalah pengetahuan prosedural
tentang kemampuan pemecahan masalah di bidang Akuntansi.
5. Studi Terdahulu Tentang Pengaruh
Lokus Kendali
Penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh orientasi lokus
kendali pebelajar terhadap hasil belajar dilakukan oleh Crandall, Kotkovsky dan
Crandall, Crandall, Kotovsky dan Presto, serta Rotter dan Morley, (dalam Owie,
1983:383-384), dan Miller, Lefcourt dan Holmes (1986) yang menyimpulkan bahwa
pebelajar yang memiliki kecenderungan persepsi external control dalam melakukan kegiatan belajar sangat bergantung
pada faktor eksternal, sehingga representasi tingkat motivasi belajar tampak
lebih rendah bila dibandingkan dengan pebelajar yang memiliki kecenderungan
persepsi internal control.
Hasil
penelitian lain yang dilakukan oleh Walberg dan Tukey (Uguraglu dan Weiberg,
1980), serta Coleman, dkk. (Bartal, dkk., 1980) menunjukkan ada korelasi yang
signifikan antara orientasi lokus kendali pebelajar dengan tingkat prestasi
akademik, yaitu pebelajar yang memiliki orientasi internal prestasi akademiknya
lebih tinggi, bila dibanding dengan pebelajar yang memiliki orientasi
eksternal.
Mukhadis
(2003:129) telah menemukan bukti-bukti tentang pengaruh lokus kendali terhadap
hasil belajar. Kelompok pebelajar yang berorientasi lokus kendali internal
ternyata lebih unggul daripada kelompok yang berorientasi lokus kendali
eksternal dalam hal hasil dan kemampuan transfer belajar (pengenalan pola,
urutan tindakan prosedural maupun gabungan antara keduanya) dalam berbagai
kondisi bakat berpikir mekanik apa pun. Implikasinya adalah bahwa karena lokus
kendali merupakan salah satu faktor yang mengekspresikan keunikan individu
dalam belajar, maka dapat digunakan untuk memberikan referensi dalam pemilihan
alternatif strategi pembelajaran tentang penguasaan prasyarat prosedur
pemecahan masalah. Secara nyata bentuknya adalah strategi menumbuhkan dan
mengembangkan kemauan dan kerja keras dalam belajar sehingga dapat diharapkan
mempengaruhi pencapaian tingkat keberhasilan belajar. Kesimpulan Mukhadis
(2003) ini sejalan dengan temuan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya
oleh Wolfgang dan Potvin dan Stipek yang dilaporkan Gagne, 1987 (Mukhadis,
2003:127) yang menyatakan bahwa kelompok pebelajar yang berorientasi lokus
kendali internal memiliki kecenderungan sifat suka kerja keras dan lebih aktif
dalam belajar. Dua sifat yakni kerja keras dan aktif dalam belajar inilah yang
memungkinkan individu dapat mengaktualisasikan bakat dan potensinya.
Hasil
penelitian Suharsono (1991:66) juga memperkuat pengaruh lokus kendali terhadap
efektivitas pembelajaran. Temuannya menyatakan bahwa keefektivan aktivitas
belajar pemecahan masalah ternyata dipengaruhi oleh berbagai variabel yang
bersumber dari faktor pembawaan individu pebelajar antara lain kecepatan
pemrosesan informasi dalam memori, level kemampuan berpikir, gaya kognitif yang
mendominasi kegiatan belajar, dan lokus kendali sebagaimana ditemukan oleh
Rotter (1966, 1975), Heaven (1988) serta Benson dan Yeany (1986) seperti
dilaporkan Suharsono(1991:66).
Menurut
Kreitner & Knicki (2003) para peneliti dalam lingkup organisasi dan
manajemen telah menemukan perbedaan yang penting berkaitan dengan lokus kendali
perilaku internal dan eksternal:
(1)
Kelompok internal
menunjukkan motivasi kerja yang lebih besar.
(2)
Kelompok internal
memiliki pengharapan yang lebih kuat bahwa usaha akan mengarah pada prestasi.
(3)
Kelompok internal
menunjukkan prestasi yang lebih tinggi pada tugas-tugas yang melibatkan proses
belajar atau pemecahan persoalan, di mana prestasi mengarah pada penghargaan
yang berarti.
(4)
Terdapat suatu hubungan
yang lebih kuat antara kepuasan kerja dengan prestasi bagi kelompok internal
daripada eksternal.
(5)
Kelompok internal
memperoleh gaji yang lebih tinggi dan peningkatan gaji yang lebih besar
daripada kelompok eksternal.
(6)
Kelompok eksternal
cenderung lebih khawatir daripada kelompok internal.
Bertolak dari
bukti-bukti empiris tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa variable lokus
kendali akan berpengaruh terhadap mutu pengelolaan pembelajaran kemampuan
pemecahan masalah dan pengorganisasian isi secara elaborasi (sebagai faktor
eksternal), yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap hasil belajar berupa penguasaan
kemampuan pemecahan masalah.
H. Kerangka Berpikir
Asesmen teman sejawat dalam
konteks pola pengelolaan belajar kolaboratif dipreskripsikan untuk tujuan meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah dalam pembelajaran bidang Akuntansi Perusahaan Jasa, baik untuk
kemampuan menggunakan prosedur pemecahan masalah maupun untuk kemampuan
menemukan prosedur baru untuk pemecahan masalah. Bertolak dari konsep sistem
pengajaran maka kerangka pikir pengembangan asesmen ini dipaparkan sebagai
berikut.
1.
Hasil Belajar Pemecahan Masalah Bidang Akuntansi Jasa
Untuk melihat secara detail kemampuan menggunakan prosedur dan menemukan
prosedur baru pemecahan masalah bidang Akuntansi Jasa perlu dilakukan analisis
intruksional sehingga akan tampak jelas sasaran strategi untuk penataan isi dan
pengelolaan belajar menurut teori elaborasi. Asesmen terhadap unjuk kerja
kemampuan pemecahan masalah tersebut ditandai oleh dua komponen utama, yaitu
berupa tugas pemecahan masalah dan kreteria penilaian atas tugas yang
bersangkutan. Tugas dapat diklasifikasi dalam 3(tiga) kelompok, yaitu: tugas
yang mirip (analog), berhubungan (relate), dan tugas yang belum pernah
dikenal (novelty). Penggolongan ini dimaksud
untuk menetapkan dalam kondisi apa mahasiswa dapat dinyatakan selesai dalam tugasnya.
Tugas pemecahan masalah ini secara akumulasi harus dapat menunjukkan 4(empat)
hal sebagai produk jasa akuntansi yaitu: laporan keuangan, perubahan modal,
penjelasan rugi dan laba, dan penjelasan atas laporan perubahan modal.
Kreteria penilaian menggunakan rubrik penilaian analitik yang
mencakup 3(tiga) komponen kemampuan pemecahan masalah (analog, relate dan
novelty).
Berbagai telaah asesmen mengindikasikan, perlunya ditentukan
suatu bobot yang berbeda untuk setiap komponen penilaian, disebabkan oleh
adanya pertimbangan intensitas proses kognitif dan kreatif yang dituntut dalam
belajar. Dalam penelitian ini, tugas-tugas yang tergolong novelty dianggap
paling berat diberi bobot 60%, untuk golongan relate diberi bobot 25%, dan
untuk yang analog sebesar 15%. Untuk memudahkan scoring setiap komponen
merupakan satu dimensi yang dijelaskan dengan indikator dan deskriptor.
Deskriptor untuk setiap dimensi merentang dari skor 4 (empat) untuk kemampuan
yang tepat dan sesuai dengan indikator yang dituntut, hingga 1(satu) untuk
kemampuan yang paling tidak sesuai dengan indikator yang dituntut.
Dari uraian tentang hakekat kemampuan pemecahan masalah bidang
Akuntansi, dengan demikian dapat dikaji apa yang dimaksud dengan kemampuan
menggunakan prosedur pemecahan masalah serta kemampuan menemukan prosedur baru
pemecahan masalah.
2. Tingkat Penguasaan Pebelajar
Tentang Kemampuan Pemecahan Masalah.
Sebagaimana telah diungkap bahwa jenis pengetahuan terdiri dari
pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif
adalah proposisi yang berisi pengetahuan tentang apa sesuatu itu; dan
pengetahuan prosedural adalah proposisi yang berisi pengetahuan tentang
bagaimana melakukan sesuatu. Pengetahuan prosedural lebih cepat dan lebih
reaktif terhadap lingkungan daripada pengetahuan deklaratif. Proses belajar
untuk penguasaan jenis pengetahuan prosedural tertentu memerlukan prasyarat
kondisi penguasaan pengetahuan tentang konsep, prosedur dan aturan sebelumnya.
Proses pembentukan struktur pengetahuan membutuhkan sejumlah
informasi yang selain mengandalkan pengetahuan yang sudah ada (proposisi) yang
telah dimiliki individu pebelajar juga sangat membutuhkan masukan informasi
dari luar diri individu pebelajar. Masukan informasi dari luar semakin
diperkaya jika pola pengajaran dan pembelajaran difasilitasi lingkungan yang
memungkinkan individu pebelajar untuk memperoleh sebanyak-banyaknya gagasan,
pemikiran dan kritik guna melakukan refleksi diri dan akhirnya didapatkannya
struktur pengetahuan baru setelah terjadi proses asimilasi.
Pola kolaboratif merupakan pendekatan yang sesuai untuk tujuan
ini karena dengan mempolakan belajar kerjasama dalam kelompok dimungkinkan
adanya sarana aktivasi gagasan dan pemikiran dari pebelajar selama terlibat
dalam diskusi dan kerjasama. Rasa tanggungjawab atas hasil belajar diri sendiri
dan kelompok akan tumbuh seiring dengan proses yang berlangsung dalam kegiatan
kelompok. Hal seperti ini tidak akan didapat dalam belajar secara individual.
Oleh karena itu kemampuan pemecahan masalah akan lebih cepat
dikuasai jika proses belajar berada dalam suasana kolaboratif karena kegagalan
proses penemuan pemecahan masalah oleh individu dapat ditanggulangi
pemecahannya dengan proses lanjut melalui diskusi, kontribusi gagasan,
pemikiran dengan sejawat dalam kelompok dan akhirnya diperoleh keberhasilan
bersama melalui kolaboratif. Strategi belajar demikian yang memungkinkan untuk
menumbuhkan bekal hidup yang fungsional di masyarakat. Dengan demikian dapat
diduga bahwa pola belajar kolaboratif dapat lebih efisien dan efektif untuk
membelajarkan pengetahuan untuk penguasaan kemampuan pemecahan masalah.
Terkait dengan proses belajar kolaboratif, tindakan asesmen yang
pada umumnya berlandaskan pada asumsi bahwa penguasaan kompetensi individu
paling tepat diukur dengan hasil kerja individu sendiri tanpa bantuan orang
lain menjadi tidak tepat lagi; asesmen dalam konteks ini harus ditekankan pada
adanya kegiatan kerjasama dan kolaborasi yang terjadi pada proses pembelajaran
dalam kelompok karena skore hasil belajar yang didapatkan seorang individu
dalam belajar sangat mungkin dipengaruhi oleh keahlian dari kawan-kawannya
selama terlibat dalam proses kerjasama dan kolaborasi dalam kelompok
sebagaimana kemampuannya sendiri mempengaruhi orang lain; demikian argumentasi
Linn, 1993; Wise & Behuniak, 1993 (Webb, 1994:1-2).
Penggunaan asesmen sumatif yang hanya dilakukan pada akhir
program pembelajaran tidak cukup memadai untuk kepentingan assessment for learning yang hakikatnya memenuhi tujuan perbaikan
belajar pebelajar. Asesmen teman sejawat sebagai asesmen alternatif memenuhi
elemen-elemen yang dibutuhkan untuk tujuan perbaikan belajar pada lingkup awal,
proses dan keseluruhan program pembelajaran. Temuan-temuan yang disajikan oleh
Keaten, Richardson, & Elizabeth (1993) mendukung untuk dikembangkan dan
diimplementasikannya model asesmen teman sejawat.
Bertolak dari strategi pengelolaan yang berpendekatan
kolaboratif maka asesmen selain mengukur perkembangan kemampuan individu pebelajar,
juga harus mempertimbangkan pada kemampuan pebelajar dalam melakukan interaksi,
kerjasama, dan kolaborasi serta efektivitas anggota tim dalam kerja kelompok.
Efektivitas anggota tim dalam kerja kelompok menurut Salas, Dickinson,
Converse, & Tannenbaum, 1992 (Webb, 1994:4) merupakan proses dinamis yang
mengandung unsur koordinasi, komunikasi, penyelesaian konflik, pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah serta negoisasi.
Dengan demikian dapat diduga penggunaan asesmen teman sejawat
akan lebih mampu mendeteksi perkembangan belajar penguasaan kemampuan pemecahan masalah sejak dari awal, selama
proses dan keseluruhan dari proses pembelajaran daripada asesmen konvensional
yang lebih mengarah kepada asesmen sumatif dan asesmen tunggal.
Asesmen teman sejawat akan dapat diterima oleh pengguna karena
mampu memenuhi hakikat isi belajar secara kolaboratif yakni lebih obyektif dan
dapat menghindarkan dari pengaruh subyektivitas penilai. Selain itu asesmen
teman sejawat akan dapat diterapkan dengan baik didasarkan pada pertimbangan dari
aspek belajar pemecahan masalah secara individu, struktur kelompok, dinamika
kelompok dan proses yang terjadi dalam kelompok dalam membangun struktur
pengetahuan baru sebagai wujud dari hasil belajar kemampuan menggunakan
prosedur maupun belajar penemuan prosedur baru pemecahan masalah.
3. Urunan Adversity Quotient Dan Lokus Kendali Pada Penguasaan Kemampuan
Pemecahan Masalah
Potensi individu beragam menurut karakteristik
masing-masing. Potensi individu akan berkembang tergantung pada stimuli yang
memberi dorongan aktivasi individu untuk terdorong berbuat dan berusaha
termasuk dalam belajar. Tingkat respon individu yang menimbulkan dorongan untuk
aktif belajar menantang hambatan berupa masalah yang harus dipecahkan merupakan
kadar dari adversity quotient
seseorang.
Tingkat ketrampilan respon terhadap masalah
atau adversity quotient seseorang
akan menunjukkan kegigihan dan kemampuan bertahan dalam menghadapi tantangan,
sehingga semakin tinggi adversity
quotient seseorang akan semakin besar peluang untuk berhasil mencapai
tujuan belajar, sebaliknya semakin rendah adversity
quotient seseorang maka diduga kuat semakin sulit untuk mencapai
keberhasilan dalam belajar.
Belajar pengetahuan kemampuan pemecahan masalah
pada dasarnya belajar penuh dengan tantangan dan hambatan. Proses menggunakan
prosedur pemecahan masalah yang sudah ada dan menemukan prosedur baru pemecahan
masalah menjadi semakin efektif dan efisien jika didukung oleh tingkat adversity quotient yang dimiliki
individu yang sedang belajar. Dengan demikian dapat diduga bahwa tingkat adversity quotient akan dapat digunakan
sebagai pemoderasi pengaruh penggunaan asesmen terhadap efektivitas dan
efisiensi proses pembelajaran pada latar pendekatan secara kolaboratif.
Pada sisi lain lokus kendali sebagai orientasi
persepsi individu terhadap belajar menunjukkan ada korelasi yang signifikan
antara orientasi lokus kendali pebelajar dengan tingkat prestasi akademik,
pebelajar yang berorientasi internal prestasi akademiknya lebih tinggi,
dibanding dengan pebelajar yang memiliki orientasi eksternal. Oleh sebab itu
dapat diduga bahwa pebelajar yang cenderung kuat lokus kendali internalnya akan
mampu lebih cepat menunjukkan penguasaan hasil belajarnya (berupa kemampuan
pemecahan masalah) dibanding pebelajar yang kuat lokus kendali eksternalnya.