BAB II

KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN MODEL

 

A. Hakikat Kompetensi Dan Proses Belajar Kemampuan Pemecahan Masalah Bidang Akuntansi

 

1. Pengertian Kompetensi Akuntansi

 

a. Pengertian Kompetensi

Secara harfiah, kompetensi adalah kapasitas, ketrampilan, atau kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan benar dan secara efisien, atau suatu lingkup kemampuan seseorang atau suatu kelompok (Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English, 1995:232).

Secara operasional pengertian kompetensi dapat dijabarkan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Kompetensi merupakan kapabilitas atau kemampuan dari kinerja maksimum seseorang yang diperoleh melalui proses belajar yang berlangsung secara terus-menerus dalam jangka waktu lama yang dapat diamati sebagai hasil belajar (Gagne, 1977:51; Gagne, Leslie & Wager, 1992:43; Gronlund & Linn, 1990:11). Hasil belajar dapat diamati dan diukur dari perubahan pada perilaku diri yang belajar sebagai hasil pengalaman (Reigeluth, 1983:9).

Kompetensi menurut Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Pasal 1 butir 4 dan Pasal 25) merupakan tuntutan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Kompetensi menurut dimensi kognitif Bloom (2001:45-46 dan 67-68); Anderson (2003:29) dapat diklasifikasi ke dalam dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif. Dimensi pengetahuan terdiri dari: (1) fakta (factual), (2) konsep (conceptual), (3) prosedur (prosedural), dan (4) metakognitif (metacognitive). Dimensi proses kognitif dibedakan menjadi (1) mengingat (remember), (2) mengerti (understand), (3) penerapan (apply), (4) analisis (analyze), (5) evaluasi (evaluate), dan (6) berbuat (create).

Kompetensi dari sudut pandang organisasi, dapat juga dipilah menjadi kompetensi menurut tuntutan spesifikasi pekerjaan, dan kompetensi menurut tingkah laku unjuk kerja (Kreitner dan Knicki, 2000:185). Menurut tuntutan spesifikasi pekerjaan kompetensi terdiri dari kemampuan-kemampuan: berkomunikasi verbal, inisiatif, memutuskan, toleransi, pemecahan masalah, dan kemampuan menyesuaikan diri. Ditilik dari tingkah laku unjuk kerja, penguasaan kompetensi dikatagorikan menjadi 4(empat) tingkat, yaitu: (1) pemula (novice), (2) menengah (intermediate), (3) lanjut (advanced), dan (4) ahli (expert).

Bagi seorang pendidik, kompetensi yang dituntut adalah spesifikasi kemampuan dan keterampilan pada kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial (PP 19 tahun 2005, Pasal 28 ayat (3)).

           Dari berbagai pandangan tentang kompetensi dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi pada dasarnya kemampuan unjuk kerja pada dimensi kognitif atau pada proses kognitif sebagai hasil belajar yang dapat diamati, berbentuk perubahan perilaku yang isinya berkaitan dengan ranah pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Penguasaan kompetensi dapat dikategori pemula, menengah, lanjut dan ahli. Khusus bagi pendidik kompetensi yang harus dikuasai adalah kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial.

 

b. Kompetensi Akuntansi

Akuntansi mengandung dimensi proses dan aktivitas yang memerlukan pengkajian untuk mempelajarinya. Wujud hasil mempelajari pengetahuan Akuntansi dikenal dengan  kompetensi Akuntansi. Dari segi dimensi proses Akuntansi, merupakan tindakan identifikasi, pengukuran dan komunikasi tentang pendapat dan keputusan yang secara ekonomis dibutuhkan oleh penggunanya (Hermanson, Edwards & Salmonson (1989:3). Ditilik dari dimensi aktivitas, National Committee on Governmental Accounting, 1968 (Gandhi, 2002:86) menyatakan bahwa  Akuntansi adalah gabungan kegiatan analisis, pencatatan, peringkasan dan penginterpretasian transaksi keuangan; yang bertujuan untuk menyediakan informasi keuangan yang lengkap dan akurat dalam bentuk yang sesuai dan dalam waktu yang tepat.

Akuntansi bukan sekedar sejumlah prosedur teknis yang harus diingat tetapi merupakan suatu cara untuk memahami perilaku dagang dan sebagai alat untuk mengevaluasi perilaku dagang tersebut. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ingram & Baldwin (1996:iii); Huang, O’shaughnessy dan Wagner (2005:284), penegasannya bahwa: “...accounting not as a set of technical procedures to be memorized but as a way of understanding businesses and a means for evaluating them.”

Pekerjaan Akuntansi berada dalam rangkaian kegiatan proses pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran, pelaporan dan penginterpretasian transaksi-transaksi yang terjadi dalam suatu perusahaan untuk memungkinkan adanya asesmen dan keputusan yang jelas dan tegas bagi mereka yang menggunakan informasi tersebut (P2A, Depdikbud, 1989:15).

Kompetensi dalam bidang Akuntansi dengan demikian merupakan kemampuan unjuk kerja keahlian, yang dibentuk melalui pengetahuan, ketrampilan dan pembinaan sikap tentang Akuntansi. Kompetensi akuntansi seseorang dapat dilihat dari kemampuannya memenuhi tuntutan spesifikasi pekerjaan, dan atau  kemampuan tingkah laku unjuk kerja dalam menangani pekerjaan dalam kegiatan Akuntansi. 

Kompetensi Akuntansi ditentukan oleh 4(empat) faktor yaitu (1) kemampuan (ability), (2) pengetahuan (knowledge), (3) motivasi, dan (4) lingkungan (environtment and motivation) Libby & Luft (1993:433).

Berdasarkan kompetensi tersebut, keahlian Akuntansi dapat ditingkatkan melalui model hubungan empat faktor yang ilustrasinya dapat disimak pada gambar berikut ini. Model ini berasumsi bahwa motivasi dan lingkungan merupakan faktor yang konstan.

Unsur pertama, kemampuan individu merupakan kapasitas tugas pendukung untuk melengkapi informasi, seperti koding informasi (information encoding), pemanggilan (retrieval) dan analisis.

Kedua, pengetahuan yang dimiliki (knowledge – information stored in memory) yakni informasi yang telah terekam dalam memori yang dapat menunjukkan sejauh mana individu telah menguasai tugas pekerjaan tertentu bidang Akuntansi (pengetahuan prosedural); fakta-fakta yang dibutuhkan (pengetahuan deklaratif); dan bagaimana kegiatan yang sesuai dengan tuntutan profesi bidang akunting (pengetahuan tacit).

 

 

Gambar 1

Hubungan Empat Faktor Kemampuan Dalam Akuntansi

Adaptasi dari Robert Libby & Joan Luft, 1993:433 (Salterio,2005:1)

 

Ketiga, pertimbangan dari lingkungan Akuntansi dan gambaran tentang arahan dari yang berwenang seperti program audit komputer, insentif keuangan, hubungan akuntabilitas, dan proses review formal dan informal. Lingkungan memberi peluang  yang berbeda-beda untuk belajar; lingkungan yang baik akan memberi lebih banyak bahan belajar, dan begitu sebaliknya.

Keempat, motivasi yang terkait erat dengan kemauan individu untuk memanfaatkan potensinya. Model dari keempat unsur ini memang sederhana, tetapi saling hubungan antar keempat unsur ini dapat menjadi kompleks.

Pendidikan dan pelatihan untuk membentuk kompetensi Akuntansi harus membekali mahasiswa sedemikian rupa melalui kurikulum dengan memperhatikan isi dan prosedur penyajian. Tiap-tiap kecakapan tertentu diperlukan dasar dan prasyarat kecakapan sebelumnya, begitu seterusnya hasil dari pembekalan kecakapan tertentu akan menjadi dasar dan prasyarat kecakapan berikutnya. Secara berjenjang dan prosedural hal tersebut akan membentuk kebulatan isi kecakapan dan menjadikan orang yang belajar atau berlatih menjadi mahir untuk kecakapan-kecakapan itu, dan inilah yang disebut menguasai kompetensi akuntansi.

Dari beberapa definisi dan penegasan ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi Akuntansi mengandung penguasaan kemampuan dan aktivitas yang berproses mengikuti prosedur tertentu tahap demi tahap. Tahapan-tahapan itu mulai dari mencatat, mengklasifikasi, mengikhtisarkan, melaporkan dan menginterpretasikan transaksi yang terjadi dalam suatu perusahaan dalam kurun waktu tertentu. Proses itu bertujuan menyediakan informasi keuangan kepada pihak yang berkepentingan untuk tujuan pengambilan keputusan dan sebagai sarana evaluasi kegiatan bisnis. Dengan demikian penguasaan kompetensi Akuntansi seseorang dapat diukur dari kemampuan memenuhi tuntutan perkerjaan pada tahapan tertentu atau kemampuan unjuk kerja dalam menangani kegiatan-kegiatan dalam proses akuntansi.

Kompetensi Akuntansi dapat dilatihkan dan dibekalkan melalui proses dan prosedur seperti di atas. Penguasaan secara tuntas kompetensi Akuntansi dengan baik merupakan pendukung munculnya kualitas proses pembelajaran Akuntansi bagi siswa-siswa di kelas. Karena itu penguasaan kompetensi Akuntansi oleh guru adalah mutlak diperlukan, dan oleh sebab itu menjadi penting tentang bagaimana menyiapkan guru Akuntansi dengan baik. Kurikulum LPTK  untuk mayor bidang studi Akuntansi merupakan salah satu muara untuk menciptakan guru Akuntansi yang berkompetensi.

 

2. Proses Belajar Kemampuan Pemecahan Masalah

 

a. Definisi Belajar dan Bentuk-bentuk Belajar

Belajar merupakan perubahan perilaku yang terjadi secara menetap pada diri seseorang sehingga diperoleh suatu kompetensi atau kemampuan. Ada lima macam bentuk belajar menurut Gagne, 1984 (Dahar,1989:12) yakni (1) belajar responden, (2) belajar kontiguitas, (3) belajar operant, (4) belajar observasional, dan (5) belajar kognitif.

Bentuk belajar responden, ditandai oleh adanya respons yang dikeluarkan oleh stimulus yang telah dikenal dan intinya bahwa perilaku berubah karena hasil suatu pengalaman. Respons yang muncul tanpa stimulus terkondisi bukan merupakan belajar, melainkan akibat instink.

Belajar kontiguitas ditandai oleh adanya perubahan perilaku akibat asosiasi dekat (contigous) sederhana antara suatu stimulus dan suatu respons.

Belajar operant merupakan bentuk belajar akibat adanya penguatan, yaitu suatu konsekuensi yang memperkuat perilaku-perilaku.

Belajar observasional memperlihatkan, bahwa belajar diperoleh dengan cara mengamati orang lain melakukan apa yang akan dipelajari, oleh sebab itu perlu dihindari kesempatan atau peluang untuk obyek pengamatan yang tidak baik.

Belajar kognitif merupakan bentuk belajar yang menekankan pada proses-proses kognitif, antara lain berpikir (insight) dan penalaran (reasoning), dan penggunaan logika deduktif dan induktif, meskipun para ahli mengakui memang ada konsepsi-konsepsi tentang belajar yang diterapkan dalam hubungan stimulus – respons yang tak logis, tetapi masih lebih banyak dibutuhkan penjelasan belajar dari hubungan-hubungan yang logis dan rasional.

Para ahli lebih konsentrasi penelitian pada pengembangan bentuk belajar proses kognitif atau proses mental,  seperti telah dilakukan oleh Glovers & Ronning (1987), Matlin (1989), Mayer (1992), dan Ree (1992) daripada bentuk-bentuk belajar yang lain. Kesimpulannya bahwa pembelajaran merupakan kebutuhan pokok yang mendasar bagi proses kognitif (Henson dan Eller,1999:244).

 

b. Teori Belajar Proses Kognitif dan Pembelajaran

Menurut Bruner (1966:47), belajar terdiri dari  tiga proses, yaitu perolehan, mentransfer dan mengolah kembali. Bruner berpendapat bahwa dalam praktik pengajaran tercakup tiga hal di dalamnya, yaitu berupa informasi tentang bagaimana kreativitas pebelajar bisa tumbuh dengan baik, belajar membantu menyusun pengetahuan, dan belajar membantu mengurutkan atau menyusun pengetahuan.

Ausubel & Robinson, 1969 (Dahar, 1989:111) mengklasifikasi peristiwa belajar dalam dua kontinum dimensi. Pertama dimensi yang berhubungan dengan cara pebelajar menerima materi informasi, dan kedua menyangkut cara bagaimana pebelajar dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang sudah dimiliki. Dari dimensi pertama, belajar dapat dibedakan secara penerimaan dan secara penemuan; dan dari dimensi kedua belajar dapat berbentuk belajar hafalan dan belajar bermakna. Belajar penemuan yang sangat bermakna jika dilakukan dengan melibatkan pebelajar dalam penelitian secara ilmiah. Belajar bermakna merupakan proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat pada struktur kognitif seseorang.

           Menurut teori belajar proses kognitif, belajar merupakan pertemuan antara faktor-faktor internal pebelajar dan faktor-faktor eksternal pebelajar sehingga diperlukan cara dalam memadukan kedua faktor tersebut. Teori ini menekankan pada pemrosesan informasi kognitif yaitu bagaimana seseorang menerima, menyimpan dan mengingat kembali informasi dari perbendaharaan ingatan.

Pembelajaran karenanya merupakan upaya mengoptimalkan potensi internal dan eksternal pebelajar. Cara-cara pengoptimalan itu dapat ditempuh dengan jalan: mengaktifkan motivasi, memberitahu tujuan-tujuan belajar, mengarahkan perhatian, merangsang ingatan, menyediakan bimbingan, melancarkan retensi, melancarkan transfer belajar dan memperlihatkan penampilan pemberian umpan balik.

Pembelajaran menurut terapan teori kognitif dapat dilakukan dengan langkah-langkah: memulai dari sederhana ke yang kompleks, dari yang konkrit ke yang abstrak, dari umum ke khusus, dari yang sudah diketahui kepada yang belum diketahui, menggunakan prinsip induksi ke deduksi dan ditopang oleh penguatan (reinforcement).

 

c. Pola Belajar Pemecahan Masalah

Beberapa peneliti telah mengembangkan model umum untuk menjelaskan proses pemecahan masalah seperti yang dilakukan Newell & Simon, 1972; Polya, 1957; Bransford & Stein, 1984 (Foshay & Kirkley, 2003:3).

Asumsi yang mereka pakai bahwa dengan belajar sesuatu yang abstrak (decontextualized) kecakapan pemecahan masalah merupakan satu-satunya kecakapan yang dapat ditransfer untuk berbagai situasi lain (context).

Komponen terpenting dari teori Newell & Simon, bahwa identifikasi dari karakteristik dasar proses informasi mempengaruhi pemecahan masalah. Dengan demikian kinerja dari kemampuan pemecahan masalah dipengaruhi oleh kapasitas, ketersediaan waktu, kecepatan pemanggilan kembali dalam memori jangka pendek dan memori jangka panjang.                                                                               

Bransford & Stein (1984:11) mengembangkan model tersebut dan disebut dengan model pendekatan IDEAL. IDEAL adalah akronim dari komponen-komponen model: (1) Identifying problems, (2) Define and represent the problem, (3) Explore possible strategies, (4) Act on the strategies, dan (5) Look back and evaluate the effects of your activities. IDEAL dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan pengambilan keputusan. Dalam terapannya kelima komponen dari kerangka kerja IDEAL ini akan selalu dilibatkan dalam siklus kegiatan pemecahan masalah.

Di lain pihak Polya mengembangkan prosedur pemecahan masalah atas dasar hakekat kemampuan memecahkan masalah sebagai suatu proses. Menurut Polya (1957) ada empat tahap proses pemecahan masalah yang dapat dibentuk dan dikembangkan. Pertama, pemahaman (understanding the problem) pada masalah. Kedua, pembuatan rencana (devising a plan); Ketiga, pelaksanaan rencana (carrying out the plan); Keempat, penilaian kembali (looking back).

Belle Wallace dan Harvey B. Adams,1993 (Wallace & Bentley, 2002:7) telah berhasil mengadopsi cara-cara refleksi, kaji ulang, dan percobaan penggunaan strategi pemecahan masalah yang dipublikasikan dengan akronim TASC (Thinking Actively in a Social Context). TASC menunjukkan kerangka kerja pengembangan berpikir (thinking) dan kurikulum pemecahan masalah (problem-solving curriculum). Komponen-komponen utama dari ajaran TASC adalah: (1) Berpikir (Thinking), (2) Aktif (Actively), (3) Sosial (Social), dan (4) Latar (Context). Temuannya yang penting adalah, bahwa pebelajar dapat belajar dengan baik ketika mereka dapat mengidentifikasikan diri dengan permasalahan-permasalahan kehidupannya sendiri sehingga memiliki makna bagi kehidupannya.

Model pemecahan masalah begitu komplek melibatkan aspek kognitif, tingkahlaku, dan komponen sikap (Foshay & Kirkley, 2003:4), sehingga  dapat didefinisikan sebagai proses yang terdiri dari banyak tahapan. Mayer (1983) menyatakan, bahwa pemecah masalah harus menemukan keterkaitan antara pengetahuan yang telah dimiliki (skemata) dan masalah yang dihadapi, kemudian baru dapat mengambil tindakan sebagai suatu penyelesaian (Foshay & Kirkley, 2003:4). Karena itu karakteristik pemecahan masalah merupakan: (1) pengetahuan yang diinferensikan dari tingkahlaku; (2) hasil pemecahan masalah berupa tindakan yang mengarah ke pemecahan masalah; (3) proses yang melibatkan manipulasi atau operasi pada pengetahuan yang didapat sebelumnya.

Model Gick,1986 (Foshay & Kirkley, 2003:4)  pada halaman berikut ini merupakan model yang sering digunakan untuk pemecahan masalah. Dalam model Gick (1986) terdapat tiga urutan dasar kegiatan proses kognitif dalam pemecahan masalah: (1) menunjukkan masalah (represent problem), yakni mengingat kembali konteks pengetahuan yang sesuai, mengidentifikasi tujuan dan memulai kondisi yang cocok dengan masalah; kemudian (2) mencari solusi (solution search), yakni memperjelas tujuan dan mengembangkan rencana tindakan untuk mencapai tujuan; dan (3) implementasi solusi (implement solution), yakni melaksanakan tindakan yang telah direncanakan dan mengevaluasi hasilnya.

                 Recall solution

 

 


                                                                                                    

 

 

 


                                                                                                     Succeed

Flowchart: Alternate Process: Stop

                                                                   

                                                                          Fail                                                                              

 

Gambar 2

Model Proses Pemecahan Masalah

Menurut Gick (1986) diadaptasi dari Foshay & Kirkley (2003:4)

 

Bagi pebelajar yang sadar menghadapi masalah mirip dengan yang sudah pernah dipecahkan, prosedurnya cukup mengulang tindakan solusi yang sama (recall solution). Dalam kenyataan banyak masalah sifatnya kompleks sehingga prosedur pemecahannya menuntut tahapan dan siklus yang sama dengan bagan dalam gambar. Dalam kasus demikian pebelajar akan mengurai masalah menjadi tujuan-tujuan antara dan satu-persatu dari tujuan antara dipecahkan mengikuti siklus dari proses tersebut.

Proses perubahan dari pemecahan masalah yang terkecil, ke tujuan menengah, dan besar; akhirnya diperoleh pemecahan akhir merupakan contoh dari urutan berpikir tingkat tinggi atau dikenal dengan strategi kognitif. Inilah yang oleh Gagne,1985 (Foshay & Kirkley 2003:5) definisi pemecahan masalah dikatakan sebagai refleksi dari prinsip-prinsip tersebut dan karenanya kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu dari kecakapan berpikir tingkat tinggi. Pemecahan masalah didefinisikan sebagai : “... the synthesis of other rules and concepts into higher order rules which can be applied to a constrained situation”.

           Di samping merupakan kecakapan berpikir tingkat tinggi, pemecahan masalah juga melibatkan komponen sikap berupa keinginan untuk bekerja yang diikuti keyakinan untuk itu. Motivasi dan aspek-aspek sikap seperti usaha, keyakinan, kecemasan, kegigihan dan pengetahuan tentang diri kesemuanya menentukan bagi proses pemecahan masalah; hal ini sejalan dengan pendapat Jonassen dan Tessmer, 1996 (Foshay & Kirkley, 2003:5).        Pendekatan pemecahan masalah tidak cocok dan tidak efektif untuk mengajarkan sesuatu yang abstrak (DeBono, 1983; Beyer, 1984 dikutip Foshay & Kirkley, 2003:5). Pengajaran seperti ini tidak memberi efek penguasaan yang berbeda diantara pemecah masalah yang bagus dan yang tidak bagus. Disimpulkan  bahwa pengetahuan tentang konteks masalah merupakan sesuatu yang kritis dalam kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah merupakan sesuatu yang situasional dan tergantung pada batas-batas menurut konteks, prosesnya tergantung pada kedalaman dari struktur pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang (Palumbo, 1990 dalam Foshay & Kirkley, 2003:5). 

Esensi pengajaran pemecahan masalah yang autentik bila diajarkan pada situasi yang nyata. Pebelajar akan belajar memecahkan masalah, dan hanya akan dapat menggunakan kemampuan ini pada situasi lain yang mirip jika ia sudah pernah berhasil melakukan tindakan itu dengan strateginya, meskipun konteksnya berbeda. Ia akan berhasil jika ada dukungan serta memiliki struktur berpikir yang tepat. Kemampuan ini disebut transfer belajar dan merupakan kemampuan yang sulit. Mahasiswa dalam belajar Akuntansi acapkali gagal menguasai kemampuan transfer seperti ini.

Hayes (Henson & Eller, 1999:344) menunjukkan metodologi dalam pembelajaran pemecahan masalah yang terdiri dari: (1) finding the problem; (2) representing the problem; (3) planning the solution; (4) carrying out the plan for the solution; (5) evaluating the solution; dan (6) consolidating gains. Pada kesempatan lain Hayes (Solso, 2004:455) menyarankan lagi bentuk-bentuk stereotip urutan tindakan kognitif untuk pemecahan masalah terdiri dari (1) identifying the problem, (2) representation of the problem, (3) planning the solution, (4) execute the plan, (5) evaluate the plan; dan (6) evaluate the solution.

Keterampilan berpikir yang penting dalam pengembangan kemampuan individu mahasiswa dalam pemecahan masalah diidentifikasi ada 7(tujuh) macam, yakni (1) understand/formulate the question in a problem, (2) understand the conditions and variables in the problem, (3) select or find the data needed to solve the problem, (4) formulate subproblems and select appropriate solution strategies to pursue, (5)correctly implement the solution strategy or strategies and solve subproblems, (6) give an answer in terms of the data in the problem, dan (7) evaluate the reasonableness of the answer (Charles, Lester dan O’Daffer,1994:7-9)

Dillard dkk., 1982 (Suharsono, 1991:18) telah mengembangkan empat tahapan langkah prosedural untuk memecahkan masalah-masalah dalam disiplin Akuntansi, menurut pola struktur kerja sistem pemrosesan informasi dalam memori. Proses kerja itu mengikuti tahapan: (1) memahami dan menentukan jenis masalah; (2) memanggil (retrieving) unsur-unsur masalah yang telah tersimpan dalam memori; (3) memberikan rumusan pemecahan yang diajukan, berdasarkan standar pencapaian sasaran yang telah ditetapkan; untuk kemudian (4) membetulkan kesalahan yang dibuat, pindah ke masalah berikutnya, atau berhenti sampai pada langkah tertentu bila seluruh elemen pokok sudah dapat terpecahkan. Secara visual dapat diamati dari gambar bagan berikut.

Bagan tersebut merupakan pola umum tentang bagaimana seorang pemula (novice) memecahkan masalah di bidang Akuntansi Keuangan, pola itu disebut dengan KO (knowledge organization). Aspek-aspek PNP, ANP, dan IBP merupakan tahapan proses transformasi informasi keuangan ke dalam bentuk komponen-komponen tertentu sesuai dengan sistem Akuntansi yang dianut oleh Badan Usaha atau lembaga pemakai sistem itu. KO telah digunakan oleh Suharsono (1991) untuk mengembangkan pola dasar struktur pembelajaran pemecahan masalah bidang Akuntansi dengan model “pola struktur kegiatan belajar-mengajar melalui preskripsi ditambah balikan dosen secara lisan”.

 

 

 

 

Item Blok Pokok

(IBP)

 

 

 

 

Memahami Masalah

 

Algoritmik Nilai Perkiraan

(ANP)

 

Jawaban Pemecahan

 

 

 

 

 

 

Penetapan Nilai Perkiraan

(PNP)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar: 3

Organisasi Pemecahan Masalah Akuntansi Sebagai Suatu Proses

Adaptasi dari Dillard dkk., 1982 (Suharsono, 1991:19)

 

Pola dasar yang dikembangkan terdiri dari 7(tujuh) komponen yakni : (1) orientasi, (2)tujuan pembelajaran, (3) penyajian informasi, (4) asimilasi prosedur, (5) latihan, (6) balikan, dan ditambah dengan prekripsi evaluasi berupa (7) pretes dan postes.

Cara kerja model tersebut menggunakan sampel bahan belajar pemecahan masalah. Terdapat 10(sepuluh) sampel materi pemecahan masalah yang dikaji berkaitan dengan (1) bidang pembelian, (2) penjualan, (3) beaya perlengkapan, (4) hutang dan beaya pajak, (5) gaji dan beaya umum, (6) iklan dan promosi, (7) penyusutan aktiva, (8) penyusutan tagihan dagang, (9) beaya bunga, dan (10) penghasilan bunga.

Pola prosedur pemecahan masalah yang lain di antaranya diajukan oleh Klein (2002:355-360) dengan tahapan (1) defining the problem, (2) a strategy for solving problem, (3) execution of the strategy, (4) the problem solved. Pada tahap pendefinisian masalah ada dua hal pokok yang harus dilakukan, yakni identifikasi kebutuhan untuk operasi atau tindakan pemecahan masalah dan mengenali pembatas atau kendala yang terjadi jika tindakan pemecahan masalah dilakukan.

Berdasarkan hal itu maka masalah ada yang  mudah didefinisikan (well-defined) dan ada yang samar atau kabur (ill-defined) (Jonassen, 1997 dalam Silber, 2002:32). Masalah yang well-defined jika prosedur pemecahan dari mulai hingga akhir mencapai tujuan sudah jelas dapat diidentifikasi, sementara yang belum jelas disebut dengan masalah  yang ill-defined. Mengubah masalah ill-defined menjadi well-defined perlu melakukan elaborasi menjadi sub-sub masalah yang dapat ditangani (Simon, 1973), dan membuat kategori tingkatan kerumitan dari sub-sub masalah tersebut menjadi pernyataan sub-sub masalah yang well-defined (Wessels, 1982).

Dalam strategi pemecahan masalah ada dua pendekatan yakni ‘an algorithm’ dan ‘a heuristic is a best guess or rule of thumb solution’. Algorithma adalah aturan-aturan yang tepat digunakan untuk memecahkan masalah yang spesifik; sedangkan strategi heuristik merupakan semacam dugaan yang terbaik  atau potong kompas (cognitive shortcuts to problem) sehingga dilihat dari ketepatannya masih mengandung resiko kegagalan,  demikian klasifikasi oleh Amos Kahneman & Daniel Tversky (Klein, 2002:359). Dalam kasus ini ada dua cara bisa dilakukan yakni melacak balik cabang masalah (working-backward heuristic) dan means-end analysis (pendekatan heuristik yang sistematis, memecah masalah menjadi sub-sub masalah kemudian tiap sub-masalah dipecahkan), inilah strategi yang dikenalkan Medin & Ross, 1997 (Klein, 2002:359).

Selain kedua macam pendekatan heuristik tersebut, ada yang lain yakni strategi representatif (representativeness strategy) dan strategi yang tersedia (availability strategy). Strategi yang representatif termasuk pendekatan heuristik tetapi yang mengandalkan pendapat (judgment) hanya pada masalah yang karakteristiknya sudah jelas. Pendekatan ini seringkali diterapkan tetapi untuk kasus masalah yang pemecahannya tidak masuk di akal, sebagaimana dilaporkan oleh Kahneman & Tversky, 1972, 1973 (Klein, 2002:359). Strategi yang tersedia akan dipilih untuk diterapkan jika informasi masalahnya bisa dibaca dan dapat dipikirkan (Levi & Pryor, 1987; Klein, 2002:360).

Langkah berikutnya adalah pelaksanaan strategi pemecahan masalah (execution of the strategy). Langkah terakhir adalah menentukan alternatif pemecahan yang akurat (the problem solved). Seringkali sulit untuk mengetahui apakah alternatif pemecahan yang akurat benar adanya dapat memecahkan masalah, untuk itu perlu dilakukan koreksi ulang melihat pada tahapan-tahapan sebelumnya.

Ada dua alasan penting untuk melakukan koreksi ulang, pertama bahwa jika memang benar pilihannya maka dapat mengungkap masalah dan tujuan tercapai; kedua, gagal atau sukses dalam mencoba memecahkan masalah memberi pengaruh terhadap tindakan pendekatan pemecahan masalah berikutnya mungkin semakin efektif, tetapi juga bisa semakin tidak efektif jika menderita gagal lagi.

Berpijak dari pendekatan heuristik untuk mengembangkan kemampuan kognitif pemecahan masalah melalui latihan,  Silber (2002:32) mengajukan model dengan 5(lima) proses tugas belajar, terdiri dari (1) memilih informasi yang akan dilibatkan, (2) menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, (3) mengorganisasikan informasi, (4) mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam struktur pengetahuan yang sudah ada, dan (5) memperkuat pengetahuan baru dalam memori.

Setelah mengkaji berbagai pola prosedur pemecahan masalah  tersebut tampak adanya kemiripan pola dalam pemecahan masalah. Upaya pemecahan masalah berlangsung tahap demi tahap mengikuti alur kerja sistem pemrosesan informasi.

Jika dirangkum tahapan proses itu mengikuti alur kerja yang berpola dasar dimulai dari (1) proses perolehan pemilihan dan pemahaman terhadap informasi baru, (2) menghubungkan informasi baru dengan struktur pengetahuan dalam memori, (3) pengorganisasian informasi, (4) asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur pengetahuan yang sudah ada, dan (5) memperkokoh pengetahuan baru ke dalam memori.

Melalui tahapan proses alur kerja tersebut terbentuk struktur kognitif yang baru pada diri pebelajar. Struktur kognitif baru ini kemudian disimpan dalam memori jangka panjang, yang pada saat pebelajar menghadapi persoalan baru akan dipanggil kembali untuk sarana pemecahan masalah.

Dari kesimpulan proses ini timbul pertanyaan bagaimanakah pola pemecahan masalah untuk bidang Akuntansi yang harus dikembangkan dalam penelitian ini? Untuk itu perlu dijelajahi substansi masalah dalam bidang Akuntansi dan kemudian baru dapat dipreskripsikan pola struktur pemecahan masalah sebagai substansi inti dari pembelajaran Akuntansi.

 

d. Substansi Masalah Dalam Bidang Akuntansi

Pengetahuan pada disiplin Akuntansi didominasi oleh pola struktur prosedural (prosedural knowledge), pemecahan masalah dalam bidang Akuntansi didasarkan pada proses alur kerja operasi pemrosesan informasi dalam memori si pemecah masalah.           Tujuan akhir dari pengembangan disiplin Akuntansi menurut AECC, 1992 (Huang, O’shaughnessy & Wagner, 2005:283) adalah memenuhi fungsi komunikasi dan pengembangan informasi yang mendukung pengambilan keputusan dalam perekonomian.

Untuk dapat mengembangkan kemampuan itu, setiap orang yang bekerja atau terlibat dalam bidang Akunting memerlukan sejumlah informasi yang berkaitan dengan hasil-hasil pengukuran terdahulu, berikut sejumlah prosedur yang bisa dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses penyesuaian kembali nilai transaksi keuangan yang ada, agar informasi yang diberikan sesuai dengan apa yang seharusnya ada.

Akan tetapi, apapun jenis dan bentuknya, informasi keuangan yang disajikan tunduk pada “konstruk dasar” yang telah disepakati sebagai domain bidang disiplin Akuntansi. Konstruk dasar itu oleh Hermanson, Edwards dan Salmonson (1989:23) digambarkan dalam persamaan berikut:

       Harta            =         Hutang          +         Modal

       (Assets)             (Liabilities)                      (Owner’s Equity)

 

           Dari persamaan dasar tersebut, masing-masing komponen dielaborasi menjadi lima sub komponen, yaitu harta tetap dan harta lancar, hutang jangka pendek dan jangka panjang, serta modal atau kekayaan pemilik perusahaan. Dari sub-sub komponen itu suatu sistem Akuntansi kemudian dikembangkan sesuai dengan jenis dan volume transaksi keuangan yang ada.

           Ragam transaksi keuangan yang mengandung unsur kemampuan pemecahan masalah adalah transaksi keuangan yang mengubah komposisi dan jumlah dari masing-masing komponen persamaan dasar Akuntansi: Harta = Hutang + Modal.   

           Perubahan akibat transaksi itu ragamnya ada yang hanya mengubah jumlah dan komposisi pada salah satu komponen saja di antara Harta, Hutang dan Modal, tetapi ada juga yang mengubah jumlah dan komposisi pada dua atau tiga komponen sekaligus dalam persamaan dasar Akuntansi. Hermanson, Edwards dan Salmonson (1989:25-34)  mengidentifikasi jenis-jenis transaksi antara lain:

a.      Transaksi yang mempengaruhi jumlah dan komposisi pada salah satu komponen persamaan dasar Akuntansi; terdiri dari: (1) investasi tunai dari pemilik (Owner invested cash); (2) pinjam dana (borrowed money); (3) pembelian peralatan tunai (purchased equipment for cash); (4) pembelian peralatan dengan kredit (purchased equipment on account) atau (for-Credit).

b.      Transaksi yang mempengaruhi jumlah dan komposisi neraca dan komponen persamaan dasar Akuntansi; terdiri dari: (1) pendapatan jasa dan penerimaan kas tunai (earned service revenue and received cash);(2) piutang pendapatan jasa (service revenue earned on account) atau (for Credit);(3) penerimaan piutang tunai (collected cash on accounts receivable);(4) pembayaran upah (paid wages);(5) pembayaran biaya sewa (paid rent);(6) penerimaan bukti utang untuk keperluan bahan bakar dan minyak (received bill for gas and oil used).

Masing-masing jenis transaksi ini merupakan bahan pemecahan masalah, yaitu jenis materi belajar prosedural dan prinsip dasar yang harus dikuasai oleh pebelajar untuk dapat memperoleh kompetensi dan ketuntasan dalam belajar Akuntansi Jasa maupun Akuntansi Keuangan secara keseluruhan.

Substansi masalah yang lain adalah sehubungan dengan adanya ketentuan dalam hukum dagang bahwa setiap Badan Usaha harus membukukan kegiatan usahanya, dan menyusun laporan keuangan pada akhir tahun buku. Ketentuan ini menimbulkan usansi menumpuknya masalah akuntansi dan penyelesaiannya berada di akhir tahun pada siklus Akuntansi.

Produk informasi akuntansi yang harus dihasilkan oleh manajemen untuk memenuhi tuntutan hukum dagang itu berupa laporan keuangan yang isinya terdiri dari Neraca, Laporan Rugi-Laba, Penjelasan atas Laporan Rugi-Laba dan Penjelasan atas Perubahan kekayaan bersih atau perubahan modal.

Laporan keuangan harus berisikan apa yang seharusnya ada pada saat laporan dikeluarkan (accrual basis). Sementara itu, bukti-bukti atau data kegiatan usaha dibuat atas dasar apa yang sebenarnya ada pada saat kejadian berlangsung (cash basis). Pada setiap akhir periode perlu proses penyesuaian atas hasil-hasil pengukuran terdahulu melalui kadiah dan prosedur tertentu dan benar, sesuai norma pemeriksaan Akuntan yang berlaku umum.

Realitanya dalam proses perkembangan usaha, perusahaan cenderung untuk menangguhkan pembayaran atas beaya-beaya tertentu dan mempercepat proses penerimaan penghasilan tertentu. Pos-pos penangguhan pembayaran pada umumnya dilakukan atas pajak penghasilan kepada pemerintah, beaya pemakaian tenaga kerja, gaji karyawan, beaya iklan dan promosi, serta pemakaian jasa fihak ketiga. Untuk itu maka rekening “beaya” terutang harus dibuka sebagai perkiraan hutang antara (accrued liabilities) untuk kemudian dikredit sebagai penambah kerugian tahun berjalan. Akan tetapi apabila penundaan terjadi pada penerimaan jasa atau penghasilan tertentu, maka perkiraan harta antara (accrued assets) harus dibuka dan didebet dengan nilai yang sama dengan tambahan penghasilan tahun yang berjalan untuk ini.

Fenomena transaksi lain yang harus diperhitungkan adalah adanya beban yang telah dibayar dalam siklus berjalan, namun seharusnya dipakai untuk beban beaya operasi tahun yang akan datang. Kasus itu umumnya terjadi pada persekot pembayaran pajak penjualan, persediaan beaya perlengkapan usaha, dan bunga atas hutang-hutang wesel dagang. Untuk itu, maka sejumlah nilai yang belum dipakai dipindahkan ke dalam kelompok perkiraan harta (tagihan) melalui ayat jurnal penyesuaian.

Pada akhir periode itu seluruh masalah yang ada harus diselesaikan serentak pada saat yang sama, pemecahannya harus dilakukan secara integratif dengan melihat keterkaitan sub-sub komponen sistem sebagai satu kesatuan.

Di bidang Akuntansi, kasus yang penyelesaiannya memerlukan kemampuan berpikir integratif itu adalah kasus yang ada pada saat penyusunan Neraca Lajur. Kemampuan berpikir integratif pada kasus penyusunan Neraca Lajur, jika dipecah menjadi sub masalah maka kemampuan prasyaratnya bermuara semenjak pemecahan masalah persamaan dasar akuntansi, penjurnalan transaksi, posting buku-besar, rekapitulasi buku besar untuk memperoleh neraca percobaan, proses pengecekan kebenaran mutasi masing-masing rekening buku-besar dengan neraca saldo, posting ayat jurnal penyesuaian, perhitungan neraca saldo perbaikan dan akhirnya penyelesaian laporan keuangan, dan ditindak lanjuti proses tutup rekening buku-besar, jurnal balik dan buka kembali rekening buku-besar awal tahun.

Semua sub masalah tersebut kedalaman isi materinya bermuara pada pengklasifikasian jenis rekening menurut tingkat kelancaran pencairan dana untuk sisi aktiva, dan menurut tingkat percepatan pemenuhan kewajiban untuk sisi pasiva. Kode rekening buku-besar menunjukkan peranan penting tentang hal ini. Secara garis besar maka pada sisi aktiva dipilahkan sub masalah menjadi masalah tentang akuntansi aktiva lancar versus aktiva tidak lancar (aktiva tetap), pada sisi pasiva dikenal sub masalah tentang akuntansi untuk kewajiban jangka pendek versus jangka panjang, dan masalah tentang prive serta perubahan modal atau ekuitas.

Berpijak pada komponen dan aspek masalah tersebut, untuk mengungkapkan kemampuan menggunakan prosedur pemecahan masalah dalam penelitian ini dikembangkan 7(tujuh) perangkat materi pembelajaran yang berjenjang dari aplikasi konsep pencatatan secara berpasangan (double entry recording), hingga pada aplikasi kemampuan pada “proses penyusunan laporan keuangan melalui Neraca Lajur”.

Pokok persoalan yang dipakai sebagai dasar pengukuran perkembangan kemampuan menemukan prosedur pemecahan masalah adalah perkembangan kemampuan penguasaan menggunakan prosedur pemecahan masalah sebagai hasil belajar pengenalan pola dan perkembangan kemampuan menemukan prosedur baru pemecahan masalah sebagai hasil belajar urutan tindakan dalam pemecahan masalah kasus-kasus Akuntansi sesuai dengan tingkat kerumitan masalah mulai dari kasus yang sederhana hingga yang kompleks.

Antar kaitan kedua jenis kemampuan yang dimaksud berikut pemilihan topik bahasannya di bidang Akuntansi dibahas lebih lanjut pada analisis tugas belajar yang dituangkan dalam preskripsi sampel program pembelajaran.

Aspek-aspek yang harus diperhatikan menurut para ahli psikologi dalam menggunakan pendekatan pemecahan masalah dalam kelas (Henson & Eller, 1999:346) adalah (1) bagian awal (the initial state), yaitu situasi dan kondisi ketika masalah diidentifikasi, (2) bagian menengah (the intermediate state), yakni ketika pebelajar memulai melakukan proses pemecahan masalah, dan (3) bagian tujuan akhir (the goal state), yakni hasil pemecahan masalah yang dicari.

Dalam konteks ini National Center for Research on Evaluation, Standards, and Student Testing (CRESST) (1998:2) telah memformulasikan lima macam jenis pembelajaran proses kognitif (the five families of learning) yang diprakarsai oleh Baker (1995) yakni pembelajaran (1) pemahaman isi (content understanding), (2) kolaboratif (collaborative), (3) komunikasi (communication), (4) pemecahan masalah (problem solving), dan (5) metakognitif (metacognitive).

Penggolongan tersebut didasarkan pada pengaruh tingkat keterlibatan pebelajar dalam kerjasama terhadap keseluruhan pembelajaran. Terkait dengan kebutuhan informasi untuk pengembangan struktur kognitif dan pengaruh lingkungan teknologi informasi, bentuk belajar kolaboratif merupakan salah satu pola belajar pemecahan masalah yang dapat dipertimbangkan sebagai unsur pengembangan.

Beberapa keuntungan pola ini (Klein, O’Neil & Baker, 1998:5) antara lain: (1) mempercepat pemahaman dan pendalaman pengertian, semakin tinggi tingkat harga diri, sikap terhadap kawan, keterampilan sosial (Webb, 1995; Webb & Palincsar, 1996), (2) kelompok dapat belajar untuk siap kerja, di mana keterampilan interpersonal dan kerja tim disadari sebagai faktor penentu kesiapan kerja di masa datang (o’Neil, Allred, & Baker, 1997), (3) peneliti di bidang pendidikan, industri dan militer telah mengakui bahwa kerjasama dapat meningkatkan belajar, unjuk kerja tugas, produktivitas kerja, dan kualitas hasil, (4) di lingkungan kerja, kerja tim berpotensi untuk meningkatkan daya kompetisi anggota dalam kerja tim.

Dalam kerja tim mahasiswa dapat belajar dua keterampilan, yakni (1) keterampilan kerja tugas (taskwork skills), dan (2) keterampilan kerja dalam tim (teamwork skills).

Setelah mengkaji beberapa pendapat dan eksemplar tentang prosedur dan tahapan pemecahan masalah, dapat disimpulkan bahwa dengan mempertimbangkan eksemplar pola dasar pemecahan masalah sekurang-kurangnya terdapat tiga fase pokok yang harus dilalui seseorang untuk memecahkan suatu masalah. Sedangkan informasi pada awal kegiatan belajar, dan pengetahuan hasil belajar terdahulu, merupakan prasyarat bagi pembentukan struktur kognitif dalam memori, tempat mengintegrasikan apa yang didapatkan melalui ketiga fase pemecahan masalah itu menjadi suatu bentuk kemampuan baru. Dalam konteks ini peranan lingkungan dalam belajar kolaboratif dapat mendukung pembentukan struktur kognitif yang lebih efektif dan efisien.

           Berlandaskan pada pola pemecahan masalah model Gick, 1986; Silber, 2002 dan memperhatikan substansi masalah dalam bidang Akuntansi, serta penentu pengembangan kompetensi akuntansi sebagaimana yang dinyatakan Libby & Luft (1993:433), maka dalam pengembangan ini dipreskripsikan struktur pola dasar pendekatan pemecahan masalah. Selain itu, preskripsi pengelolaannya perlu mempertimbangkan faktor lingkungan yang dikondisikan menurut lingkungan belajar kolaboratif  (collaborative learning environtment) sebagaimana yang telah dikaji oleh (Klein, O’Neil & Baker, 1998:5).

Bagan pada gambar berikut menampilkan komponen dan tahap-tahap pola dasar struktur kegiatan proses pemecahan masalah yang dipreskripsikan.

Lingkungan Belajar Kolaboratif

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

             

 

                     Pemanggilan Kembali Solusi

 

 


Flowchart: Alternate Process: Pencarian Solusi
Menghubung-kan Informasi dengan Memori
	Organisasi Informasi
	Assimilasi Prosedur

Flowchart: Alternate Process: Latihan, Jawaban Pemecahan, Penguatan Memori

Rounded Rectangle: Pemilihan dan Pemahaman Informasi

 

 

                                                                                                    

 

                                                                                                             

                                                                                                                                                                                 

Berhasil

                                                                             

Flowchart: Alternate Process: BerhentiFlowchart: Alternate Process: Umpan Balik                                                                                 Gagal                                                                                 

                                                                                        

Lingkungan Belajar Kolaboratif

                                                                                  

 

Gambar 4

Preskripsi Pola Dasar Struktur Kegiatan

Proses Pemecahan Masalah Bidang Akuntansi

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya terdapat tiga fase utama yang dilalui dalam struktur pola dasar proses pemecahan masalah, ditambah kegiatan umpan balik. Informasi pada awal kegiatan belajar, dan pengetahuan hasil belajar terdahulu merupakan prasyarat bagi terbentuknya struktur kognitif dalam memori sebagai tempat untuk berlangsungnya asimilasi prosedur sehingga menjadi pengetahuan dan kemampuan baru.

 

3. Karakteristik Pembelajaran Konvensional Pengajaran Akuntansi.

Dalam konteks ini yang dimaksud pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berpusat pada dosen. Bermula dosen menyajikan uraian dengan ceramah diikuti sajian contoh-contoh parsial dari prosedur kasus tertentu. Dalam kegiatan itu mahasiswa mendengar, menyimak dan mencatat, atau bertanya jika kurang atau belum memahami obyek yang dibahas. Dosen menjawab pertanyaan dan kemudian diikuti dengan latihan kerja mandiri sebagai umpan balik. Pada tahap satu satuan unit pembelajaran tertentu purna, dosen memberikan tugas resitasi individual dan hasilnya dilaporkan sebagai bagian kegiatan kuliah terstruktur. Dosen akan memberikan gradasi nilai untuk komponen tugas sebagai bagian dari penilaian akhir matakuliah. Strategi pembelajaran konvensional berpusat pada dosen, sehingga materi pengajaran disampaikan langsung oleh dosen (direct instruction).

Mursell (1954:23) menguraikan bentuk penyajian pengajaran konvensional yang terdiri dari (1) semua bahan yang dipelajari dibagi-bagi dalam kelompok kecil yang disebut unit; (2) sebelum suatu pelajaran diuraikan lebih lanjut, diberikan secara garis besar kepada  pebelajar;  (3) pengajar  memberi tugas kepada pebelajar; (4) tugas utama pengajar dalam kelas adalah meneliti apakah tugas-tugas itu dikerjakan oleh pebelajar; (5) teknik yang digunakan kebanyakan hafalan.

Dalam pembelajaran Akuntansi, bentuk penyajian materi yang menggunakan strategi konvensional dimulai dari penyampaian tujuan pembelajaran, menguraikan materi, menyajikan contoh beserta penyelesaiannya, memberi kesempatan kepada pebelajar untuk bertanya, memberikan penjelasan terhadap pertanyaan pebelajar, memberikan latihan soal, penyelesaian soal bersama-sama dosen dan pebelajar, dan kemudian diakhiri dengan pemberian tugas atau resitasi individual untuk dikerjakan di rumah. Secara garis besar urutan kegiatan pembelajaran konvensional tampak sebagaimana pada gambar diagram berikut.

Merumuskan Tujuan Pembelajaran

 

Melakukan

Tanya Jawab

 
 

 


 

 

Menginformasikan Tujuan Pembelajaran

 

Memberikan

Soal Latihan

 
 


                                                                                                    

 

Menyampaikan Materi Pembelajaran

 

Menjawab Soal Latihan Bersama-sama Pebelajar

 
 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 5

Diagram Sintak Pembelajaran Konvensional

                                                                                  

Dari paparan di atas dapat dipahami  bahwa yang dimaksud dengan pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang tahap-tahap dalam penyajian materi sebagian besar alokasi waktu digunakan oleh dosen dalam mengajar. Materi kuliah disampaikan secara konvensional dengan aktivitas mengajar berpusat pada dosen dengan mengutamakan kegiatan ceramah dan tanya jawab kepada masing-masing individu tidak dalam kegiatan kelompok. Sebaliknya kegiatan mahasiswa pada umumnya menggunakan waktu untuk mendengarkan ceramah tentang uraian materi dari dosen.  Mahasiswa belajar dan bekerja secara individu.                             

 

4. Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Konvensional

Keunggulan strategi pembelajaran konvensional adalah: (1) memberikan keuntungan bagi dosen atau program pembelajaran yang lebih menekankan pada pencapaian target materi, karena materi cepat tersampaikan kepada pebelajar; (2) dapat digunakan pada pembelajaran yang diikuti oleh mahasiswa dalam jumlah besar; (3) mudah dilaksanakan, karena tanpa panduan yang harus dipersiapkan secara khusus; (4) dapat diterapkan pada materi yang lebih banyak fakta dan konsep hafalan.

Kelemahannya adalah: (1) kurang memberikan kesempatan bagi berkembangnya kreativitas mahasiswa; (2) kurang mendorong sikap kemandirian mahasiswa; (3) cenderung menumbuhkan sikap pasif pada diri mahasiswa; (4) kurang menumbuhkan sikap solidaritas antar mahasiswa.

 

B. Strategi Pengorganisasian Isi Pembelajaran

Pengorganisasian isi pengajaran menentukan hasil pembelajaran. Dalam strategi pengorganisasian isi dikenal strategi tingkat mikro dan makro. Pada tingkat mikro lebih cenderung orientasi pada anlisis isi dan tugas: (1) prasyarat belajar atau herarkhi belajar (Robert Gagne, 1968, 1977), dan (2) pendekatan proses informasi terhadap analisis tugas (Bergan, 1980).

Keterbatasan pengorganisasian isi pada tingkat mikro kemudian mendorong pemikiran kepada analisis untuk keseluruhan isi bidang studi pada tingkat makro. Gropper, 1974; Landa, 1974; P. Merill, 1971; Resnick, 1973; dan Scandura,1973. (Regeluth & Stein, 1983:339).

Pengorganisasian tingkat makro mencakup analisis isi, tugas menurut urutan pengajaran, dan proses informasi serta penataan menurut pendekatan elaborasi kognitif.

 

1. Karakteristik Isi Pengetahuan Untuk Pengajaran Akuntansi

Karakteristik isi pengetahuan untuk pengajaran Akuntansi dapat dibagi menjadi 3(tiga) yakni (1) struktur orientasi, (2) struktur pendukung, dan (2) struktur ganda (Reigeluth, 1983:348-349).  Struktur orientasi mencakup semua atau sebagian besar isi bidang studi yang akan disajikan. Struktur pendukung merupakan struktur isi bidang studi yang berfungsi sebagai pelengkap untuk memfasilitasi kegiatan belajar. Struktur ganda merupakan gabungan antara kedua struktur yang disebut sebelumnya.

 

a. Jenis Pengetahuan

Secara umum pengetahuan dapat diklasifikasi menjadi 4(empat) macam, yakni (1) fakta, terdiri dari pengetahuan tentang definisi dan rincian atau elemen-elemen pengetahuan; (2) konsep, terdiri dari klasifikasi atau kategori, prinsip, dan pengetahuan tentang teori, model dan struktur; (3) prosedur, terdiri dari pengetahuan tentang keahlian tertentu dan algoritma, pengetahuan tentang teknik dan metode tertentu, pengetahuan tentang kreteria untuk memutuskan kapan prosedur tepat digunakan; (4) metakognitif, terdiri dari strategi pengetahuan, pengetahuan tentang tugas kognitif termasuk pengetahuan konteks dan kondisi, dan pengetahuan diri sendiri (Anderson, 2003:34).

Representasi pengetahuan dalam taksonomi sistem memori menurut Squire (1986) dan Squire et al. (1990) dilaporkan Solso (2001:284) diklasifikasi menjadi pengetahuan deklaratif (declarative) dan nondeklaratif (nondeclarative). Pengetahuan deklaratif terdiri dari fakta semantik (semantic facts) dan peristiwa episodik (episodic events); sedangkan untuk pengetahuan nondeklaratif terdiri dari kecakapan (skills), prioritas/keutamaan (priming), disposisi (dispositions), non-asosiasi (nonassociative) atau tipe memori yang lain.

Bentuk penyajian informasi sebagai pengetahuan berupa: proposisi, produksi dan gambaran mental (Dahar, 1989:49). Proposisi menyajikan pengetahuan deklaratif. Sedangkan produksi menyajikan pengetahuan prosedural. Gambaran mental menyajikan analogi obyek konkrit dengan cara memanipulasi informasi spasial.

Ditilik dari strukturnya pengetahuan prosedural terdiri dari struktur prosedural prasyarat dan struktur prosedural putusan. Struktur prosedural prasyarat menunjukkan hubungan-hubungan prasyarat dengan spesifikasi urutan langkah berupa prosedur. Sedangkan struktur prosedural putusan menunjukkan hubungan-hubungan yang mendeskripsikan hal-hal yang diperlukan dalam pengambilan suatu keputusan tentang prosedur atau sub-prosedur yang tepat untuk digunakan pada situasi tertentu.

Dengan memperhatikan klasifikasi struktur orientasi, maka pengorganisasian isi dalam peristiwa pembelajaran akan lebih potensial memberikan kebermaknaan belajar mahasiswa bilamana pada akhir pada setiap penyajian diberikan sintesis, rangkuman dan umpan balik.

 

b. Perbedaan Pengetahuan Deklaratif dan Prosedural

Gagne, 1977 (Dahar, 1989:42) mengungkapkan adanya perbedaan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural.  Mengetahui perbedaan antara pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural sangat berguna untuk kepentingan mengetahui kondisi-kondisi belajar yang diperlukan karena cara mempelajari juga berbeda antara keduanya, meskipun antar keduanya saling berinteraksi. Berikut dapat dibutiri perbedaan tersebut.

Tabel 1

Perbedaan Pengetahuan Deklaratif dan Prosedural

 

Dimensi

Pengetahuan Deklaratif

Pengetahuan

Prosedural

Bentuk

Informasi verbal

Ketrampilan gerak, ketrampilan intetektual (pemecahan masalah, aturan dan prinsip, konsep, dan diskriminasi), dan strategi kognitif.

Hasil belajar

Menyatakan apa sesuatu itu.

Menyatakan bagaimana melakukan sesuatu itu

Aktivasi

Berlangsung lambat, dilakukan secara sadar

Sekali dipelajari, aktivasi cepat dan otomatis

Penguasaan

Harus menyeluruh atau tidak sama sekali.

Bisa random tergantung motivasi dan kontrol pebelajar tetapi dalam unjuk kerja harus prosedural

Komunikasi

Secara verbal

Peragaan prosedur atau demonstrasi

Penyajian

Proposisi

Produksi dan gambaran mental (analogi obyek konkrit memanipulasi informasi spasial).

 

Mukhadis (2003:12) telah mengidentifikasi hakikat belajar pengetahuan prosedural, yakni:

(1)   merupakan proses belajar tentang bagaimana melakukan sesuatu untuk memecahkan masalah tertentu, dan bukan mempelajari tentang apa sesuatu itu (Dahar , 1988, dan Gagne, 1985).

(2)   adalah proses mempelajari tentang operasi (knowledge about operations), baik dalam ranah motorik maupun ranah kognitif, dan bukan proses mempelajari pengetahuan tentang suatu objek (knowledge about objects) (Landa, 1980:164).

(3)   adalah proses mempelajari pengetahuan tentang bagaimana menerapkan konsep,  aturan atau pun prinsip untuk memecahkan masalah pada situasi tertentu, dan bukan proses mempelajari pengetahuan tentang apa sesuatu itu, menurut Tennyson (1989:4).

           Dari ketiga penjelasan ini maka hakikat mempelajari isi prosedural adalah untuk menguasai pengetahuan prosedural yang berbeda karakteristiknya dengan pengetahuan deklaratif ataupun pengetahuan teoretik.

Karakteristik lain yang membedakan jenis pengetahuan prosedural dengan pengetahuan yang lain adalah:

(1)   kapasitas substansi isi yang dipelajari termasuk dalam ranah keterampilan intelektual Gagne, Anderson dan Ryle (Anderson, Spiro dan Montague, 1977) dikutip Mukhadis (2003:14)

(2)   strategi penyajian isi yang dipelajari dikemas dalam bentuk produksi (aturan kondisi dan tindakan) yang memungkinkan terjadinya suatu tindakan pada kondisi tertentu. Bentuk hubungan antara aturan kondisi dan alternatif tindakan dapat diungkapkan dalam kalimat:“Jika… (aturan kondisi), maka … (tindakan)”.

(3)   pengetahuan tipe isi prosedural sifatnya lebih dinamis karena sebagai hasil pengaktifan informasi, dimana dalam prosesnya bentuk masukan informasi (stimulus) akan berbeda dengan keluarannya (respon).

(4)   proses pemanggilan kembali (retrieval) informasi prosedural dari memori jangka panjang dalam struktur kognitif untuk melakukan pemecahan masalah merupakan proses integrasi yaitu proses elaborasi dan strukturisasi skemata dalam knowledge base pada struktur kognitif pebelajar.

Ditilik dari taksonomi hasil belajar Gagne, 1974 (Suhana Chikatla, diambil 20 April 2005 dari http://usaidd.net/~chikatla/misc/ iddcoceptmap.pdf) dapat ditengarai perbedaan antara pengetahuan deklaratif, prosedural dan afektif.

Flowchart: Preparation: Pemecahan Masalah; 
Prinsip & Aturan; 
Konsep Abstrak; 
Konsep Konkrit; 
Diskriminasi
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 6

Diagram Ranah Belajar Menurut Gagne (1974) diadaptasi dari Suhana Chikatla (diambil 20 April 2005 http://usaidd.net/~chikatla/misc/iddcoceptmap.pdf)

 

Hasil belajar pengetahuan deklaratif adalah berupa informasi verbal (verbal information). Hasil belajar pengetahuan prosedural terdiri dari (1) ketrampilan gerak (motor skills), (2) ketrampilan intelektual (intellectual skills), dan (3) strategi kognitif (cognitive strategies). Hasil belajar pengetahuan afektif adalah pembentukan sikap (attitudes). Dalam hasil belajar ketrampilan intelektual antara lain terdapat kemampuan pemecahan masalah (problem solving), aturan dan prinsip (rules and principles), konsep-konsep (concepts) serta perbedaan-perbedaan (discriminations).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan prosedural secara hakiki memiliki perbedaan dalam substansi isi, strategi penyajian, tipe dan sifat serta proses kerja informasi dalam struktur memori, sehingga memerlukan preskripsi pengorganisasian yang khusus untuk mendapatkan hasil belajar yang bermakna dan maksimal.

 

c. Belajar Pengetahuan Prosedural

Ada dua bentuk prosedur yang perlu diketahui dalam belajar pengetahuan prosedural, yakni (1) prosedur pengenalan pola dan (2) prosedur urutan-aksi atau tindakan (Dahar, 1989:64).

Prosedur pengenalan pola mendasari kemampuan untuk mengenal dan mengklasifikasikan pola-pola stimulus internal dan eksternal. Prosedur urutan-aksi atau tindakan mendasari kemampuan untuk melakukan urutan-urutan operasi terhadap simbol-simbol. Dalam praktik pemecahan masalah prosedur pengenalan pola dan urutan tindakan menjadi saling terkait; namun demikian pada awal-awal peristiwa belajar antara keduanya perlu dipisahkan.

Dalam kasus pemecahan masalah prosedur pengenalan pola acapkali dalam praktiknya akan digabungkan dengan prosedur urutan tindakan. Hubungan antara prosedur pengenalan pola dengan prosedur urutan tindakan, perwujudannya mirip dengan hubungan antara konsep-konsep dan aturan-aturan (Gagne, 1977; Anderson, 1982).

Pengenalan pola merupakan prasyarat kondisi yang diperlukan untuk penerapan aturan. Pola atau struktur merupakan prasyarat untuk tindakan atau aksi. Prosedur pengenalan pola dan urutan tindakan sangat berhubungan dalam tindakan, tetapi proses belajar untuk keduanya adalah berbeda. Karena itu substansi isi bahasan dari materi yang dibelajarkan juga berbeda. Contoh: membelajarkan bukti transaksi kuitansi di antara bukti transaksi keuangan yang lain berbeda dengan membelajarkan bagaimana membuat kuitansi sebagai bukti transaksi keuangan.

Cara perolehan pengetahuan prosedur pengenalan pola  dipelajari tanpa instruksi langsung. Proses yang terlibat adalah generalisasi dan diskriminasi. Generalisasi adalah respons yang diberikan pebelajar dengan cara serupa pada stimulus-stimulus yang berbeda. Generalisasi terjadi secara otomatis, jika dua produksi yang mempunyai aksi sama berada dalam memori kerja pada waktu yang sama (Anderson, 1982; Dahar, 1989:69). Mekanismenya adalah mencari kondisi-kondisi yang serupa, dan menghilangkan kondisi-kondisi yang unik, kemudian melahirkan  produksi yang baru yang mempertahankan kondisi-kondisi yang sama.

Generalisasi meningkatkan daerah situasi-situasi untuk penerapan suatu prosedur, sedangkan diskriminasi justru mengurangi atau mempersempit daerah ini.(Anderson dalam Dahar, 1989:70).

Diskriminasi mengakibatkan penambahan pada bagian kondisi dari suatu produksi. Diskriminasi dirangsang bila suatu prosedur yang telah dikenal, tidak dapat diterapkan. Kegagalan akan memotivasi pebelajar untuk memahami perbedaan antara situasi di mana prosedur tidak dapat diterapkan dan stituasi-situasi sebelumnya saat prosedur dapat diterapkan.

Dalam situasi tertentu bisa saja pebelajar mendapat bantuan pembelajar, tetapi dalam situasi lain dapat saja pebelajar mendapatkannya dari setelah membaca bahan bacaan, atau melakukan coba-coba. Tujuannya adalah untuk menentukan apakah yang membedakan situasi-situasi di mana prosedur dapat berhasil, dan situasi-situasi di mana prosedur gagal. Sekali perbedaan itu ditemukan, situasi itu akan ditambahkan pada produksi sebagai suatu kondisi yang perlu untuk menerapkan produksi tersebut.

Dari konteks ini maka bantuan instruksional penting untuk kasus diskriminasi. Dalam generalisasi seleksi dan urutan tindakan, contoh-contoh merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kemungkinan seorang pebelajar membentuk produksi pengenalan pola yang benar. Dalam diskriminasi yang penting adalah seleksi dan urutan dari tindakan yang bukan contoh dari konsep yang sedang dibelajarkan atau yang sedang dipelajari pebelajar.

Proses belajar urutan tindakan adalah lambat, karena prosesnya berjalan dengan banyak membuat kesalahan. Anderson (Dahar, 1989:72) menggambarkan prosesnya sebagai berikut. Bermula pebelajar menyajikan urutan aksi dalam bentuk deklaratif; kemudian berkembang suatu penyajian prosedural urutan aksi dengan pengalaman dalam mencoba yang menghasilkan urutan aksi.

Proses demikian ini merupakan kompilasi pengetahuan, yakni proses pembentukan suatu penyajian untuk urutan-urutan aksi yang menuju pada tindakan yang lancar dan cepat atau instan. Kompilasi pengetahuan dengan demikian mengandung dua sub-proses yaitu proseduralisasi dan komposisi.

Proseduralisasi adalah pengguguran perangsang-perangsang dari pengetahuan deklaratif, sedangkan komposisi adalah penggabungan beberapa prosedur menjadi satu prosedur.

Langkah-langkah belajar urutan aksi, dimulai dengan penciptaan suatu penyajian proporsional untuk prosedur, diikuti langkah kedua yakni menciptakan satu produksi untuk menyajikan setiap langkah dalam urutan aksi. Selama proseduralisasi kedua langkah ini selalu terjadi.

Sub-proses lain dari belajar urutan aksi oleh Anderson, 1982 (Dahar, 1989:73) disebut komposisi. Selama komposisi beberapa produksi digabung atau disatukan. Agar terjadi komposisi, suatu urutan dari dua produksi harus diaktivasi dalam memori kerja pada waktu bersamaan.

Hakekat mempelajari pengetahuan prosedural adalah mempelajari sejumlah aturan langkah-langkah atau prosedur dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan untuk diikuti dan dikembangkan dalam mencapai tujuan belajar tertentu (pemecahan masalah). Dengan kata lain belajar pengetahuan prosedural adalah belajar bagaimana melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan untuk memecahkan masalah tertentu, dan bukan mempelajari pengetahuan tentang apa sesuatu itu. Jadi menguasai pengetahuan prosedural berbeda substansinya dengan belajar menguasai pengetahuan deklaratif.

d. Hasil Belajar Pengetahuan Prosedural

Secara substansi pengorganisasian isi pembelajaran adalah untuk meningkatkan hasil belajar pemecahan masalah. Telah diketahui bahwa pengetahuan prosedural terdiri dari prosedur pengenalan pola, dan prosedur urutan tindakan.

Hasil belajar prosedur pengenalan pola merupakan representasi dari kemampuan mengenal dan mengklasifikasikan pola-pola stimulus baik internal maupun eksternal dalam upaya pemecahan masalah. Indikatornya adalah terjadinya proses diferensiasi dalam memori jangka panjang dalam struktur kognitif pebelajar.

Hasil belajar prosedur urutan tindakan, merupakan representasi kemampuan dalam melakukan urutan tindakan (operasi prosedur) terhadap simbul-simbul dalam pemecahan masalah. Indikatornya adalah ketepatan melakukan serangkaian tindakan yang pada akhirnya menghasilkan pemecahan masalah menurut kondisi tertentu.

Hasil belajar sebagaimana dijelaskan menurut kemampuan differensiasi dan kemampuan operasi prosedur urutan tindakan dalam pemecahan masalah pada kondisi tertentu oleh Anderson,1982 (Mukhadis, 2003:20) dikenal dengan proses kompilasi pengetahuan. Indikatornya berupa refleksi dari proses diferensiasi dan atau proses diferensiasi dan integrasi skemata yang dimiliki pebelajar dalam struktur kognitif yang direpresentasikan oleh tindakan pengambilan keputusan pada kondisi tertentu.

Indikator penguasaan untuk kemampuan penguasaan urutan tindakan (operasi prosedur), merupakan refleksi dari proses diferensiasi dan integrasi dan atau penciptaan pengetahuan baru melalui pembentukan dan pengembangan skemata baru yang diaktualisasikan dalam bentuk tindakan pemecahan masalah pada kondisi tertentu (Tennyson, 1989:6-8; Mukhadis, 2003:20).

Secara ringkas dilukiskan dalam proses penstrukturan kognitif sebagaimana diagram gambar 7 berikut ini.

 

 

 

JENIS

UNJUK KERJA

 

 

SITUASI

 

 

PROSES STRUKTUR KOGNITIF

 

 

KRITERIA

 

 

TINGKATAN

UNJUK KERJA

 

 

 

1. Dikenal sebelumnya

 

Diferensiasi dari skemata yang ada

 

Bagian dari skema

 

 

1.Pengenalan Pola

 

 

 

 

 

 

 

Recall

 

 

2.  Dikenal sebelumnya atau baru

 

Diferensiasi dan atau integrasi dan skemata yang ada

 

Bagian dari skema

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.  Tidak dikenal sebelumnya

 

Diferensiasi dan integrasi pembentuk skemata yang baru

 

Bagian dari skema

 

 

 2. Urutan Tindakan

 

 

 

 

 

 

Problem solving

 

 

3.  Tidak dikenal sebelumnya

Penciptaan pengetahuan dan integrasi pengembangan sekemata baru

Mengem-bangkan kriteria baru

 

 

 

Gambar 7

Proses Penstrukturan Kognitif dalam unjuk Kerja Pengenalan Pola dan Urutan Tindakan (diadaptasi dari Mukhadis, 2003:21)

 

 

Proses diferensiasi, integrasi dan penciptaan pengetahuan baru dalam struktur kognitif pebelajar sebagai pembentukan skemata baru dalam upaya tanggap terhadap situasi baru atas dasar sekemata yang dimiliki merupakan peristiwa transfer belajar. Peristiwa transfer belajar ini dapat terjadi pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor.

Terdapat tiga dimensi transfer belajar yakni (1) transfer positif dan negatif; (2) transfer vertikal (pada topik-topik tertentu) yang lebih kompleks dan horizontal (pada topik-topik yang berhubungan), dan (3) transfer yang direncanakan maupun insidental sifatnya. (Gallway, 1976:187  dikutip Mukhadis, 2003:22)

Dalam pembelajaran yang perlu ditekankan adalah memfasilitasi kemudahan dan mengoptimalkan terjadinya transfer belajar yang positif, vertikal atau horizontal, baik yang direncanakan maupun yang insidental.

Pengorganisasian isi bahan belajar dalam bentuk frame bahan belajar yang dikemas dalam Satuan Acara Perkuliahan (SAP) akan menentukan mutu pembelajaran dan transfer hasil belajar. 

Pengorganisasian isi bahan belajar menurut teori psikologi kognitif berlaku sebagai sumber belajar dan obyek pengamatan yang memberikan stimulan bagi pembentukan struktur kognitif yang baru yang lebih bermakna dari struktur kognitif yang sudah ada (skema). Dalam kasus belajar Akuntansi untuk Perusahaan Jasa, dipreskripsikan sebanyak 7(tujuh) frame bahan belajar yang dikemas dalam bentuk SAP.

 

e. Pengetahuan Prosedural Akuntansi

Setelah mengkaji berbagai pola pendekatan pemecahan masalah dan jenis isi pengetahuan yang menjadi obyek pengajaran, serta identifikasi hasil belajar pengetahuan prosedural, maka dalam bidang Akuntansi dapat dikenali jenis-jenis pengetahuan yang relevan dan analog dengan jenis pengetahuan menurut pola pendekatan yang sudah dikenal.

Pada dasarnya pengetahuan prosedural berisi himpunan dari rangkaian prosedur yang tertib, urut dan holistik mengikuti sekuensi tertentu. Akuntansi, keberlakuannya tunduk dan mengikuti Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) yaitu seperangkat konsep, standar, prosedur, metoda, konvensi, dan praktik yang sehat yang dipilih atau didukung berlakunya serta dijadikan pedoman umum.      

Pengetahuan Akuntansi memiliki konstruk dasar persamaan Akuntansi yang struktur substansi isinya dapat berupa (1) komponen-komponen dan saling hubungannya yang menggambarkan bagaimana pelaporan keuangan dalam suatu negara tersusun dan beroperasi, (2) penggambaran pengertian akuntansi secara luas sebagai teknologi, bidang studi, dan profesi, (3) penguasaan pengetahuan akuntansi menjadi bekal untuk memasuki bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat seseorang, dan (4) basis untuk mengembangkan kurikulum dan kompetensi pembelajar akuntansi (Suwardjono, 2002).

Dalam khasanah Akuntansi dapat ditengarai dua kelompok pengetahuan prosedural pokok yakni (1) prosedural herarkhi menurut siklus waktu dan proses kegiatan pencatatan atau dikenal dengan struktur prosedural prasyarat dan (2) prosedural horisontal menurut tahapan pada siklus akuntansi tetapi substansinya pada kategori jenis badan usaha atau dikenal dengan struktur prosedural putusan.

Substansi pengetahuan prosedural herarkhi menurut siklus dan proses kegiatan pencatatan yang berlaku umum untuk semua jenis sistem akuntansi untuk semua Badan Usaha visualisasinya dapat dilihat pada bagan siklus Akuntansi berikut ini. Bagan ini juga menunjukkan pengetahuan Akuntansi yang  berstruktur prosedural prasyarat.

 

 


                       Data penyesuaian

 

 

 

 


                   Pengesahan

             

             Penjumlahan   Pengakunan  Peringkasan    Penyesuaian   Pelaporan

Text Box: Statemen
 


Text Box: Neraca Saldo Perbaikan
		
			
			
			
			
			
			

Text Box: Neraca Saldo Praperbaikan
		
			
			
			
			
			
			

              

Text Box: Laporan Keuangan
 

 

 

 

 


            

             BT = Bukti transaksi

             BP = Bukti Pembukuan

Gambar 8

Bagan Siklus Akuntansi

sebagai Struktur Prosedural Prasyarat

 

Untuk substansi pengetahuan prosedural horisontal dapat diidentifikasi pada ragam prosedur yang terdapat pada setiap sub komponen kegiatan dari siklus Akuntansi menurut jenis perusahaan dan bentuk Badan Usaha. Jenis perusahaan, menentukan isi dan rincian laporan keuangan terutama laporan rugi-laba; sedangkan bentuk Badan Usaha menentukan isi dan rincian laporan keuangan terutama pada sisi ekuitas atau modal. 

Menurut klasifikasi atas dasar karakteristik kegiatan dalam menyediakan barang/jasa maka ada (1) perusahaan jasa, (2) perdagangan, dan (3) pemanufakturan.

Atas dasar klasifikasi pengetahuan prosedural hirarkhi dan prosedural horisontal, penjabaran dan elaborasi isi bidang studi Akuntansi selanjutnya digunakan sebagai dasar dan pendekatan pengorganisasian isi dalam penelitian ini.

 

2. Pengorganisasian Isi

 

a. Teori Elaborasi

Eksemplar dari terapan teori kognitif antara lain telah dikaji melalui teori elaborasi. Teori ini dikembangkan oleh Reigeluth dan Stein (1983:364-370) dan diteruskan lagi oleh Reigeluth dan Merrill (1994:245) yang merupakan perluasan teori komponen penyajian (component display theory) dari Merrill (1978). Penyajian materi pada tingkat makro meliputi pemilihan penyajian, urutan, sintesis dan rangkuman isi pengajaran. Elaborasi dapat dimaknai memberikan kejelasan preskripsi komponen pembelajaran.

Strategi pengajaran tingkat makro mempreskrikpsikan cara-cara penanganan 4(empat) bidang masalah, yang disebut sebagai 4S: selection, sequencing, synthesizing, dan summary (Reigeluth,1983:338; Degeng, 1989:111)

Teori elaborasi mempreskripsikan cara pengorganisasian isi pengajaran dengan mengikuti urutan dari umum ke rinci dengan menampilkan epitome (struktur isi bidang studi yang dipelajari), kemudian mengelaborasi bagian-bagian yang ada dalam epitome secara lebih rinci. Konteks selalu ditunjukkan dengan menampilkan sintesis secara bertahap.

Dalam penelitian ini teori elaborasi dipilih sebagai landasan untuk mengembangkan preskripsi pengorganisasian isi pembelajaran Akuntansi Perusahaan Jasa. Pertimbangannya karena teori elaborasi sesuai dengan karakteristiknya telah menampung esensi dari teori-teori yang lain, sehingga untuk landasan mengembangkan preskripsi sampel bahan pembelajaran Akuntansi Perusahaan Jasa yang isinya bersifat prosedural secara makro lebih tepat. Berikut ini dibahas karakteristik teori elaborasi.

 

(1) Pengertian Elaborasi

Elaborasi adalah proses penambahan pengetahuan yang berhubungan pada informasi yang sedang dipelajari (Dahar,1988:73). Reigeluth & Stein (1983:338) memberikan penjelasan:

The Elaboration Theorly of instruction prescribes that the instruction start with a special kind of overview that teaches a few general, simple, and fundamental (but not abstract) ideas. The remainder of the instruction presents progressively more detailed ideas, which elaborate on earlier ones”.

          

Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa teori elaborasi mempreskripsikan cara pengorganisasian isi pengajaran dengan mengikuti urutan dari umum ke rinci. Urutan umum ke rinci dimulai dengan menampilkan  selayang pandang (overview) ide yang umum, sederhana dan mendasar. Kemudian pengajaran maju setapak demi setapak dielaborasi satu persatu.

 

(2) Komponen Strategi Elaborasi

Ada 7(tujuh) komponen yang diintegrasikan dalam teori elaborasi yakni (1) urutan elaborasi dari sederhana - ke kompleks (untuk struktur utama materi pelajaran), (2) urutan prasyarat belajar, (3) rangkuman, (4) sintesis, (5) analogi, (6) pengaktif strategi kognitif, dan (7) kontrol belajar (Reigeluth & Stein, 1983:342).

 

(3) Prinsip-prinsip Elaborasi

Prinsip-prinsip yang menjadi landasan teknik elaborasi adalah :

1) Kerangka isi yang menunjukkan bagian-bagian utama bidang studi dan hubungan-hubungan di antara bagian-bagian itu, hendaknya disajikan pada fase pertama pengajaran.

2) Elaborasi secara bertahap, bagian-bagian yang tercakup dalam kerangka isi hendaknya dielaborasi secara bertahap.

3) Bagian terpenting disajikan pertama kali, pada suatu tahap elaborasi apa pun pertimbangan yang dipakai, bagian yang terpenting hendaknya dielaborasi pertama kali.

4) Cakupan optimal elaborasi, kedalaman dan keluasan tiap-tiap elaborasi hendaknya dilakukan secara optimal.

5) Penyajian pensintesis secara bertahap, pensintesis hendaknya diberikan setelah setiap kali melakukan elaborasi.

6) Penyajian jenis pensintesis, jenis pensintesis hendaknya disesuaikan dengan tipe isi bidang studi.

7) Tahapan pemberian rangkuman, rangkuman hendaknya diberikan sebelum setiap kali menyajikan pensintesis.

 

(4) Tahap-tahap Pengajaran Menurut Strategi Elaborasi

Mengikuti alur pikir dan prinsip-prinsip elaborasi maka langkah-langkah penyajian pengajaran meliputi tahapan sebagaimana ditunjukkan pada gambar di halaman berikut ini.

Adapun penjelasan dari langkah-langkah tersebut adalah:

1)      Pengajaran dimulai dengan menyajikan epitome atau kerangka isi struktur yang memuat bagian-bagian yang paling penting dari bidang studi.

2)      Elaborasi tahap pertama, yaitu mengelaborasi tiap-tiap bagian yang ada dalam kerangka isi, mulai dari bagian yang terpenting. Elaborasi tiap-tiap bagian diakhiri dengan rangkuman dan pensintesis yang hanya mencakup konstruk-konstruk yang baru saja diajarkan (pensintesis internal).

3)      Pada akhir elaborasi tahap pertama, diberikan rangkuman dan diikuti dengan pensintesis eksternal. Rangkuman berisi pengertian-pengertian singkat mengenai konstruk-kontruk yang diajarkan dalam elaborasi.

 

 

 

Epitome

(Kerangka Isi)

 

 

Elaborasi

Tahap Pertama

(1)

Menyajikan Epitome

-           Strategi motivasional

-           Analogi

-           Prasyarat belajar

-           Struktur isi

-           Struktur pendukung

 

(2)

 

Menyajikan elaborasi bagian yang lain dalam epitome

 

(3)

 

Menyajikan rangkuman dan sintesis

 

(2)

 

Menyajikan Elaborasi salah satu bagian dalam epitome

 

 

                                                    

 

 

 

Elaborasi

Tahap Kedua

 

                                                                                     

                                      

                                                                           Dst.

atau

(4)

Menyajikan elaborasi bagian yang lain yang ada dalam elaborasi tahap pertama

 
 

 

 

 


              

     

 

Dst.

 

atau

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 9

Model Elaborasi ( adaptasi dari Reigeluth & Stein, 1983:367)

 

4)      Elaborasi tahap kedua. Setelah elaborasi tahap pertama berakhir dan diintegrasikan dengan kerangka isi, pengajaran diteruskan ke elaborasi tahap kedua, yang mengelaborasi bagian pada elaborasi tahap pertama dengan maksud membawa pebelajar pada tingkat kedalaman sebagaimana ditetapkan dalam tujuan pengajaran. Pada elaborasi tahap kedua ini juga disertai rangkuman dan pensintesis internal.

5)      Pemberian rangkuman. Pada akhir elaborasi tahap kedua, diberikan rangkuman dan sintesis eksternal, seperti pada elaborasi tahap pertama.

6)      Setelah semua elaborasi tahap kedua disajikan, disintesiskan, dan diintegrasikan ke dalam kerangka isi, pola seperti ini akan berulang kembali untuk elaborasi tahap ketiga, dan seterusnya sesuai dengan kedalaman yang ditetapkan oleh tujuan pengajaran.

7)      Pada tahap akhir pengajaran, disajikan kembali kerangka isi untuk mensintesiskan keseluruhan isi bidang studi yang telah diajarkan.

 

(5) Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Elaborasi

Keunggulan pembelajaran elaborasi antara lain: (1) penyajian materi lebih sistematis; (2) pebelajar lebih mudah mengingat informasi baru yang disampaikan pengajar; (3) Pebelajar lebih mudah mengingat konsep, karena dalam penyampainnya diberikan analogi sehingga lebih konkrit; (4) pemahaman suatu konsep menjadi lebih dalam, karena semua konsep dipelajari dalam konteksnya dengan konsep lain yang terkait; (5) pebelajar lebih mudah membuat klasifikasi materi yang disampaikan.

Kelemahan dari pembelajaran elaborasi adalah (1) membutuhkan waktu yang cukup lama, karena pada setiap selesai penyajian satu materi penting diberikan analogi, sintesis dan rangkuman; (2) kurang memberikan keuntungan bagi pengajar yang lebih menekankan pada pencapaian target materi; (3) pengajar lebih membutuhkan waktu lama untuk mencari analogi yang cocok bagi setiap materi yang bersifat abstrak.

 

b. Pengorganisasian Materi Akuntansi dengan Model Elaborasi

Penyajian epitome isi prosedural dalam pengembangan pengajaran Akuntansi merupakan pensintesis dari prosedur alternatif yang paling sederhana dari keseluruhan isi proses atau siklus Akuntansi Keuangan pada Perusahaan Jasa yang dibelajarkan.

Hubungan di antara pensintesis prosedur alternatif ini lebih tampak bersifat herarkhi dan prosedural. Sebagai contoh epitome dari pokok bahasan prosedur dalam siklus Akuntansi adalah konstruk persamaan dasar akuntansi, rekening buku besar, pencatatan transaksi dalam jurnal dan posting buku besar, jurnal umum, buku besar dan neraca saldo, proses penyusunan laporan keuangan, penyajian laporan keuangan, dan penutupan dan pembukaan buku besar.

Gambaran konkrit epitome struktur orientasi prosedural siklus akuntansi perusahaan jasa tampak pada gambar 10 berikut. Epitome tentang konstruk persamaan dasar akuntansi dapat dielaborasi dengan mengidentifikasi tahapan prosedur yang harus dilakukan sebelum melakukan perubahan komposisi persamaan dasar akuntansi. Demikian juga seterusnya untuk elaborasi kegiatan pencatatan transaksi ke dalam jurnal, posting buku besar, neraca saldo, penyusunan laporan keuangan dan lainnya.

 

Bukti Pembukuan

 

Jurnal

 

 

Buku Besar

 

Neraca Lajur

Laporan Keuangan

 

 

 

 

 

 

 

Neraca Percobaan

Neraca Saldo

Ayat Jurnal Penyesuaian

Neraca Saldo Perbaikan

Rugi/Laba

Neraca Akhir

 

 

Neraca

Laporan R/L

Penjelasan Atas Neraca dan R/L serta Perubahan Modal

 

Transaksi Keuangan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ayat Jurnal Pentutup

 

 

 

 

 

 

 

 

Rekapitulasi Jurnal

 

 

Buku Besar Pembantu

 

 

Penutupan Buku Besar Akhir Periode

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pembukaan Buku Besar Awal Periode

 

 

Gambar 10

Epitome Struktur Orientasi Prosedural Siklus Akuntansi Perusahaan Jasa

 

Elaborasi tahap pertama untuk konstruk persamaan dasar akuntansi (H=U+M) ini dimulai dari identifikasi jenis transaksi keuangan, bukti transaksi  dan bukti pembukuan yang harus digunakan sebagai dasar pencatatan, analisis pengaruh jenis transaksi terhadap komposisi dan persamaan dasar akuntansi, pengenalan klasifikasi dan kode rekening sebagai referensi jurnal. Sub-sub prosedur ini dielaborasi berdasarkan proses penyelesaian transaksi untuk menghasilkan informasi akuntansi pada siklus akuntansi keuangan.

Tahapan ini diakhiri dengan pembuatan rangkuman dan sintesis berupa hasil analisis transaksi dan perubahan komposisi persamaan dasar akuntansi. Tahap-tahap elaborasi selanjutnya dilakukan terhadap sub-sub prosedur yang bersesuaian dan berurutan prosesnya, sehingga dapat mendukung pemahaman dan penguasaan yang saling kait mengkait membentuk rangkuman dan sintesis dari pengetahuan prosedural tentang persamaan dasar akuntansi. Gambaran konkrit tentang hal ini dapat diamati pada gambar 11 di halaman berikut ini.

Epitome-epitome yang lain menurut struktur isi akan disajikan secara berurutan sesuai prosedur yang mengikuti siklus akuntansi untuk penyelesaian transaksi pada perusahaan jasa. Terdapat tujuh epitome yang dapat dibuat rangkuman dan sintesisnya, dan jika digabungkan semuanya akan menjadi penyajian yang integral dan holistik untuk penguasaan kompetensi akuntansi perusahaan jasa.

 

C. Pengelolaan Belajar Kolaboratif

Komponen lain yang melengkapi metode pengajaran selain pengorganisasian isi adalah pengelolaan pembelajaran. Dalam strategi pengelolaan pembelajaran yang harus diperhatikan menurut Reigeluth dan Merill, 1979 (Degeng, 1989:153) adalah (1) penjadwalan penggunaan strategi pengajaran, (2) pembuatan catatan kemajuan belajar pebelajar, dan (3) pengelolaan motivasional, serta (4) pengelolaan kontrol belajar, yaitu berupa kebebasan pebelajar untuk melakukan pilihan tindakan belajarnya.

 

 

Epitome

 

 

 Harta

 

 

=

 

 

 

Utang

 

+

 

 

Modal

 

 

Elaborasi tahap pertama

 

 

Identifikasi jenis transaksi

 

Identifikasi bukti transaksi dan bukti pembukuan

 

Analisis pengruh transaksi terha-dap komposisi H=U+M

 

Pengenalan kode rekening sebagai referensi posting jurnal

 

 

Elaborasi Tahap ke dua

 

 

 


dst.

 

 

Status

transaksi

 

 

Bukti

kas/bank

 

 

Transaksi berpengaruh pada komponen H; U; dan M saja

 

 

Kode rekening Aktiva dan Passiva

 

 

Sumber transaksi

 

Bukti Pembeli-an/

Penjualan

 

Transaksi berpengaruh pada komponen H=U

 

Prinsip Likuiditas dalam Neraca

 

 

 

 

 

 

Memorial

 

Transaksi berpengaruh pada komponen H=M

 

 

 

 

 

 

 

Retur dan lain-lain

 

Transaksi berpengaruh pada komponen U+M

 

 

 

 

 

 

 

 

Transaksi berpengaruh pada komponen H=U+M

 

 

 

 

Gambar 11

Epitome struktur orientasi prosedural Konstruk Persamaan Dasar Akuntansi

 

Pengelolaan pembelajaran yang dipreskripsikan esensinya berorientasi pada penguasaan kemampuan memecahkan masalah dengan latar pengelolaan belajar kolaboratif. Pengelolaan belajar kolaboratif sesuai dengan gagasan yang dilontarkan Bruffee (Zamroni, 2000:44) bahwasannya praktik pengelolaan pendidikan tradisional yang telah menimbulkan kesenjangan akademik, okupasional dan kultural harus direformasi dengan praktik pendidikan yang memberi kesempatan kepada pebelajar untuk mengembangkan kerja kelompok.

 

1.     Pengertian Belajar Kolaboratif

Konsep belajar kolaboratif sering diidentikkan dengan konsep belajar kooperatif, tetapi ada yang secara tegas membedakan antara keduanya. Dalam belajar kooperatif belum tentu ada peristiwa kolaboratif, tetapi pada setiap peristiwa kolaboratif diperlukan suasana kerjasama atau kooperatif.            Meminjam pernyataan Kreijns, Kirschner dan Jochems (2003) menyatakan, bahwa: “Just placing students in groups does not guarantee collaboration... The incentive to collaborate has to be structured within the groups.” Artinya jika sekedar membagi-bagi pebelajar dalam kelompok-kelompok tidak menjamin adanya kolaborasi; yang memicu adanya kolaborasi itu harus dibangun dari dan oleh dalam kelompok sendiri.

Lingkungan belajar kolaboratif, baik yang jelas maupun yang samar semua dikembangkan berdasar asumsi bahwa pengetahuan adalah sebuah entitas yang kompleks yang dibentuk oleh konteks sosial, bukan sekedar hasil yang sederhana dari pemindahan atau sumbangan belaka (Daniel, B., 2003).

Kemampuan pebelajar untuk bekerja secara kolaboratif dengan lainnya adalah sebagai kunci untuk membangun dan memelihara kemantapan dalam berkeluarga, karir, persahabatan dan bermasyarakat. Kemampuan dan keterampilan tak ada gunanya jika tak dapat diterapkan dalam hubungan kerjasama dengan orang lain (Johnson & Johnson,1987:15)

Ted Panitz (1996) melakukan klarifikasi definisi antara istilah kooperatif dan kolaboratif sebagai berikut:

Collaboration is a philosophy of interaction and personal lifestyle whereas cooperation is a structure of interaction designed to facilitate the accomplishment of an end product or goal. Collaborative learning (CL) is a personal philosophy, not just a classroom technique. In all situations where people come together in groups, it suggests a way of dealing with people which respects and highlights individual group members’ abilities and contributions. There is sharing of authority and acceptance of responsibility among group members for the groups actions.

 

Pembelajaran kolaboratif bukan pendekatan baru, menurut Totten, Sills, Digby, & Russ (1991), berbagai variasinya sudah digunakan dalam kelas sejak awal tahun 1900-an dan kini semakin  menarik perhatian para ahli pendidikan sejak munculnya bukti keberhasilan bukan buah dari kemampuan individu tetapi justru dari paradigma kesalingtergantungan (interdependence) (Stephen R. Covey, 1997:38).

Falsafah dan teori sejumlah ahli seperti Dewey (1916), Vygotsky(1981), dan Piaget (1969) telah menegaskan manfaat sosial dan proses kolaboratif dalam belajar. Menurut Dewey (1916) pendidikan adalah proses sosial dalam mana melalui kelompok  pebelajar memperoleh dan berbagi pengalaman baru yang bermakna. Vygotsky (1981) juga memandang pendidikan sebagai usaha sosial. Postulatnya mengatakan bahwa sebelum berbagai fungsi mental diinternalisasikan, untuk itu harus dimulai dari tahapan eksternal. Maka dari itu interaksi sosial merupakan petunjuk penting untuk internalisasi yang bermakna. Teori Piaget (1969) tentang epistemologi genetic menyatakan pentingnya interaksi dengan teman sebaya sebagai sumber stimulasi kognitif beserta pengembangannya.

Akhir-akhir ini penelitian dan penggagas teori seperti Johnson & Johnson, (1975), Slavin (1983), Kagan (1985), Sharan & Sharan (1976), dan cohen (1986) telah mengembangkan pendekatan pengajaran khususnya untuk belajar kolaboratif.

Problem base learning termasuk yang terkini, telah memunculkan pendekatan kolaboratif dalam kelompok kecil (Albanese & Mitchell, 1993). Belajar berbasis masalah menekankan kecermatan dalam penyusunan skenario masalah, kolaborasi dalam kelompok, bimbingan dari para tutor, kemudian mencoba pemecahan masalah dan  isi belajar adalah pengetahuan  dan keterampilan (Savery & Duffy, 1995).

Istilah belajar kolaboratif mengacu kepada metode pengajaran yang mana pebelajar dengan berbagai latar kemampuan bekerja bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan. Tiap-tiap pebelajar saling bertanggungjawab atas belajar dengan teman-temannya sebagaimana ia bertanggungjawab belajar untuk diri sendiri. Keberhasilan tiap individu merupakan keberhasilan pebelajar lainnya dalam kelompok.

Kesimpulannya, bahwa belajar kolaboratif merupakan intensitas yang lebih tinggi kadarnya daripada belajar kooperatif. Secara fisik belajar kolaboratif tak ada beda bentuk maupun formulanya dengan belajar kooperatif, yang membedakan terletak pada intensitas interaksi, isi kegiatan dan implikasi yang ditimbulkannya bagi setiap anggota kelompok belajar yaitu adanya rasa saling ketergantungan dan tanggungjawab yang ditopang oleh kemandirian dari setiap individu yang terlibat dalam belajar melalui interaksi sosial. Semua sifat dan bentuk serta karakteristik belajar kooperatif merupakan prakondisi belajar kolaboratif.

 

2. Elemen Dasar Belajar Kolaboratif

Wujud kerjasama yang mengandung unsur kolaborasi adalah bukan bentuk kerjasama pebelajar yang hanya sekedar duduk berdampingan asyik berbincang satu sama lain dalam satu meja mengenai tugas masing-masing, dan juga bukan kerjasama dalam arti tugas kelompok telah diselesaikan oleh satu orang sementara yang lainnya hanya tumpang nama pada laporan hasil kelompok.

Elemen-elemen dasar kerjasama kolaboratif yang penting adalah (1) kesalingtergantungan secara positif; (2) adanya interaksi saling ketemu muka dalam bekerjasama; (3) rasa tanggungjawab  individu untuk menyelesaikan tugas bersama; dan (4) dibutuhkannya keterampilan interpersonal dan kerjasama kelompok kecil (Johnson & Johnson, 1987:12-13).

Kerjasama kolaboratif menjadi tim yang efektif menurut Schrage (1989) jika didukung oleh 4(empat) elemen utama  berikut ini:

(1) a compelling, shared goal or goals; (2) team members with unique competencies that will contribute to successful outcomes; (3) members that operate within a formal structure, with defined roles that facilitate collective/collaborative work; and (4) mutual respect, tolerance, and trust .

 

Menurut Lundgren (1994:22-26) kolaboratif yang terjadi dalam pengajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi pebelajar juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kerjasama (kooperatif). Ketrampilan kerjasama membuahkan implikasi adanya keterampilan sosial  yang dibutuhkan untuk berkolaboratif.  Keterampilan kerjasama berfungsi melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok, sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan. Rasa kesalingtergantungan tercipta melalui kerjasama kolaboratif.

Keterampilan-keterampilan bekerjasama tersebut antara lain:

a.      Keterampilan  kerjasama  tingkat awal: (a) menggunakan kesepakatan, (b) menghargai kontribusi, (c) mengambil giliran dan berbagi tugas, (d) berada dalam kelompok, (e) berada dalam tugas, (f) mendorong partisipasi, (g) mengundang orang lain untuk berbicara, (h) menyelesaikan tugas pada waktunya, (i) menghormati perbedaan individu.

b.      Keterampilan tingkat menengah: (a) menunjukkan penghargaan,             (b) mengungkapkan ketidak setujuan dengan cara yang dapat diterima,   (c) mendengarkan dengan aktif, (e) membuat ringkasan, (f) menafsirkan, (g) mengatur dan mengorganisir, (h) menerima tanggung jawab, (i) mengurangi ketanggangan.

c.      Keterampilan tingkat mahir: (a) mengelaborasi, (b) memeriksa dengan cermat, (c) menanyakan kebenaran, (d) menetapkan tujuan, (e) berkompromi.

Untuk menunjang pencapaian tujuan belajar, pengelolaan belajar kolaboratif harus diorganisasi dan dikelola pola interaksi pembelajarannya baik hubungan antara dosen-pebelajar maupun antar pebelajar sedemikian rupa. Sandra Howard (2001) melansir seperangkat langkah untuk pengorganisasian proses kerja kolaborasi tim yang terdiri dari 9(sembilan) hal yakni :

(1)   Mengembangkan pemahaman pebelajar pentingnya timkerja (promoting student insight into the importance of teamwork)

(2)   Pembentukan tim (forming the teams)

(3)   Membantu tim memfokuskan tugas pokoknya (helping teams maintain focus through written aids)

(4)   Membagi tanggungjawab secara bijaksana (distributing responsibilities wisely)

(5)   Mengembangkan tanggungjawab dan akuntabilitas (promoting accountability and responsibility)

(6)   Meningkatkan ketrampilan menulis (promoting improved/enhanced writing skills)

(7)   Menyiapkan bantuan awal dan umpan balik (providing initial guidance and feedback)

(8)   Penggunaan lembar pencatatan untuk pengorganisasian dan perencanaan (using record-keeping forms for organizing and planning)

(9)   Pelaksanaan umpan balik instruktur (ongoing instructor feedback)

 

3. Landasan Teoritis Belajar Kolaboratif

Teori belajar kolaboratif dimotori oleh Bruffee (Zamroni, 2000:156) tumbuh dan berkembang atas kesadaran akan pentingnya pengembangan diri pribadi pebelajar yang holistik, sehingga menuntut perubahan mendasar proses pembelajaran konvensional yang didominasi oleh ceramah dengan pengajar sebagai sumber tunggal dan pebelajar sebagai pendengar yang baik. Teori belajar kolaboratif menekankan pada proses pembelajaran yang digerakkan oleh keterpaduan aktivitas bersama baik intelektual, sosial dan emosi secara dinamis baik dari fihak pebelajar maupun pengajar.

Teori ini didasarkan pada gagasan bahwa pencarian dan pengembangan  pengetahuan adalah merupakan proses aktivitas sosial, dimana pebelajar perlu mempraktikannya. Pebelajar bukanlah penonton dan pendengar yang pasif, tetapi mereka harus dilibatkan dalam proses pembelajaran, lingkungan diciptakan untuk mendorong dan menghargai inisiatif pebelajar, dan perlu perlakuan pemberian insentif bagi keterlibatan pebelajar. Tujuan akhir adalah menghasilkan pebelajar yang utuh yakni matang intelektual, sosial dan emosi. Mereka adalah generasi baru yang diharapkan yang disamping memiliki prestasi akademik cemerlang, juga memiliki kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang kuat. Praktik pendidikan dibawa ke jalur yang benar yakni menghasilkan manusia yang ber-“otak” dan ber-“hati” (Zamroni, 2000:146-147).

Belajar kolaboratif meskipun belum banyak diterapkan dalam praktik,  secara paradigma telah diterima secara luas oleh para ahli pendidikan, karena memiliki keunggulan-keunggulan, bahkan merupakan bentuk pembelajaran yang paling efektif (Johnson & Johnson, 1984; Panitz & Panitz,1996).           

Belajar kolaboratif sejalan dengan pandangan Covey (1989:38), bahwa dengan tindakan “berpikir menang/menang” mengingatkan seseorang yang dipenuhi pertentangan untuk berperilaku kerja tim sehingga dapat mengendalikan perilaku diri untuk bekerjasama antar sesama dalam mencapai tujuan  bersama.

Tindakan tersebut merupakan salah satu dari 7(tujuh) kebiasaan sebagai agenda untuk perbaikan diri dalam lingkup perusahaan yang ditawarkan Covey. Kebiasaan itu selengkapnya: (1) menjadi proaktif; (2) mengawali dengan bagian dari akhir yang telah dipikirkan sebagai orientasi dari tujuan; (3) menempatkan yang pertama sebagai yang utama; (4) berpikir menang/menang; (5) mengutamakan memahami, baru berusaha dipahami; (6) sinergis, perlu kerja tim, perbedaan adalah yang berharga; (7) mempertajam pandangan, kebiasaan memperbaharui diri (baik mental, spiritual,sosial/emosi dan fisik). Covey berkesimpulan bahwa kesuksesan bagi orang-orang yang pernah berhasil, tercapai berdasarkan pada prinsip dan pada karakter individu yang bersangkutan (Kreitner & Kinicki, 2000:402).

Mahnaz Moallem (2003:88) mengidentifikasi 4(empat) tipe pentingnya kerjasama kolaboratif pemecahan masalah dalam kelompok yang dirangkumkan dari beberapa penelitian antara lain:

(1)         Menumbuhkan tanggungjawab individu, karena diantara individu menyadari akan adanya tugas-tugas bersama dalam kelompok (Johnson, Johnson, & Smith, 1991; Slavin, 1995).

(2)          Meningkatkan komitmen pada kelompok dan tujuan-tujuan bersama dimana anggota kelompok saling bantu-membantu, saling membutuhkan, memberikan umpan balik yang tepat, dan memberi dorongan untuk pencapaian tujuan-tujuan bersama (Johnson, et al., 1991; Slavin, 1995).

(3)         Memperlancar interaksi antar individu dan antar kelompok di antara anggota kelompok, yang memungkinkan tiap anggota menampilkan keterampilan sosial dan kompetensi dalam berkomunikasi (Rubin, Rubin, & Johnson, 1997).

(4)         Memberikan stabilitas pada kelompok sehingga anggota kelompok dapat bekerjasama dengan anggota lain dalam waktu yang cukup lama tapi tidak melelahkan dan dapat membangun norma kelompok, penampilan tugas bersama, dan pola-pola interaksi (McGrath, 1992).

Model kerjasama kolaboratif  menurut Mahnaz Moallem (2003:87) diilustrasikan sebagaimana tampak pada gambar 12.

          

Peer Interaction

(Peer Support)

 

Group Interaction (Community Support)

 

Individual Interaction (Cognitive Support)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 12

Model Kolaboratif

(adaptasi dari Collaborative design model Mahnaz Moallem, 2003:87)

Bentuk interaksi yang terjadi sebagai perantara dalam belajar, adalah (1) interaksi kognitif atau interaksi individual yakni interaksi dengan isi bahan belajar, dan (2) interaksi sosial atau interaksi antar individu (interpersonal) (Mahnaz Moallem , 2003:86). Keduanya sangat penting dalam kegiatan belajar, sejalan dengan pandangan konstruktivisme yang menekankan bahwa  belajar  mengetahui (knowing) memiliki peranan sangat vital dalam dimensi interaksi manusia dalam belajar (Gilbert & Moore, 1998; Knowles, 1990; Moore, 1992; Mortera-Gutierrez & Murphy, 2000; Murhead, 199, 2000).

Belajar juga merupakan sebuah konstruksi  sosial  yang  dibangun  melalui  bahasa  dan   diskursus sosial; dalam belajar mengetahui (knowing) pengetahuan dikonstruksi karena dampak keterlibatan dalam siklus perkembangan yang memfasilitasi perubahan konseptual pebelajar demikian penegasan Vygotsky, 1978; Shaw, 1996(Mahnaz Moallem, 2003:86)

Interaksi sosial akan terjadi pada lingkungan belajar yang kolaboratif dengan kerjasama serta adanya dialog aktif (Moore, 1991; Saba & Shearer, 1994). Dalam situasi demikian lingkungan belajar akan tampil dalam beragam perspektif yang memberi kesempatan untuk membentuk tahapan pengetahuan seperti seorang pebelajar saling bertukar informasi   dengan   lainnya,   dengan   orang-orang sekitarnya dan dengan para ahli dalam bidang itu. (Harasim,1989 dalam Mahnaz Moallem, 2003:86).

Interaksi sosial telah digunakan sebagai landasan prosedur belajar pemecahan masalah sebagaimana dirangkum Mahnaz Moallem (2003:87) dari penelitian Barrows & Tamblyn, 1980; Blacklow & Engel, 1991; Boud, 1985; Boud & Feletti, 1991; Engel, 1997 dengan tujuan agar terjadi proses transfer belajar dari guru kepada pebelajar (Knowles, 1975; Peterson, 1996). Untuk menyusun dan merancang pola belajar yang aktivitasnya kolaboratif diperlukan frame bahan belajar atau isi materi yang diikuti dengan tugas-tugas.

Bentuk-bentuk pendekatan belajar lainnya yang mengandung berbagai aspek pendekatan kolaboratif antara lain dikenal dengan experiential learning, cognitive apprenticeships, service learning, case-based learning dan project-based learning. Bentuk-bentuk ini oleh Schmidt, 1984 dikatakan belum komprehensif. Masing-masing hanya memfokuskan pada aspek tertentu dari belajar kolaboratif. Belajar kooperatif hanya menekankan pengelompokan pebelajar dan penstrukturan kegiatan, problem-based learning memfokuskan pada penciptaan sekenario masalah dan memfasilitasi belajar dengan penggunaan tutor. Belum ada yang dengan jelas menguraikan bagaimana membimbing proses kerja pebelajar pemecahan masalah yang secara nyata (diambil tanggal 10 Desember 2005 dari http://www. indiana.edu/~educr795/ prop1.html).

Untuk menciptakan suasana kelas yang kreatif, bervariasi dan mengarah kepada pemecahan masalah, Johnson & Johnson, 1984 menyarankan 5(lima) unsur penting teknik untuk dipertimbangkan dalam belajar kerjasama yaitu: (1) kesalingtergantungan yang positip (positive interdependence); (2) interaksi tatapmuka yang menarik (face-to-face interaction); (3) tanggungjawab perorangan (individual accountability); (4) interpersonil dan kecakapan kerja kelompok (interpersonal and small group skills), dan (5) proses kelompok (group processing). Semua unsur dalam belajar bekerjasama digunakan dalam situasi-situasi yang kolaboratif.

Dari berbagai pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa peristiwa belajar kolaboratif akan terjadi jika ada rasa saling tanggungjawab dan terbentuk dalam suasana kerjasama di antara anggota-anggota dalam kerja kelompok atau tim. Suasana kolaboratif merupakan esensi dari belajar kelompok, keberhasilannya sangat tergantung dari kemampuan anggota kelompok dalam membiasakan diri perilaku dalam kerja kelompok..

 

4. Perbedaan Belajar Kolaboratif dengan Belajar Kelompok Tradisional

Keunggulan belajar kolaboratif dibanding dengan belajar kelompok yang tradisional (Johnson & Johnson, 1987:14) sebagaimana tampak pada tabel  berikut.

Tabel 2

Perbedaan Belajar Kolaboratif dan Belajar Kelompok Tradisional

Belajar Kolaboratif

Belajar Kelompok Tradisional

Kesalingtergantungan yang positif

Tak ada kesalingtergantungan

Akontabilitas individu

Tak ada akontabilitas individu

Heterogen

Homogen

Kepemimpinan berbagi bersama

Kepemimpinan ditangan satu orang

Saling Berbagi tanggungjawab

 

Tanggungjawab untuk diri sendiri

Lebih menekankan pada tugas dan pemeliharaan

Hanya menekankan pada tugas

Ketrampilan sosial sekaligus terajarkan

Ketrampilan sosial hanya diasumsikan dan terabaikan

Guru mengamati dan mengintervensi

Guru mengabaikan fungsi kelompok

Proses kelompok sebagai ukuran efektivitasnya

Tidak ada proses kelompok

 

Belajar kolaboratif mengandung unsur yang menguntungkan, tetapi banyak guru belum menggunakan, akibat sistem pendidikan dewasa ini terlalu menekankan pada materi pengajaran (orientasi materi) dan menghargai keberhasilan individu sebagi buah dari persaingan atau kompetisi. Selain itu juga karena para guru tidak pernah menerima bekal tentang teknik dan strategi pembelajaran kolaboratif. Pelatihan-pelatihan yang ada juga jarang yang secara lengkap membekalkan tentang pembelajaran kolaboratif.

Mengapa para guru bertindak resisten dan bertahan tidak mau menggunakan teknik pembelajaran kolaboratif, beberapa alasan (Panitz dan Panitz, 2005) yang menyebabkannya antara lain:

(1) Takut kehilangan kontrol di dalam kelas, hal ini akibat teknik kolaboratif lebih memberikan tanggungjawab belajar kepada pebelajar, sehingga ada ketakutan materi tidak tersampaikan seluruhnya.

(2) Kehilangan kepercayaan diri, takut dan kurang percaya diri jika menggunakan teknik kolaboratif menemui kesulitan dalam praktiknya.

(3) Khawatir materi pelajaran tak terselesaikan, penerapan kerja kelompok dan kolaboratif dipandang butuh waktu banyak untuk interaksi dalam kelompok, untuk merumuskan kesepakatan yang akan dipresentasikan di kelas.

(4) Kurangnya bahan yang digunakan di kelas (Irwin et al, 1985); teknik kolaboratif menuntut guru harus membuat handout yang cukup untuk menciptakan kelas bersuasana kesalingtergantungan (interdependence).

(5) Para guru egois; anggapan umum kelas adalah tempat untuk menunjukkan pengetahuan dan keahlian guru, sehingga guru berperasaan bahwa pebelajar tidak bisa dipercaya untuk belajar sendiri. Jadi ada unsur ego pada diri guru.

(6) Kurang mengenal teknik asesmen alternatif; karena pola belajar kolaboratif maka banyak guru tidak kenal dengan bagaimana mengases kemampuan kelompok dan melakukan gradasi untuk kelompok.

(7) Terlalu memperhatikan evaluasi pengajar dan perkembangan individu. Bagi pengajar yang belum pernah dilatih pembelajaran kolaboratif, aktivitas-aktivitas semacam ini bisa jadi tidak efektif dalam mengajar dan akhirnya membuat hasil evaluasi kinerja mereka oleh supervisornya menjadi jelek.

(8) Pebelajar resisten terhadap teknik kolaboratif. Pada awal pengenalan teknik kolaboratif, pebelajar akan bereaksi dengan pola lingkungan atau nuansa yang baru. Nuansa yang sebelumnya pasif, menjadi dirasa ada tanggungjawab belajar, penuh interaksi, terdorong berpikir kritis pada diri setiap pebelajar.

(9) Guru kurang mendalami cara mengelola teknik kolaboratif. Persoalan yang sering terjadi guru sering terkonsentrasi kepada sebagian kecil pebelajar yang pintar-pintar, dan akhirnya hanya sekelompok kecil ini yang mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru.

(10) Teknik kolaboratif jarang dilatihkan pada pelatihan guru. Pelatihan-pelatihan tentang metode mengajar tidak mempercepat sosialisasi teknik belajar kolaboratif.

Kegiatan belajar menurut konstruktivisme merupakan kegiatan aktif pebelajar untuk menemukan sesuatu dan membangun sendiri pengetahuannya. Pebelajar harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi obyek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru. Pebelajar membentuk pengetahuannya sendiri dan pengajar membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.

Belajar kolaboratif sangat relevan dan sangat mungkin untuk dikembangkan karena dalam belajar kolaboratif memungkinkan berlangsungnya proses belajar yang ciri-cirinya selaras dengan ciri-ciri belajar konstruktivisme. Pengetahuan pebelajar dalam kelompok dapat dibentuk baik secara inidividual maupun sosial demikian menurut Shymansky, 1992; Watts & Pope, 1989 (Suparno, 1997:63).

Belajar secara kolaboratif sangat membantu pebelajar karena memiliki unsur-unsur yang berguna untuk menantang pemikiran dan meningkatkan harga diri pebelajar. Kebermanfaatan belajar secara kolaboratif telah dihimpun oleh Panitz dan Panitz (2005) terdiri dari 38 macam manfaat:

(1)               Develops higher level thinking skills (Webb 1982)

(2)               Promotes student-faculty interaction and familiarity.

(3)               Increases student retention.

(4)               Builds self esteem in students (Johnson dan Johnson 1989).

(5)               Enhances student satisfaction with the learning experience.

(6)               Promotes a positive attitude toward the subject matter.

(7)               Develops oral communication skills (Yages 1985).

(8)               Develops social interaction skills.

(9)               Promotes positive race relations (Johnson dan Johnson 1972).

(10)           Creates an environment of active, involved, exploratory learning (Slavin 1990).

(11)           Fosters team building and a team approach to problem solving while maintaining individual accountability (Cooper et al. 1984; Johnson, Johnson dan Holubec 1984).

(12)           Encourages diversity understanding (Burnstein dan McRae 1962).

(13)           Encourages student responsibility for learning (Baird dan White 1984).

(14)           Involves students in developing curriculum and class procedures (Kort 1992).

(15)           Students explore alternate problem solutions in a safe environment (Sandberg 1995).

(16)           Stimulates critical thinking and helps students clarity ideas through discussion and debate (Johnson 1973a, 1974a).

(17)           Enhances self management skills (Resnick 1987).

(18)           Fits in well with the contructivist approach (Davis, Mahler dan Noddings 1990).

(19)           Establishs an atmosphere of cooperation and helping schoolwide (Deutsch 1975, 1985).

(20)           Students develop responsibility for each other.

(21)           Builds more positive heterogeneous relationships.

(22)           Encourages alternate student assessment techniques (Rosenshine dan Stevens 1986).

(23)           Fosters and develops interpersonal relationships (Johnson dan Johnson 1987).

(24)           Modelling problem solving techniques by students’ peers (Schunk dan Hanson 1985).

(25)           Student are taught how to criticize ideas, not people (Johnson, Johnson & Holubec 1984)

(26)           Sets high expectations for students and teachers.

(27)           Promotes higher achievement and class attendance (Hagman & Hayes 1986).

(28)           Students stay on task more and are less disruptive.

(29)           Greater ability students to view situations from others’ perspectives (Development of empathy).

(30)           Creates a stronger social support sistem (Cohen & Willis 1985).

(31)           Creates a more positive attitude toward teachers, prinsipals and other school personnel by students and creates a more positive attitude by teachers toward their students.

(32)           Addresses learning style differences among students (Midkiff & Thomasson 1993).

(33)           Promotes innovation in teaching and classroom techniques (Slavin 1980, 1990).

(34)           Classroom anxiety is significantly reduced (Kessler, Price & Wortman 1985).

(35)           Tes anxiety is significantly reduced (Johnson & Johnson 1989).

(36)           Classroom resembles real life social and employment situations.

(37)           Students practice modelling societal and work related roles.

(38)           Collaborative is synergistic with writing across the curriculum.

Bandura (Kreitner & Kinicki, 2000:400) dengan teori belajar sosialnya berpandangan bahwa perilaku dikendalikan dengan isyarat dan konsekuensi yang berkaitan dengan lingkungan, dengan demikian proses kognitif atau mental mempengaruhi respons seseorang terhadap lingkungan.

Kesuksesan adalah buah dari kesalingtergantungan (interdependence) Covey (1989:38). Kesalingtergantungan (interdependence) mengandung nilai inti perdamaian yang harus dikembangkan yang terdiri dari:(1) cinta, (2) keharuan, (3) harmoni, (4) toleransi, (5) mengasuh dan berbagi, (6) interdependensi, (7) pengenalan jiwa orang lain, (8) spiritualitas, dan (9) perasaan berterimakasih. Harapan suasana damai sebagai cita masyarakat dunia seperti dicirikan oleh nilai-nilai itu, harus ditumbuh-kembangkan salah satunya melalui praktik pengajaran pada berbagai jalur dan jenjang pendidikan.

Pengembangan model belajar kolaboratif merupakan wahana yang tepat untuk misi penanaman nilai-nilai damai ini karena muatannya sangat relevan untuk mewujudkan karakter dan perilaku individu anggota masyarakat yang dicitakan. Pembekalan nilai-nilai damai adalah kebutuhan yang rasional dan mendesak untuk membentuk karakter dan perilaku pebelajar calon pengajar yang sekaligus juga untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam arti luas.

Secara khusus pembekalan nilai-nilai damai juga perlu dilakukan pada tiap-tiap matakuliah dengan tidak mengabaikan esensi dari pembentukan kompetensi sebagai pengajar.  Implikasinya maka setiap usaha membelajarkan pebelajar dengan tujuan peningkatan kompetensi, seyogianya menerapkan pola pengajaran kolaboratif. Oleh sebab itu peningkatan kemampuan pemecahan masalah dalam kuliah Akuntansi yang pengelolaan pengajarannya diorganisir secara kolaboratif, tidak terlepas dari misi untuk membentuk karakter dan perilaku damai di kalangan calon pendidik sesuai yang dicitakan.

Pendukung-pendukung belajar kolaboratif berargumentasi, bahwa pertukaran gagasan di antara anggota kelompok tidak saja meningkatkan minat di antara anggota melainkan juga meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Sebagaimana Johnson dan Johnson (1986:35) berkesimpulan bahwa terdapat peristiwa persuasif di mana kerjasama tim dapat mencapai tingkat berpikir tertinggi dan memperoleh informasi lebih banyak ketimbang tiap individu bekerja sendiri-sendiri meskipun sudah dengan sungguh-sungguh.

Belajar saling berbagi di antara pebelajar memberi peluang terlibat dalam diskusi, bertanggungjawab untuk keberhasilan belajar pada dirinya sendiri, dan akhirnya menjadi pemikir kritis  demikian menurut Totten, Sills, Digby, & Russ, 1991 sebagaimana dikutip Gokhale (1995).  Indikasi positif dari belajar kolaboratif yang lain dapat ditengarai bila dibandingkan dengan pengajaran yang tradisional.

Belajar kolaboratif yang ditekankan adalah bukan pencapaian hasil belajar tetapi lebih mengutamakan bagaimana proses belajar yang dialami pebelajar dapat berlangsung yang memungkinkan proses pembentukan pengetahuan   pada  dirinya.  Babbage,  Byers &  Redding (1999:60) telah mengidentifikasikan proses keterlibatan yang terjadi dalam  proses belajar  individu  terkait  dengan  tujuan belajar pemecahan masalah. Proses keterlibatan itu antara lain: (1) knowing-there is a problem to solve; (2) willing-to solve the problem; (3) analysing-the task; (4) understanding-the rules of the investigation; (5) asking-appropriate questions; (6) answering-questions; (7) choosing-the right resources to use; (8) hypothesising-about what might happen; (9) waiting-for something to happen; (10) attending-throughout the task; (11) sequencing-thoughts and actions; (12) assessing-results.

Pada tabel berikut dikutip berbagai indikasi perbedaan antara pengajaran tradisional dan pengajaran kolaboratif.

Tabel 3

Perbandingan Pengajaran Tradisional dan Pengajaran Kolaboratif

Pengajaran tradisional

(A teacher centered environment)

Pengajaran Kolaboratif

(A student centered environment)

The teacher is in control.

Students are in control of their own learning.

Power and responsibility are primarily teacher centered.

Power and responsibility are primarily student centered.

The teacher is the instructor  and decision maker.

The teacher is a facilitator and guide. The students are the decision makers.

The learning experience is often competitive in nature. The competition is usually between students. Students resent others using their ideas.

Learning may be co-operative, collaborative or independent. Students work together to reach a common goal. Students willingly help each other sharing/exchanging skills and ideas.  Students compete with their own previous performance, not against peers.

Series of smaller teacher defined tasks organized within separate subject disciplines.

Authentic, interdisciplinary projects and problems.

Learning takes place in the classroom.

Learning extends beyond the classroom.

The content is most important.

The way information is processed and used is most important. 

Students master knowledge through drill and practice.

 

Students evaluate, make decisions and are responsible for their own learning. Students master knowledge by constructing it.

Content is not necessarily learned in context.

 

Content is learned in a relevant context. 

 

Dari pandangan-pandangan yang telah dipaparkan dapat dikatakan, bahwa belajar secara kolaboratif dapat meningkatkan partisipasi pebelajar dalam proses belajar. Belajar kolaboratif merupakan suatu himpunan pendekatan untuk mendidik, yang terkadang juga disebut sebagai belajar kooperatif atau belajar kelompok kecil. Belajar kolaboratif menciptakan suasana yang melibatkan pebelajar mengerjakan sesuatu dan berpikir tentang sesuatu yang ia kerjakan, dan mendorong yang lain untuk ikut terlibat. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa belajar kolaboratif merupakan salah satu strategi mengajar yang dapat diandalkan untuk dapat membuat proses pembelajaran menjadi aktif dan efektif yang sekaligus dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian.

 

5. Tahap-tahap Pembelajaran Kolaboratif

Pengajaran kolaboratif mempunyai 6 langkah utama (Arend, 2000) yaitu: (1) penyampaian tujuan dan memotivasi pebelajar; kedua, penyajian informasi dalam bentuk demonstrasi atau melalui bahan bacaan; (3) pengorganisasian pebelajar ke dalam kelompok-kelompok belajar; (4) membimbing kelompok bekerja dan belajar; (5) evaluasi tentang apa yang sudah dipelajari sehingga masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya; (6) memberikan penghargaan baik secara kelompok maupun individu.

 

6. Gradasi (Pemberian Nilai)

Esensi dari belajar kolaboratif adalah persepsi tentang kesalingtergantungan. Salah satu cara untuk menciptakan persepsi kesalingtergantungan adalah dengan memberikan tantangan pemberian bonus atau hadiah (reward) atas prestasi kerja yang didapat dari kesalingtergantungan itu.

Menurut Johnson & Johnson, 1984 (Johnson & Johnson, 1987:137-138) ada 11(sebelas) cara untuk pola pemberian nilai dan bonus sebagai hadiah (reward). Cara-cara itu antara lain:

(1)      Pemberian nilai berupa rerata dari skore yang diperoleh anggota kelompok.

(2)      Pemberian nilai merupakan total dari skore individu anggota kelompok.

(3)      Pemberian nilai didasarkan pada skore kelompok yang terletak pada hasil kerja tertentu, misalnya laporan kerja kelompok. Hasil ini dinilai dan semua anggota menerima skore dari hasil penilaian ini.

(4)      Pemberian nilai didasarkan pada skore penilaian secara random dari salah satu kertas kerja anggota kelompok. Anggota kelompok menyelesaikan tugas secara individual masing-masing, dan melakukan saling periksa kertas kerja di antara mereka,  kemudian menentukan salah satu sebagai yang sempurna dan terbaik. Dosen kemudian memberikan skore penilaian atas paper yang terpilih ini, dan skore ini merupakan nilai dari setiap anggota kelompok tersebut.

(5)      Pemberian nilai dilakukan dengan prosedur dipilih secara random salah satu hasil ujian anggota kelompok kemudian diberi skore. Anggota kelompok menyiapkan suatu ujian dan menyatakan tiap anggota telah menguasai bahan. Kemudian semua anggota kelompok mengikuti ujian secara individual. Karena tiap anggota telah menyatakan menguasai bahan yang dipelajari, maka sedikit sekali perbedaan hasil ujian jika diskore. Dosen kemudian memilih salah satu secara random untuk diberi skore, dan skore ini merupakan skore yang diterima untuk setiap anggota kelompok.

(6)      Pemberian nilai didasarkan pada skore inidividu ditambah skore bonus kelompok. Anggota kelompok belajar bersama dan semua dinyatakan telah menguasai bahan. Kemudian setiap anggota kelompok mengikuti ujian secara individual dan mendapatkan skore. Jika semua anggota kelompok mencapai lebih dari kreteria yang ditentukan, tiap anggota kelompok akan menerima bonus.

(7)      Pemberian nilai atas dasar poin bonus yang diberikan berdasarkan skore terendah. Tiap anggota kelompok saling menyiapkan diri untuk ujian. Anggota kelompok menerima poin bonus berdasarkan skore terendah yang dicapai dalam kelompok mereka. Prosedur ini menumbuhkan, mendorong dan membimbing bagi yang mendapat skore rendah dalam kelompoknya. Kreteria poin bonus dapat disesuaikan pada setiap kelompok belajar, tergantung pada tampilan skore terendah anggota kelompok yang lalu.

(8)      Pemberian nilai atas dasar skore individu ditambah rerata skore kelompok. Tiap anggota kelompok saling siap untuk mengambil ujian. Tiap anggota ikut ujian akan mendapatkan skor. Kemudian setiap anggota ujian dan mendapatkan skore. Skore anggota kelompok kemudian dirata-rata. Rerata skore kelompok ditambahkan pada skore tiap individu.

(9)      Pemberian nilai mengikuti prosedur di mana tiap anggota kelompok memperoleh skore dari skore terendah anggota kelompok. Anggota kelompok satu sama lain siap menempuh ujian. Masing-masing menempuh ujian sendiri-sendiri. Semua anggota kelompok kemudian mendapatkan skore dari skore terendah yang dicapai oleh anggota kelompok.

(10)  Pemberian nilai didasarkan pada rerata skore prestasi ditambah skore kecakapan berkolaborasi. Kelompok bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas. Mereka menempuh ujian sendiri-sendiri dan kemudian skorenya dirata-rata. Selain itu kerja mereka diamati dan kegiatan kecakapan berkolaborasi frekuensinya dicatat (kepemimpinan, kepercayaan dsb.). Atas dasar ini skore kecakapan berkolaborasi kelompok diberikan dan ditambahkan pada rerata prestasi kelompok yang kemudian menjadi skore untuk masing-masing semua anggota kelompok.

(11)  Pemberian nilai dengan memberi hadiah ganda prestasi akademik dan non-akademik. Anggota kelompok saling siap untuk menempuh tes secara individu, dan mendapatkan nilai secara individu. Berdasarkan rerata kelompok, mereka memperoleh hadiah bebas waktu, tambahan waktu senggang, atau hadiah yang lain.

Untuk kepentingan pengembangan gradasi penilaian pada penelitian ini akan dikembangkan pola tersendiri tetapi mengacu pada contoh-contoh tersebut yang dituangkan dalam preskripsi asesmen.

 

7. Konsep Dasar Model Pembelajaran Kolaboratif Investigasi Kelompok

 

a. Tujuan dan Asumsi

Dewey, 1916 (Udin S.,2001:34) telah menyarankan bahwa keseluruhan kehidupan sekolah harus ditata sebagai bentuk kecil atau miniatur kehidupan demokrasi. Untuk itulah pebelajar seyogianya memperoleh kesempatan dan pengalaman dalam membangun sistem sosial secara berangsur-angsur belajar bagaimana menerapkan metode yang berwawasan keilmuan dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Dalam kerangka pemikiran yang demikian Joyce dan Weil (1996:75) menyatakan bahwa suasana kelas merupakan analogi dari kehidupan masyarakat, yang didalamnya ada tatatertib, dan budaya kelas. Yang harus dikembangkan pebelajar adalah memelihara cara hidup, standar hidup dan pengharapan yang tumbuh di dalam kehidupan kelas.

Oleh sebab itu tugas dosen harus memfasilitasi dengan menciptakan suasana yang memungkinkan tumbuhnya kehidupan kelas seperti dimaksud. Pemikiran ini sejalan dengan usaha untuk mereformasi dunia pendidikan yang mengacu pada perkembangan ekonomi dan masyarakat yang cepat dan kemampuan tenaga kerja yang diperlukan yang menetapkan perlunya pengembangan skill dasar bagi setiap pebelajar. Skill dasar itu menurut Murname dan Levy (Zamroni, 2000:154) meliputi (1) the hard skills, yang mencakup dasar-dasar matematik, problem solving, dan kemampuan membaca, (2) the soft skills, yang meliputi kemampuan bekerja sama dalam kelompok dan kemampuan untuk menyampaikan ide dengan jelas baik lisan maupun tulis, (3) kemampuan memahami bahasa komputer yang sederhana, seperti word processor.

Kelas dengan kerjasama kolaboratif merupakan gambaran awal untuk tumbuhnya wawasan pebelajar sebagaimana yang diharapkan dalam hidup demokrasi. Hidup demokrasi sebagaimana dicitakan, berwujud tampilnya kultur sekolah yang ideal. Banyak bukti menunjukkan, bahwa kultur sekolah yang guru-gurunya diorganisir dalam suatu tim yang masing-masing anggotanya memiliki peran yang sederajat, otonom, saling menghormati, dan saling membantu telah berjalan lebih baik daripada guru yang diorganisir berdasarkan otoritas yang bersifat hirarkhis (Zamroni, 2000:39).

Melalui model investigasi kelompok, mahasiswa akan bekerja dan belajar cara-cara anggota masyarakat melakukan proses mekanisme sosial melalui berbagai proses pengambilan keputusan untuk memperoleh kesepakatan-kesepakatan. Belajar kemampuan pemecahan masalah dalam Akuntansi sangat tepat dilakukan dengan model ini karena selain pengembangan keilmuan secara akademis, mahasiswa sekaligus melatih diri belajar melalui kesepakatan-kesepakatan dan mereka terlibat langsung praktik dalam pemecahan masalah sosial.

Tiga konsep utama yang dikandung dalam model investigasi kelompok, yakni (1) penyelidikan atau inquiry, (2) pengetahuan atau knowledge, dan dinamika belajar kelompok atau the dynamics of the learning group. Penyelidikan adalah proses di mana mahasiswa dirangsang dengan dihadapkan pada masalah. Dalam proses ini mahasiswa masuk dalam situasi melakukan respon terhadap masalah yang mereka rasakan untuk dipecahkan. Wujud masalah itu dapat berasal dari mahasiswa sendiri atau dari dosen.

Dalam penelitian ini masalah sudah dipreskripsi dalam bentuk bahan belajar dalam Satuan Acara Perkuliahan (SAP). Untuk memecahkan masalah tersebut dituntut prosedur dan persyaratan yang sudah tertentu kaidahnya menurut norma dalam pemecahan masalah kasus Akuntansi. Kemudian pengetahuan, adalah pengalaman yang didapat oleh mahasiswa secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan pemecahan masalah. Dinamika kelompok menunjuk  pada suasana yang menggambarkan sekelompok individu saling berinteraksi membicarakan sesuatu yang sengaja dikaji bersama. Proses yang terjadi adalah berbagi gagasan dan pendapat, saling tukar pengalaman, dan saling adu argumentasi. Ketiga hal inilah yang merupakan dasar dari investigasi kelompok sebagai unsur-unsur dasar dalam pengelolaan belajar kolaboratif.

 

b. Prinsip Pengelolaan

Prinsip pengelolaan yang digunakan sebagai acuan, bahwa pengembangan sistem sosial harus berlangsung secara demokratis, ditandai oleh keputusan-keputusan yang tumbuh dari iklim konsensus atau kesepakatan kelompok dengan pokok masalah sebagai sentral kegiatan belajar. Dosen diupayakan seminimal mungkin memberi kontribusi pengarahan, sehingga kelas acapkali tampak tak terstruktur. Dosen dan mahasiswa berstatus sama dalam menghadapi masalah sebagai sentral kegiatan belajar, tetapi peranannya berbeda.

Oleh sebab itu prinsip yang dipegang adalah bahwa dosen sebagai konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang konstruktif. Bimbingan diarahkan melalui proses tiga tahap: (1) tahap pemecahan masalah, (2) tahap pengelolaan kelas, dan (3) tahap pemaknaan secara perorangan. Tahap pemecahan masalah adalah tahap berkaitan dengan upaya menjawab pertanyaan apa hakikat dan fokus dari masalah. Tahap pengelolaan berkaitan dengan proses menjawab pertanyaan, antara lain informasi apa yang dibutuhkan, bagaimana mengorganisir kelompok untuk memperoleh linformasi itu. Tahap pemaknaan perseorangan berkenaan dengan proses pengkajian bagaimana kelompok menghayati kesimpulan yang dibuat, dan apa yang membedakan seseorang sebagai hasil dari terlibat proses tersebut demikian menurut Thelen (Joyce & Weil, 1996:78).

Kegiatan pembelajaran akan lancar jika sarana pendukung mencukupi. Sarana pendukung itu antara lain tersedianya bahan kajian untuk mendukung informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah dalam kelompok. Bahan belajar yang cukup, fasilitas pendukung sebagai sarana melakukan kalkulasi cukup tersedia. Media penyajian atau persentasi dalam kelas mendukung.

Dampak pengajaran yang didapat dengan penerapan belajar kolaboratif investigasi kelompok sebagaimana dilukiskan oleh Joyce dan Weil (1996:87) antara lain (1) pandangan konstrutivis tentang pengetahuan terfasilitasi; (2) penelitian yang berdisiplin, dan (3) proses dan keteraturan kelompok yang efektif. Sedangkan dampak pengiring yang mengikutinya antara lain: (1) menghormati hak asasi manusia dan komitmen terhadap keanekaragaman, (2) kemerdekaan sebagai pebelajar (mahasiswa), (3) komitmen terhadap penelitian sosial, dan (4) kehangatan dan keterikatan antar pebelajar dapat dibangun.

Selanjutnya tahap-tahap pelaksanaan pengajaran menurut investigasi kelompok meliputi 6(enam) tahap yakni : (1) penyajian situasi problematis, (2) eksplorasi (respon situasi problematis), (3) merumuskan tugas-tugas belajar dan mengorganisasikan untuk proses penelitian, (4) bekerja dan belajar individu dan kelompok, (5) analisis kemajuan dan proses yang dilakukan dalam penelitian kelompok, (6) proses pengulangan kegiatan (recycle activities).

Langkah-langkah (sintak) pengajaran kolaboratif yang dipreskripsikan merupakan ramuan sintak model investigasi kelompok ( Joice & Weil, 1996:87) di asimilasikan dengan model Silber, 2002 yang pola struktur proses pemecahan masalahnya menggunakan pola dasar pemecahan masalah kolaboratif. Secara operasional sintak pembelajarannya menjadi tampak seperti pada gambar 13 berikut.


 

Kegiatan

Dosen

Langkah

Pokok

Kegiatan

Mahasiswa

 

 

 

 

 

 

 

 

PENGELOLAAN

 

KOLABORATIF

·  Memberikan perhatian

·  Menyampaikan pengetahuan baru

·  Menyampaikan apa yang harus dipelajari dengan pengetahuan baru itu

 

 

Pemilihan dan Pemahaman Informasi

 

 

·      Memilih informasi untuk melibatkan diri

BELAJAR 

 

KOLABORATIF

 

DALAM KELOMPOK

 

 

 

 

 

·  Mengingatkan kembali (Recall) pengetahuan lama

·  Menghubungkan (Relate) pengetahuan baru dengan yang lama

 

Menghubung-kan Informasi dengan Memori

  Pencar i an

 Solus i

 

 

·      Menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki

 

·  Menstrukturkan  Isi

·  Merumuskan tujuan

·  Mengelompokkan informasi (Chunking)

·  Membuat text layout

Menyiapkan ilustrasi

 

 

 

Organisasi Informasi

 

 

 

·      Mengorganisasikan informasi yang diterima

 

·  Menyajikan pengetahuan baru

·  Memberikan contoh

 

 

Assimilasi Prosedur

 

 

 

·      Mengasimilasikan pengetahuan baru kedalam memori

 

 

 

 

 

 

·  Menyiapkan latihan

·  Rangkuman dan sintesis

 

 

Latihan,

Jawaban Pemecahan, Penguatan Memori

·      Memantapkan pengetahuan baru ke dalam memori atau ingatan untuk dapat digunakan pada situasi baru atau kerja

 

 

 

 

 

·  Memberikan umpan balik

·  Memberikan tes

 

Umpan

Balik

 

·      Melakukan refleksi diri, unjuk kerja individu dan kelompok

 

 

Gambar 13

Preskripsi Sintak Pengajaran Kolaboratif Pemecahan Masalah Akuntansi

 

A.     Sistem dan Prosedur Asesmen Sejawat

 

1.  Asesmen Dalam Kerangka Sistem Pengajaran

Asesmen sebagai bagian dari sistem pengajaran merupakan sarana untuk memantau proses dan kemajuan belajar pebelajar, sekaligus memberikan balikan bagi perbaikan proses dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dengan demikian asesmen harus mengacu dan relevan dengan rumusan tujuan yang ingin dicapai (Reiser & Dick,1996:83).

Hakikat asesmen menurut Pasal 63 ayat (1) point a) dari PP No. 19 Tahun 2005 pengembangannya ditujukan untuk penilaian hasil belajar oleh pendidik yang dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar. Fungsinya untuk menilai pencapaian kompetensi pebelajar, memenuhi bahan pelaporan kemajuan hasil belajar dan untuk memperbaiki proses pembelajaran.

Sejalan dengan pemikiran itu pengembangan ini bermaksud mengembangkan sistem dan perangkat asesmen kelas dalam kawasan variabel metode pengajaran yang terkait dengan implikasi dari penerapan strategi pengelolaan dan strategi pengorganisasian belajar (Reigeluth, 1983:21; Degeng, 1989:14).. Asesmen kelas memerlukan prakondisi variabel metode pengajaran yakni strategi pengelolaan belajar.

Penerapan hasil pengembangan asesmen akan bermanfaat jika preskripsinya telah dikaji dan dikembangkan  melalui strategi pengelolaan dan pengorganisasian pengajaran. Oleh sebab itu pengembangan asesmen untuk tujuan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah di bidang Akuntansi perlu disertai preskripsi strategi pengelolaan dan pengorganisasian isi pengajaran yang menopang penguasaan kemampuan pemecahan masalah bidang Akuntansi.

Preskripsi pengelolaan dikembangkan dengan pendekatan belajar kolaboratif; sedangkan pengorganisasian isi dipilih pendekatan strategi tingkat makro dan teori elaborasi digunakan sebagai landasan kerja pengembangannya. Komponen-komponen dalam teori elaborasi (Reigeluth dan Stein, 1983:342; Degeng, 1989:114) terdiri dari: (1) urutan elaboratif, (2) urutan prasyarat belajar, (3) rangkuman, (4) sintesis, (5) analogi, (6) pengaktif strategi kognitif, dan (7) kontrol belajar.

Kemampuan pemecahan masalah bidang Akuntansi merupakan hasil pengajaran yang diinginkan (desired outcomes), dan bukan hasil pengajaran yang nyata (actual outcomes) dalam pengertian probabilistik. Pengembangan asesmen dan pengelolaan pengajaran ini merupakan pengembangan pada kawasan teori preskriptif. Pengembangan pada kawasan teori presktiptif adalah ‘goal oriented’, sedangkan teori deskriptif adalah ‘goal free’ (Reigeluth, 1983: Degeng, 1989:21). Pengembangan asesmen ini ditujukan untuk meningkatkan kompetensi kemampuan pemecahan masalah di bidang Akuntansi dan bukan bermaksud  memerikan hasil belajar Akuntansi.

 

a. Pengertian Asesmen

Asesmen adalah proses dari pengumpulan informasi guna membuat keputusan (Anderson, 2003:xi). Popham (1995:3) mempertegas, bahwa ‘Educational assessment is a formal attempt to determine students’ status with respect to educational variables of interest’. Asesmen juga memiliki terminologi khusus guna mendeskripsikan sekalian aktivitas yang dikerjakan oleh pengajar untuk mendapatkan informasi tentang pengetahuan, ketrampilan dan sikap dari para pebelajar. Pengumpulan data melalui asesmen formal (tes obyektif) dan data informal (observasi atau daftar isian) termasuk aktivitas asesmen ini (Marsh, 1996:213).

Asesmen dapat didefinisikan juga sebagai proses dari pengumpulan dan pengujian informasi untuk meningkatkan kejelasan pengertian tentang apa yang sudah dipelajari oleh pebelajar dari pengalaman-pengalamannya (Huba dan Freed, 2000:8).

Tindakan asesmen sangat erat kaitannya dengan pengambilan keputusan.  Semakin meningkat jumlah peristiwa pengambilan keputusan dari asesmen tentang nasib pebelajar, semakin serius konsekuensi dan implikasinya dalam jangka panjang. Pengajar harus serius dalam mengemban masalah asesmen ini (Anderson, 2003:15). Persoalan-persoalan yang terkait dengan implikasi atau akibat asesmen antara lain menyangkut (1) aspek etika dari asesmen; (2) penyiapan pebelajar untuk dilakukan asesmen, dan (3) akomodasi dan standarisasi.

Astin (1993:2) mengartikan asesmen dengan didasari pertimbangan untuk tujuan menghimpun informasi yang fungsinya ditujukan bagi pebelajar, staff, dan lembaga. Fungsinya mengacu kepada tujuan-tujuan sosial dari universitas, yakni memfasilitasi dan mengembangkan belajar pebelajar, mengembangkan keterbatasan pengetahuan, dan menyumbangkan diri bagi kepentingan sosial dan masyarakat. Atas dasar tujuan ini, Astin (1993:2) membedakan dua kegiatan yang berbeda: (1) sekedar menghimpun informasi (pengukuran), dan (2) pemanfaatan informasi untuk kepentingan pengembangan lembaga dan individu di dalamnya. 

Asesmen sebagai keseluruhan metode yang biasa digunakan untuk menaksir atau menilai kinerja individu atau kelompok (Gipps, 1996 dalam Headington, 2000:21). DES,1988 (Headington, 2000:21) mempertegas lagi, bahwa asesmen tidak berada di luar pengajaran dan pembelajaran, tetapi berada dalam interaksi dinamis di dalamnya.                    

Asesmen  adalah suatu cara berpikir tentang proses belajar. Asesmen bukan tahapan yang terjadi sebelum pengajaran tetapi terjadi selama dalam proses menganalisa informasi untuk meningkatkan efektivitas mengajar dengan tujuan pokok: (1) penempatan (placement), (2) pengajaran (instruction), dan (3) komunikasi (communication) (Hoy & Gregg, 1994:4).

Rowntree (1999) menyatakan, bahwa asesmen adalah sesuatu yang penting untuk mencoba mencari tahu tentang pebelajar dan menemukan hakikat dan kualitas belajarnya, yaitu tentang kelemahan dan kekuatannya, minat dan keengganan, motivasi dan pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk belajar.

Menurut Popham (1995:7) alasan perlunya melakukan asesmen, adalah untuk: (1) mendiagnosa kekuatan dan kelemahan pebelajar, (2) memantau kemajuan belajar, (3) memberi atribut pemberian nilai, dan (4) menentukan efektivitas pengajaran.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan 4(empat) hal pokok terkait dengan tindakan asesmen: (1) asesmen membutuhkan informasi yang terhimpun secara sistematis, dapat dianalisis, dan terintegrasi, (2) tujuan utama proses asesmen dalam pendidikan adalah untuk menginterpretasikan perbedaan dalam pola-pola belajar dari pebelajar, (3) asesmen dapat membantu pengajar memfokuskan diri pada strategi mengajar yang efisien dan tepat, dan (4) asesmen pada dasarnya merupakan proses yang berlangsung terus-menerus.

 

b. Tujuan Asesmen

Herman, Aschbacher, dan Winters (1992) menyatakan 2(dua) tujuan yang paling dasar, yaitu untuk (1) menentukan sejauh mana pebelajar telah menguasai pengetahuan khusus atau keterampilan-keterampilan (content goal), (2) mendiagnosa kelemahan dan kelebihan pebelajar dan merancang pengajaran yang sesuai (process goals). Program asesmen berarti untuk memenuhi tujuan diagnosa dan penempatan, formatif dalam rangka perencanaan pengajaran, dan evaluasi sumatif untuk kegiatan akhir keseluruhan pengajaran. Terkait dengan tujuan pertama, asesmen harus difokuskan kepada hasil belajar dengan menggunakan tes pilihan jawaban (multiple choice) dan asesmen langsung terhadap proyek atau produk karya pebelajar. Untuk tujuan kedua, asesmen difokuskan kepada perhatian tentang pemahaman mengapa pebelajar berbuat salah, sehingga yang dibutuhkan adalah informasi tentang proses daripada hasil belajar, oleh karenanya teknik-teknik yang tepat digunakan antara lain wawancara, observasi dokumen, log dan jurnal belajar atau evaluasi diri, daftar isian tentang perilaku, dan pemikiran-pemikiran pebelajar mengenai proses belajarnya.

Dari pendapat ini dapat dikatakan, bahwa tujuan pokok dari kegiatan asesmen selain untuk mengetahui penguasaan pengetahuan dan keterampilan pebelajar (assessment of learning), yang lebih utama adalah untuk kepentingan diagnosa kesulitan belajar (assessment for learning). Asesmen lebih tertuju pada proses belajar daripada hasil belajar. Strategi asesmen formatif untuk tujuan perbaikan tahapan belajar, sedangkan asesmen sumatif ditujukan untuk kepentingan melihat pencapaian hasil belajar.

 

c. Prinsip-prinsip Asesmen

Pada dasarnya asesmen dilakukan oleh pengajar setiap hari dengan menggunakan pengukuran formal maupun informal. Komponen terpenting bukan pengukuran dengan tes, melainkan pada pengumpulan, pencatatan dan penerjemahan yang sistematis dari kinerja pebelajar.

Prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan asesmen menurut The National Board for Professional Teaching Standards  (diambil 20 Desember 2005 dari http://www.nbpts.org/standards/dev.cfm) adalah : (1) tugas-tugas harus autentik dan kompleks; (2) tugas-tugas harus terbuka, memungkinkan pengajar melihat praktiknya; (3) tugas-tugas harus menyediakan peluang memberdayakan untuk analisis dan refleksi; (4) pengetahuan materi bidang studi harus menekankan untuk semua penampilan; (5) tugas-tugas harus memberdayakan guru untuk memberi contoh praktis yang baik; (6) tiap tugas harus mengases suatu himpunan yang terstandard; dan (7) tiap standard harus diases oleh lebih dari satu macam tugas.

 

d. Landasan Teori Asesmen Kinerja

Asesmen teman sejawat sebagai salah satu asesmen kinerja sangat terkait dengan teori belajar sebagai landasan psikologisnya. Teori belajar fleksibilitas kognitif dari R. Spiro, 1990 (Asmawi Zainul, 2001:5) menegaskan belajar pada dasarnya sesuatu yang kompleks dan tidak terstruktur. Proses belajar berarti tak pernah berakhir, selalu ada proses adaptasi dan selalu berubah; oleh karenanya asesmen dibutuhkan untuk menyertai seluruh kegiatan belajar dan pembelajaran.

J. Bruner, 1966 (Asmawi Zainul, 2001:5) telah menegaskan bahwa belajar adalah proses aktif  pebelajar yang mengkonstruksikan gagasan baru atau konsep baru atas dasar konsep, pengetahuan dan kemampuan yang telah dimiliki. Ada peluang pebelajar untuk bergerak lebih jauh melampaui informasi yang didapat, karena dia mampu menyusun hipotesis, membuat keputusan atas dasar struktur kognitifnya. Proses belajar berlangsung melalui tiga proses, yaitu perolehan, mentransfer dan mengolah kembali. Belajar membutuhkan dialog intensif antara dosen dan pebelajar. Dialog akan baik jika dosen  mampu masuk dalam struktur kognitif dan pada tingkat pemahaman pebelajar.

Belajar merupakan suatu kegiatan pengolahan informasi yang menemukan kebutuhan untuk mengenal dan menjelaskan gejala yang terjadi di lingkungan pebelajar. Dalam belajar tercakup tiga hal yakni informasi tentang bagaimana kreativitas tumbuh di antara para pebelajar, belajar membantu menyusun pengetahuan, dan belajar membantu mengurutkan pengetahuan sedemikian rupa menjadi bermakna. Dalam konteks demikian maka assessment kinerja dibutuhkan untuk dikembangkan dalam praktik penilaian.

Pada dimensi yang lain, C Rogers, 1969 (Asmawi Zainul, 2001:6) mengidentifikasi belajar menjadi dua jenis yakni cognitive learning dan experiental learning.  Yang pertama berhubungan dengan pengetahuan yang sifatnya akademik, sedangkan experiental learning lebih ke pengetahuan yang sifatnya terapan. Jenis pengetahuan terapan merupakan landasan kuat untuk tumbuh dan berubahnya pribadi pebelajar, karena proses keterlibatan pribadi, inisiatif diri, evaluasi diri dan dampak langsung yang terjadi pada diri pebelajar. Implikasinya belajar harus dilakukan sendiri oleh pebelajar, sedangkan dosen hanya sebagai fasilitator yang tugas pokoknya menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Asesmen dibutuhkan untuk mendeteksi aktivitas perolehan kompetensi pebelajar baik pada proses keterlibatan pribadi, inisiatif, evaluasi diri dan dampak yang dialaminya.

Lebih lanjut Howard Gardner (Zamroni, 2000:131) melansir bahwa belajar bukan hanya didominasi oleh aspek kognitif saja tetapi memiliki multi aspek, sehingga pembelajaran harus memperhatikan aspek-aspek yang lain. Teori lama hanya memperhatikan kemampuan verbal-linguistics sensitivity dan kemampuan logical-mathematical; sedangkan teori multipleabilities, talents, and skills melibatkan juga kemampuan (1)visual-spatial, (2)bodily-kinesthetic, (3)musical-rhythmical, 4)inter-personal, (5)intrapersonal, (6)naturalist. Pandangan Gardner memperjelas, bahwa asesmen hasil maupun proses belajar tidak cukup hanya mengukur salah satu atau beberapa aspek kemampuan pebelajar, tetapi harus mengukur seluruh aspek kemampuan pebelajar. Penggunaan penilaian hanya dengan tes formal tidak cukup memenuhi kaidah asesmen kinerja yang menjadi acuan untuk memenuhi standar nasional pendidikan.

Dari keempat teori belajar ini maka jelas bahwa asesmen teman sejawat sebagai asesmen alternatif dibutuhkan sebagai sarana untuk menghimpun dan melengkapi informasi tentang proses perolehan belajar dan hasil belajar yang digunakan untuk tujuan pengambilan keputusan dan untuk memberikan umpanbalik kepada pebelajar maupun pihak lain berkepentingan tentang perlu tidaknya tindak lanjut atas proses dan hasil pembelajaran.

 

e. Asumsi-asumsi Dan Karakteristik Asesmen  Kinerja

Gagasan asesmen autentik atau alternatif termasuk asesmen teman sejawat sebagai asesmen kinerja dikembangkan dalam rangka memenuhi tuntutan diterapkannya standard kompetensi yang digunakan sebagai acuan oleh lembaga pendidikan dalam proses pendidikannya. Asumsi-asumsi yang digunakan menurut Wangsatorntanakhun (1997) adalah bahwa:

(1)   Pengetahuan itu dikonstruksi. Karena itu partisipasi aktif pebelajar dalam belajar adalah kunci dari asesmen kinerja.

(2)   Tugas adalah bermanfaat. Tugas yang ideal adalah berkaitan dengan pengajaran, mengaktifkan keterlibatan pebelajar dalam aktivitas belajar yang bermanfaat.

(3)   Asesmen yang baik meningkatkan pengajaran. Semua tujuan asesmen adalah menyediakan informasi yang sahih untuk pengambilan keputusan.

(4)   Kesepakatan kriteria mendorong belajar. Pebelajar akan aktif terlibat dalam belajarnya, jika mereka harus tampil terbaik, ketika mereka  tahu bahwa tujuan mereka bekerja untuk masa depan, ketika mereka memiliki peluang untuk meguji model belajar yang terbaik, dan ketika mereka mengerti bahwa bagaimana kinerjanya akan dibandingkan dengan kriteria.

Asesmen kinerja sebagai asesmen autentik dengan demikian memiliki basis pengembangan dari standard kompetensi. Asesmen autentik yang diselenggarakan dalam konteks kelas akan meliputi kegiatan-kegiatan penilaian yang bersifat formatif dan sumatif yang masing-masing menggunakan acuan kriteria. Implikasinya bagi setiap pengajar dalam menerapkan kriteria untuk mengacu standar kompetensi yang diajarkan harus melakukan pengembangan matriks kompetensi belajar yang menjamin pengalaman belajar yang terarah dan pengembangan penilaian outentik yang bersifat berkelanjutan sehingga menjamin pencapaian dan penguasaan kompetensi yang diharapkan. Untuk dapat mengembangkan kedua hal ini seorang pengajar harus mengetahui komponen-komponen pendukung dari asesmen tersebut.

Asesmen kompetensi menurut Wolf, 1995 (Asmawi Zainul, 2004:10) garis besarnya terdiri dari komponen-komponen (1) tujuan yang harus dinyatakan secara akurat dan dalam terminologi tingkah laku (behavioral terms); (2) kriteria untuk asesmen harus dinyatakan secara terbuka dan eksplisit; (3) penolakan terhadap penetapan masa belajar dan persyaratan masuk bagi calon peserta didik; (4) persyaratan kelulusan adalah kemampuan mendemonstrasikan kompetensi dalam profesinya; (5) needs assessment menjadi suatu yang esensial untuk mengidentifikasi kompetensi peserta didik; dan (6) personalisasi program pembelajaran dan individualisasi asesmen.

Untuk merancang program pembelajaran dan sistem asesmen yang tepat perlu diketahui karakteristik-karakteristik asesmen yang berbasis kompetensi. Wolf, 1995 (Asmawi Zainul, 2004:10) mengidentifikasikan karakteristik asesmen berbasis kompetensi terdiri dari:

(1)   One-to one correspondence with outcome-base-standards.

(2)   Individualized assessment.

(3)   Competent/not yet competent judgement only.

(4)   Assessment in the workplace.

(5)   No specified time for completion of assessment.

(6)   No specified course of learning/study.

(7)   The only condition for achieving is successful assessment on all performance criteria.

Dalam kesempatan lain Djemari Mardapi (2004:5) juga mengemukakan karakteristik-karakteristik asesmen berbasis kompetensi yang  meliputi: (1) hasil belajar merupakan kemampuan atau kompetensi yang dapat didemonstrasikan, (2) kecepatan belajar pebelajar berbeda dalam mencapai ketuntasan belajar, (3) asesmen hasil belajar menggunakan acuan kriteria, dan (4) adanya program pembelajaran remidi dan pengayaan, (5) pengajar atau pendidik merancang pengalaman belajar peserta didik (6) pengajar adalah fasilitator, (7) pembelajaran mencakup aspek afektif yang terintegrasi dalam semua bidang studi.

Dalam kesempatan yang sama Djemari Mardapi (2004:7) juga telah mengemukakan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam asesmen atau penilaian. Prinsip asesmen atau penilaian yang penting adalah akurat, ekonomis, dan mendorong peningkatan kualitas pembelajaran; oleh sebab itu sistem asesmen yang digunakan di setiap lembaga pendidikan harus mampu: (1) memberi informasi yang akurat, (2) mendorong peserta didik belajar, (3) memotivasi tenaga pendidik mengajar, (4) meningkatkan kinerja lembaga, dan (5) meningkatkan kualitas pendidikan.

Terkait khusus dengan asesmen kinerja, Popham (1995:147) mensyaratkan adanya 7(tujuh) kriteria yang harus digunakan dalam melakukan asesmen yakni: (1) Generability, yakni apakah kinerja peserta tes dalam melakukan tugas yang diberikan sudah memadai untuk digeneralisasikan kepada tugas-tugas lain; (2) Authenticity, yakni apakah tugas yang diberikan sudah serupa dengan apa yang dihadapi dalam praktik kehidupan nyata sehari-hari; (3) Multiple foci, yakni apakah tugas yang diberikan kepada peserta tes sudah mengukur lebih dari satu kemampuan yang diinginkan; (4) Teachability, yakni apakah tugas yang diberikan merupakan tugas yang relevan yang hasilnya semakin baik akibat adanya usaha mengajar pengajar di kelas; (5) Fairness, yakni apakah tugas yang diberikan sudah adil (fair), tidak mengandung bias berdasar latar untuk semua peserta tes; (6) Feasibillity, yakni apakah tugas-tugas yang diberikan dalam penilaian keterampilan atau penilaian kinerja memang relevan untuk dapat dilaksanakan mengingat faktor-faktor seperti biaya, ruangan/tempat, waktu, atau peralatannya; (7) Scorability, yakni apakah tugas yang diberikan nanti dapat diskor dengan akurat dan reliabel, karena salah satu tahap dalam penilaian kinerja yang sensitif adalah perlakuan dalam pemberian skor.

 

f. Perbedaan Asesmen Kinerja dan Asesmen Tunggal

Kecenderungan dewasa ini asesmen kinerja digunakan secara luas dalam lingkup pendidikan, berawal dari rasa tidak puas terhadap penggunaan asesmen tunggal berupa tes baku yang dianggap tidak mampu menampilkan kemampuan pebelajar secara holistik. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan asesmen tunggal adalah tes baku yang secara tradisional digunakan untuk mengukur perkembangan belajar yang pada umumnya berbentuk tes obyektif. Tes obyektif hanya memungkinkan peserta tes untuk memilih satu pilihan jawaban yang benar. Format tes baku biasanya berbentuk pilihan ganda, satu butir disediakan tiga atau lima pilihan kemungkinan jawaban. Sebelum digunakan, tes-tes ini distandardisasikan terlebih dahulu.

Perkembangan selanjutnya tes baku telah merambah penggunaannya ke tingkat kelas, yang digunakan dengan tujuan untuk penilaian formatif yang bentuknya juga menggunakan format tes baku. Istilah tes baku sebagai asesmen tunggal karena memang tidak ada alternatif lain menjadi istilah yang digunakan untuk menyebut tes-tes yang diterapkan di kelas sebagaimana dimaksud itu.

Ditilik dari prosedur untuk merancang instrumennya menurut Anderson (2003:48-73) perbedaan antara asesmen alternatif dengan asesmen konvensional terletak pada 4(empat) langkah dalam merancang instrumen yaitu pada langkah ke 4, 5, 7 dan 10 dari 10(sepuluh) langkah yang ada berikut ini.

Prosedur merancang instrumen Asesmen kecakapan pebelajar:

1.      Tentukan tujuan dan gunakan tabel taksonomi untuk menentukan sel-sel yang sesuai untuk rumusan tujuan tersebut.

2.      Tentukan banyaknya jumlah unit asesmen.

3.      Tuliskan tugas asesmen dari setiap tujuan.

4.      Setelah tugas asesmen direview pihak lain, lakukan perubahan jika perlu.

5.      Persiapkan unit asesmen

6.      Persiapkan metode penskoran

7.      Administrasikan unit asesmen

8.      Analisis hasil asesmen

9.      Nilai skor pebelajar pada setiap unit asesmen

10. Simpan instrumen asesmen, hasil analisis dan daftar skor dalam file folder.

Dari sisi lain perbedaan asesmen alternatif dengan asesmen tunggal berupa tes baku dapat diidentifikasi sebagai berikut:

Tabel 4

Perbedaan Asesmen Alternatif dan Tes Baku

Asesmen alternatif

Tes baku

1.      Testee diminta menunjukkan respon terhadap tugas, tidak mengenal ada benar atau salah tetapi seberapa jauh tugas telah dikerjakannya.

2.      Pada umumnya testee diminta untuk membuat sesuatu atau mengerjakan sesuatu perbuatan tertentu.

3.      Tugas bersifat autentik dikaitkan dengan kehidupan nyata, problemnya praktis.

4.      Menggunakan kriteria penilaian berupa rubrik sebagai salah satu komponennya.

5.      Sangat dimungkinkan untuk memperoleh informasi aspek afektif (kepribadian) pebelajar.

1.  Testee diminta menunjukkan respon memilih benar atau salah, atau ya apa tidak.

 

 

2.  Testee pada umumnya diminta untuk menuliskan responnya.

 

3.  Soal-soal tes seringkali artifisial hanya dalam kelas.

 

4.  Tidak menggunakan rubrik sebagai kriteria penilaian, tetapi cukup menggunakan kunci jawaban.

 

5.  Tidak memungkinkan untuk memperoleh informasi tentang aspek afektif (kepribadian) pebelajar.

 

2. Sistem Asesmen Dalam Pengajaran di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).

Menurut pasal 25 PP 19 Tahun 2005 hasil belajar calon guru dikategorikan dalam tiga aspek yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap (termasuk kepribadian). Ketiga aspek ini merupakan kemampuan yang bersifat holistik untuk mendukung profesi calon guru yang mencakup kompetensi-kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial.

Berdasarkan PP 19 Tahun 2005 pasal 17 ayat (4) kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Setiap program studi bertanggungjawab untuk mengembangkan kurikulum, silabus, desain pembelajaran, dan sistem asesmennya berdasarkan standar kompetensi lulusan yang ingin dicapai. Oleh karena itu program studi akan dievaluasi tingkat pencapaian standar kompetensi lulusannya, salah satu diantaranya didasarkan pada hasil asesmen terhadap pebelajarnya.

Ada tiga tahapan asesmen yang perlu dilakukan di LPTK. Pertama, asesmen oleh dosen untuk mengukur tingkat penguasaan kompetensi pebelajar dalam mata kuliah di bawah binaannya. Kedua, asesmen untuk mengukur penguasaan calon guru atas standar kompetensi yang dilaksanakan oleh program studi. Ketiga, berupa ujian sertifikasi kompetensi mengajar, oleh lembaga independen dan profesional. Bagi pebelajar lulus asesmen tahap kedua oleh program studi, dapat mengikuti asesmen tahap ketiga (PSABK, 2005:8).

Pebelajar berhak mengikuti asesmen kompetensi lulusan, jika yang bersangkutan telah menyelesaikan dan lulus seluruh mata kuliah dan persyaratan lainnya. Kemudian jika mereka berhasil lulus mengikuti asesmen kompetensi lulusan, mereka berhak mengikuti asesmen kompetensi mengajar sebagai guru pemula. Asesmen kompetensi mengajar  sebagai guru pemula juga berlaku bagi lulusan non-LPTK. Hanya peserta yang lulus asesmen kompetensi mengajar yang berhak mendapat sertifikat kompetensi mengajar sebagai guru pemula.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Asesmen Kompetensi

Mata Kuliah

 

Didasarkan pada kajian teoritik dan need assessment serta kebutuhan konsumen

 

 

 

 

 

 


Flowchart: Data: Pembelajaran

 

Asesmen Tahap I

Oleh Dosen Pembina Kuliah

                             

ya

Asesmen Kompetensi Lulusan

 
Flowchart: Data: Pembelajaran

Diamond: Lulus

 tidak

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 tidak

 

 

 

 

Asesmen Tahap II Oleh Prodi LPTK Dalam Bentuk Ujian komprehensif dan Tugas Akhir

 ya

 

 

 

 

 

 


Diamond: Lulus

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


tidak

 

 

Assemen Tahap III Oleh Lembaga Independen Profesional

ya                    

Sertifikat Kompetensi Mengajar

 
            

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 14

Tahapan Asesmen dalam Sistem Pembelajaran di LPTK

(adaptasi dari PSABK, 2005:7)

Diagram pada Gambar di halaman 114 di atas memperjelas kedudukan sistem asesmen dalam sistem pembelajaran di LPTK.

Pengembangan model asesmen teman sejawat ini difokuskan pada asesmen kompetensi matakuliah yang dilaksanakan oleh dosen pengajar Akuntansi.

Untuk memperbaiki praktik asesmen di perguruan tinggi Ramsden, 1992 (James, 1994)  mengajukan 14(empatbelas) aturan untuk asesmen yang baik di perguruan tinggi, yakni:

(1)       Kaitkan asesmen pada belajar: pusatkan pertama pada pelajaran, kedua pada usaha yang memberi harapan, dan ketiga pada penentuan gradasi; lakukan ases sepanjang pengalaman belajar hingga akhir pelajaran; atur tugas yang mirip dengan permasalahan realistis jika memungkinkan; integrasikan dan berikan penghargaan.

(2)  Jangan pernah mengases tanpa memberi komentar kepada para pebelajar tentang kemungkinan bagaimana mereka dapat meningkatkan diri.

(3) Belajarlah dari kekeliruan yang diperbuat pebelajar. Gunakanlah asesmen untuk menemukan kesalah-pahaman mereka, kemudian memodifikasi pengajaran untuk memperbaiki kesalahpahaman itu.

(4) Tebarkan berbagai metode asesmen.

(5) Coba libatkan pebelajar dalam proses asesmen melalui : a) diskusi tentang metode yang sesuai dan mengapa metode dikaitkan dengan tujuan  pengajaran, b) gabungkan staff-siswa untuk  merancang  pertanyaan-pertanyaan asesmen dan negosiasikan tentang kriteria sukses dan gagal, dan c) tawarkan pilihan metode asesmen kepada pebelajar secara bertanggungjawab antara kegiatan self asssesment dan peer assessment.

(6) Beri pesan sesering mungkin yang mudah diikuti, baik dalam pertanyaan-pertanyaan asesmen yang dibuat dan dalam sasaran pengajaran, yang direkam, direproduksi, dan ditiru yang akhirnya keberhasilan pengajaran hanya akan dapat dicapai ditentukan melalui peragaan pengertian.

(7) Pikirkan hubungan antara laporan dan umpan balik; membenarkan pada alasan-alasan yang mendidik baik  secara terpisah maupun  kombinasi menyangkut fungsi sumatif dan diagnostik test tertentu.

(8) Gunakan pilihan ganda dan 'objective tests yang lain dengan hati-hati, lebih bagus bila dikombinasi dengan metoda lain. Mengenai kapan teknik alternatif ini dipakai, dasarkan pada hasil prestasi pebelajar dan waktu yang tepat untuk digunakan.

(9) Dalam hal-hal yang melibatkan manipulasi kuantitatif, selalu dituntut adanya  penjelasan rinci atas pertanyaan-pertanyaan; sebagai contoh pertanyaan " Apa artinya jika dikatakan bahwa simpangan baku adalah 1.8?" untuk itu perlu contoh-contoh numerik.

(10) Pusatkan pada validitas tentang apa yang penting untuk diukur sebelum reliabilitas atas konsistensi tes yang dilakukan. Cobalah untuk menghindari godaan untuk aspek test trifling sebab hal tersebut lebih mudah untuk diukur dibanding  masalah validitas dan reliabilitas.

(11)  Kerjakan sesuatu yang sesuai dengan kemampuan untuk belajar dari keraguan yang muncul akibat asesmen.

(12) "Ujian adalah kejadian yang dibentuk dan disiapkan dengan sebaik-baiknya”. Jangan pernah membuat pertanyaan ujian atau tugas yang jawabannya sendiri belum siap. Latih  kebiasaan menulis model jawaban atas pertanyaan yang dibuat dan gunakan untuk membantu pebelajar menghargai apa yang diinginkan.

(13) Kurangi persaingan antar siswa dari aspek asesmen. Secara serempak gunakan rangsangan untuk berhasil melawan tuntutan terhadap suatu standard (gunakan penilaian hasil kerja kelompok dan buat standard dari beberapa siswa sebagai contoh).

(14) Menaruh curiga atas ketelitian dan obyektifitas dari semua pengukuran kemampuan siswa, dan sadar bahwa tiap pengambilan keputusan adalah unsur yang paling utama tiap-tiap indikator dari prestasi.

Berpijak pada kedudukan sistem asesmen di LPTK dan tuntutan dari PP 19 Tahun 2005 sebagaimana telah diuraikan di atas maka preskripsi pengembangan ini merupakan asesmen pada tingkat asesmen matakuliah atau asesmen kelas yang pelaksananya adalah dosen pembina matakuliah. Dalam pengembangannya perlu mempedulikan aturan-aturan tertentu agar memenuhi fungsinya.

Ditilik dari tradisi yang telah dikembangkan oleh para pakar pendidikan tentang pembelajaran, menurut Joice dan Weil (1996) dapat dikelompokan menjadi 4(empat) model mengajar yang eksplanasinya berisi pembelajaran, yaitu (1) kelompok model pengolahan informasi, (2) kelompok model personal, (3) kelompok model sosial, dan (4) kelompok model sistim perilaku. Apa pun model pembelajaran yang dilakukan dosen, sistem pembelajaran senantiasa mengharuskan adanya asesmen.

Tradisi asesmen selama ini lebih berorientasi pada evaluasi yang senantiasa menekankan pengembangan pebelajar sebagai individu. Jarang asesmen yang ditujukan untuk kepentingan pemanfaatan informasi proses pembelajaran yang mengembangkan pebelajar secara bersama sebagai suatu kelompok tim kerja. Pengaruh budaya belajar menekankan isi materi sangat dominan. Mulai dari evaluasi tugas harian, tanya jawab dan diskusi kelas, ujian tengah semester sampai evaluasi akhir hasil studi, hampir semuanya merupakan tugas individual dan mengarah pada nuansa penggunaan tes tunggal atau tes baku semata.

Tradisi asesmen yang tunggal oleh kalangan ahli mulai disadari mengandung kelemahan, antara lain tidak dapat mendeteksi tentang bagaimana proses belajar telah terjadi sehingga tidak diketahui tindakan tepat untuk perbaikan atau memberi bantuan pada tahapan belajar yang menimbulkan kesulitan pebelajar.  Untuk mendeteksi keberhasilan belajar pebelajar yang dilandasi dengan penanaman semangat kerjasama dan solidaritas sosial tidak cukup mengandalkan asesmen tunggal berupa evaluasi dengan tes baku.

Tes baku tidak dapat mendeteksi secara cermat kawasan-kawasan kemampuan di luar kognitif, bahkan pada proses pekembangan kemampuan kognitif sekalipun. Mengikuti perkembangan paradigma pembelajaran yang konstruktivis, sistem asesmen tunggal tidak akurat dari segi tuntutan fungsinya. Asesmen alternatif perlu dikembangkan untuk melengkapi dan mengisi kekurangan dari asesmen tunggal semacam ini.

Fungsi asesmen lebih penting daripada hanya sekedar pengukuran Jika tindakan asesmen hanya sebatas menghimpun informasi, maka kepentinganya hanya terbatas pada pengukuran; tetapi jika informasi itu untuk dimanfaatkan bagi kepentingan lain seperti pengembangan lembaga, individu dan masyarakat yang berkepentingan maka inilah yang dimaksud dengan tujuan dari tindakan asesmen (Astin, 1993:2).

Gambaran tradisi sistem asesmen yang selama ini berlaku dalam praktik penilaian kuliah di FKIP Unlam Banjarmasin dapat diilustrasikan seperti pada diagram  di halaman berikut ini. Proses ini berlangsung mengikuti prosedur yang ada dalam Buku Peraturan Akademik FKIP Unlam. Dosen merupakan sentral penentu keputusan dalam memberikan nilai akhir. Sumber-sumber informasi yang diperlukan dosen dalam merumuskan dan menentukan tingkat kelulusan pebelajar berupa: (1) ujian bagian, (2) beberapa tugas terstruktur dan ditambah tugas mandiri, (3) ujian tengah semester, dan 4) ujian akhir semester. Informasi lainnya yang terkait dengan sikap dan tingkahlaku dalam belajar, seperti tingkat kehadiran, kedisiplinan dan atribut lainnya digunakan sebagai sarana pendukung penilaian, tidak secara mutlak menjadi pertimbangan dalam keputusan gradasi penilaian.

Prosedur penilaian pada ujian (bagian, tengah semester dan akhir semester), dilakukan dengan urutan kegiatan sebagai berikut:

(1)       melancarkan tes

(2)       melakukan skoring (menggunakan kunci jawaban atau pedoman penskoran/marking scheme).

(3)       membuat daftar skor hasil ujian.

(4)       mengolah skor hasil ujian dengan acuan kreteria, dikonversi dalam skala nilai 0-10 atau 0-100.

(5)       membuat daftar gradasi dalam skala nilai.

(6)       Prosedur penilaian pada hasil penugasan, dilakukan dengan urutan kegiatan sebagai berikut:

(a)        melancarkan tugas

(b)       melakukan skoring dengan justifikasi berdasarkan rubrik atau pedoman penskoran/marking scheme.

(c)        membuat daftar skor.

(d)       mengkonversi skor ke dalam nilai skala 0-10 atau 0-100.

(e)       membuat daftar gradasi dalam skala nilai.

Pada akhir semester semua nilai dari komponen ujian bagian, tugas, ujian tengah semester dan ujian akhir semester diadministrasikan dan kemudian digabungkan. Sebelum digabungkan, komponen ujian bagian dan komponen tugas dihitung nilai rerata dan hasilnya digunakan sebagai nilai dari komponen ujian bagian dan tugas yang diberi bobot 3(tiga) dalam komponen nilai akhir.

Secara keseluruhan untuk memperoleh nilai kesimpulan akhir mata kuliah, komponen rerata ujian bagian dan tugas yang diberi bobot 3(tiga) digabung dengan dua komponen lainnya yaitu komponen ujian tengah semester dan komponen ujian akhir semester, yang masing-masing komponen diberi bobot penilaian 3(tiga) dan 4(empat). Nilai akhir diperoleh dengan membagi jumlah hasil kali nilai tiap komponen dengan bobotnya dibagi dengan total bobot (yakni 10/sepuluh), atau jika diformulasikan maka:

 

NA = [ 3 ((UB+NT)/2) + 3 UTS + 4UAS ] / 10 x 100

 

 
 

 

Gambar 15

Formula Penentuan Nilai Akhir

Keterangan :

 

 

 

 

NA : Nilai akhir

UB : Ujian bagian

NT : Nilai tugas

UTS : Ujian tengah semester

UAS : Ujian akhir semester

 

Skala yang digunakan untuk NA adalah 0-100. Hasil ini (skala angka) kemudian dikonversikan ke skala huruf A-E, kaidah skalanya mengikuti Buku Peraturan Akademik UNLAM. Setelah proses ini selesai, prosedur selanjutnya melaporkan hasil nilai akhir ke Biro Administrasi Akademik fakultas. Laporan dibuat dalam rangkap 4(empat), satu asli dan 3(tiga) tembusan. Asli untuk laporan nilai yang diumumkan oleh Fakultas, tembusan pertama untuk arsip dosen yang bersangkutan, tembusan kedua untuk arsip fakultas (Biro Administrasi Akademis), tembusan ketiga untuk arsip program studi.

Semua prosedur tersebut tampak dalam diagram alir pada gambar diagram berikut, dan selanjutnya disebut sebagai asesmen konvensional.

Dari formulasi sistem asesmen konvensional kebutuhan informasi aspek afektif (termasuk kepribadian) belum dapat terpenuhi. Informasi-informasi tentang aspek afektif penting untuk dipertimbangkan sebagai komponen penilaian, karena asesmen ditujukan bukan sekedar untuk menghimpun informasi tetapi ditujukan untuk memenuhi fungsi diagnostik, untuk melacak kesulitan belajar pebelajar.      

Dalam konteks mendeteksi masukan (input), lingkungan (environment) sehingga didapat  keluaran (outcome) tertentu (Astin, 1993) perlu dikembangkan asesmen alternatif yang memungkinkan diperolehnya informasi akurat, konsisten dan valid untuk mendukung tindakan perbaikan pada proses pembelajaran. Hasilnya akan didapat ketegasan dan kejelasan bentuk bantuan, bimbingan dan jika perlu pengayaan proses belajar  pebelajar  sehingga pencapaian target kompetensi dapat diperoleh.

Pada sistem asesmen konvensional tindakan demikian memang tidak menjadi acuan, sehingga laporan nilai akhir merupakan tindakan akhir dari asesmen dan tidak dimungkinkan untuk dapat melacak tentang kesulitan proses belajar pebelajar, karena informasi untuk itu tidak diperoleh selama pembelajaran. Oleh sebab itu gagasan untuk mengembangkan asesmen alternatif ditujukan untuk kepentingan ini.

Berbagai kendala yang dirasakan dalam praktik asesmen konvensional sebagaimana diuraikan di atas, berimplikasi hasil keputusan dosen terhadap atribut pemberian nilai kompetensi pebelajar mengandung bias, artinya dimungkinkan adanya penyimpangan atas keputusan yang terjadi dengan keputusan yang seharusnya diambil.

 

 

        Keterangan : PAP=Penilaian Acuan Patokan

 

Gambar 16

Prosedur Asesmen Konvensional

 

Pertama, keputusan mengenai status kompetensi seseorang pebelajar bisa melebihi dari nilai keputusan yang seharusnya dan bisa juga sebaliknya kurang dari nilai keputusan yang seharusnya.

Kedua, berimplikasi adanya tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan untuk perbaikan atau pengayaan tidak memberikan sinyal yang tepat bagi kepentingan pengembangan program bantuan oleh dosen sendiri maupun lembaga (dalam hal ini program studi yang bersangkutan).

Ketiga, efek psikologis yang negatif kepada pebelajar menimbulkan rasa apatis dan tidak menaruh hormat pada keputusan akan penilaian maupun kepada pembina kuliah. Inilah yang oleh Keeves (1999:235) dikatakan telah terjadi kesalahan pengukuran. Sumber kesalahan pengukuran antara lain: (1) variabilitas keputusan yang dibuat oleh pengamat, (2) variabilitas yang dibuat atau keputusan akibat penggunaan instrumen pengamatan, dan (3) variabilitas dalam karakteristik dari subyek yang diukur atau diamati.  

Kejadian kesalahan semacam ini berimplikasi selain merugikan diri pebelajar, juga berakibat kepada tidak mantapnya fidelitas (fidelity) yang menjamin kepuasan akan pengukuran memenuhi unidimensionalitas dan keyakinan akan kecukupan rentang dari manifestasi karakteristik obyek yang diamati (bandwidth). Praktik asesmen tunggal semacam ini sebagai salah satu sumber penyebab target kompetensi tak memenuhi standard dan menimbulkan kemampuan unjuk kerja belum sesuai harapan (kemampuan transfer belajar lemah, penguasaan kemampuan pemecahan masalah rendah, dan belum berani tampil praktik mengajar untuk bidang studi Akuntansi, dan semacamnya).

Gagasan untuk mengatasi bias asesmen tunggal dirancang asesmen alternatif dan dipreskripsikan model asesmen teman sejawat (peer assessment) yang memiliki beberapa keunggulan, antara lain dapat meningkatkan keterlibatan pebelajar dalam asesmen yang pada gilirannya dapat mendorong munculnya rasa tanggungjawab diri pebelajar pada keberhasilan belajar.

 

E. Asesmen Teman Sejawat (Peer Assessment)

 

1. Rasional Model Asesmen Teman Sejawat

Gagasan Model Asesmen Teman Sejawat (MATS), sebagai sistem asesmen formal atau asesmen alternatif yang akan dikembangkan ditujukan untuk meningkatkan validitas, konsistensi dan keajegan serta fidelitas maupun bandwidth dari hasil nilai akhir sehingga memenuhi tujuan yang melatar belakangi perlunya evaluasi, yakni (1) akontabilitas (accountability) yang merujuk kepada keputusan yang telah dibuat oleh otoritas kekuasaan seorang pengajar, dan (2) asesmen (assessment) yang merujuk kepada kemampuan pengajar yang mantap dalam rangka tujuan koreksi sendiri dan perbaikan (self-correction and improvement); sebagaimana dikemukakan oleh Hansen dari Western Washington University.

MATS dikembangkan untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan belajar kemampuan pemecahan masalah. MATS sebagai sistem asesmen dirancang untuk memenuhi kekurangan yang terjadi pada asesmen konvensional seperti telah diuraikan di muka.

Pendapat para ahli berikut dapat digunakan sebagai landasan untuk mendukung gagasan ini. Melibatkan pebelajar berpartisipasi dalam melakukan penilaian (rating) menurut Gronlund & Linn (1990:396) memberikan beberapa keuntungan.

Keuntungan-keuntungan itu dapat membantu pebelajar untuk (1) mengerti lebih baik tujuan-tujuan pembelajaran, (2) menyadari kemajuan-kemajuan yang telah diperbuat untuk mencapai tujuan, (3) mendiagnosa secara efektif kekuatan-kekuatan dan kelemahan tertentu, dan (4) mengembangkan peningkatan ketrampilan dalam penilaian diri (self evaluation) pebelajar.

Sejalan dengan pendapat  sebelumnya Johnson & Johnson (2002:4-5) memperkuat pendapat tersebut dengan menyatakan, bahwa alasan-alasan melibatkan pebelajar dalam kegiatan asesmen, antara lain: (1) dapat meningkatkan kualitas keputusan yang diambil tentang asesmen akibat memanfaatkan sumberdaya pebelajar sebagaimana pengajar, (2) dapat meningkatkan komitmen pebelajar untuk menerapkan cara asesmen yang terbaik, (3) dapat mengurangi sikap resisten pebelajar terhadap umpanbalik dan perlunya perubahan, (4) dapat meningkatkan prestasi pebelajar, (5) dapat mendorong motivasi yang besar untuk belajar dan membangun sikap belajar yang positif dan asesmen, dan (6) dapat meningkatkan asesmen diri (self-assessment) pebelajar.

Dalam MATS selain kawasan kognitif, asesmen dapat dilakukan terhadap kawasan psikomotor, kawasan afektif dan kepribadian. Perilaku kawasan kognitif adalah perilaku yang merupakan hasil proses berpikir atau hasil kerja otak. Kemampuan manusia dalam kawasan kognitif oleh Gagne (1979) dibagi menjadi tiga macam, yaitu: keterampilan intelektual, strategi kognitif, dan informasi verbal (Suparman, 2001:108).

Sementara itu perilaku kawasan psikomotor, merupakan perilaku yang dimunculkan oleh hasil kerja fungsi tubuh manusia. Bentuknya dalam gerakan tubuh. Perilaku kawasan psikomotor oleh Dave (1967) dibagi dalam lima jenjang, yaitu: menirukan gerak, memanipulasikan kata-kata menjadi gerak, melakukan gerak dengan tepat, merangkaikan berbagai gerak, dan melakukan gerak dengan gerak wajar dan efisien (Suparman, 2001:109).

Perilaku berikutnya kawasan afektif, adalah perilaku yang dimunculkan seseorang sebagai pertanda kecenderungannya untuk membuat pilihan atau keputusan untuk beraksi di dalam lingkungan tertentu. Bloom dan Masia (1964) membagi kawasan ini menjadi lima tingkatan, yaitu: menerima nilai, membuat respon terhadap nilai, menghargai nilai-nilai yang ada, mengorganisasikan nilai, dan mengamalkan nilai secara konsisten atau karakterisasi (Suparman, 2001:109).

Pendeteksian pada kawasan selain kawasan kognitif memungkinkan bagi dosen untuk melihat tahapan pencapaian kemajuan kompetensi dan sekaligus dapat melihat kelemahan-kelemahan yang dialami pebelajar secara individual, dan lebih lanjut dapat dimungkinkan adanya bentuk bantuan, pembinaan, bimbingan yang konkrit, operasional dalam upaya meningkatkan proses pembelajaran pebelajar.       Gejala yang timbul karena sikap, dan perilaku seseorang yang muncul karena manifestasi dari sikap, tdak dapat dideteksi dengan asesmen tunggal, maka dari itu harus didekati dengan asesmen alternatif sebagai pilihan lainnya. MATS dipreskripsikan dan diprediksikan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pencapaian kompetensi pebelajar, dalam hal ini adalah kompetensi kemampuan pemecahan masalah di bidang Akuntansi.

Sebagaimana dinyatakan oleh Johnson & Johnson (2002:2), bahwa asesmen dapat saja dilakukan tanpa evaluasi tetapi tidak akan mungkin melakukan evaluasi tanpa melakukan asesmen. Asesmen idealnya dilakukan secara terus-menerus, sedangkan evaluasi boleh jadi dilakukan cukup hanya sekali waktu. Kualitas asesmen pada umumnya akan menentukan kualitas evaluasi. Dengan demikian asesmen meliputi pengumpulan informasi tentang kualitas atau kuantitas dari perubahan-perubahan pada diri pebelajar, kelompok, kelas, sekolah, pengajar, dan administrator/tata usaha.

Efektivitas asesmen tergantung pada penggunaan seminimal mungkin dari sumber-sumber untuk: (1) mencapai tujuan dari asesmen, (2) pemeliharaan yang efektif hubungan kerja di antara pelaksana asesmen, yang diases dan semua yang berkepentingan, (3) peningkatan motivasi dari semua bagian untuk berpartisipasi terhadap asesmen kedepan.  Efektivitas asesmen juga bisa menurun kapan saja, juga akibat dari ketiga aspek tersebut (pencapaian tujuan, pemeliharaan hubungan kerja dan motivasi berpartisipasi untuk asesmen kedepan).

Masalah utama yang berhubungan dengan pelaksanaan asesmen adalah bagaimana membuat asesmen bermakna, memberi manfaat dan bagaimana asesmen dapat dikelola dengan baik. Agar asesmen bermakna maka asesmen harus: (1) dirasakan kebutuhannya oleh pengguna (pebelajar dan pengajar) yang sama-sama punya tujuan, (2) mudah dimengerti prosedurnya, kreteria, maupun penggunaan rubriknya, (3) jelas arahnya untuk meningkatkan kualitas belajar dan pengajaran (Johnson & Johnson, 2002:3).

Selain asesmen harus bermakna, asesmen juga dapat dikelola dalam memberikan informasi yang bermanfaat dengan pengorbanan sumberdaya secara minimal. Dua hal penting terkait dengan masalah pengelolaan ini adalah (1) tersedianya sumberdaya yang cukup memadai untuk memenuhi tuntutan prosedur asesmen, (2) nilai informasi yang diperoleh seimbang dengan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan asesmen (Johnson & Johnson, 2002:3).

Beberapa ahli yang mendukung adanya asesmen teman sejawat adalah Farh, Cannella, & Bedeian, 1991; Fry, 1990; Goldfinch & Raeside, 1990 (Keaten, Richardson & Elizabeth, 1993:5) yang menunjukkan optimisnya dalam praktik penggunaan asesmen teman sejawat di mana pebelajar akan dapat menemukan bukan saja menerima rasa tanggungjawab tetapi juga dapat menilai secara lebih akurat daripada profesornya. Ditegaskan, bahwa prosesnya memang berlaku khusus untuk penilaian kerja kelompok bukan untuk kelas paralel. Bahkan dengan asesmen teman sejawat pebelajar dapat menilai pekerjaannya maupun pekerjaan sejawatnya yang sama-sama terlibat yang berlangsung pada waktu di dalam kelas maupun di luar kelas.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah kapan asesmen teman sejawat tepat digunakan? Kane dan Lawler, 1978 (Keaten, Richardson & Elizabeth, 1993:5) mengutip bahwa asesmen teman sejawat cocok digunakan jika salah satu atau lebih dari kondisi berikut ditemukan:

(1)   keberadaan anggota kelompok sejawat semuanya saling dapat berusaha memperhatikan aspek tingkahlaku yang mencolok.

(2)   keberadaan anggota kelompok sejawat mampu dengan teliti menilai dan menginterpretasikan aspek tingkahlaku mencolok yang diperhatikan.

(3)   adanya kebutuhan untuk meningkatkan manfaat  yang berhubungan dengan satu atau beberapa karakteristik dari anggota kelompok yang sedang diases.

Perlu disadari bahwa penerapan asesmen teman sejawat dalam prosesnya selain ditentukan oleh tiga kondisi ini juga dipengaruhi oleh variable-variabel lain, seperti sistem penilaian, sikap pebelajar terhadap asesmen dan validitas dari asesmen teman sejawat itu sendiri.

 

 

 

2. Definisi Asesmen Teman Sejawat (Peer Assessment)

Dilatari oleh pernyataan Assessment Reform Group, 2002 (Clarke, 2005:84) berikut, tampak substansi pengertian asesmen teman sejawat (peer assessment):

Independent learners have the ability to seek out and gain new skills, new knowledge and new understandings. They are able to engage in self-reflection and to identify the next steps in their learning. Teachers should equip learners with the desire and the capacity to take charge of their learning through developing the skills of self-assessment.

 

Artinya kebebasan pebelajar memiliki kemampuan untuk meningkatkan ketrampilan yang baru, pengetahuan baru dan pengertian yang baru. Mereka dapat terlibat dalam merefleksi diri dan mengidentifikasi tahapan belajar berikutnya. Dosen/guru harus memenuhi keinginan pebelajar dan kapasitas untuk mengambil bagian dalam belajarnya melalui pengembangan ketrampilan dari asesmen tentang dirinya. Penilaian diri, penilaian teman sejawat dan umpan balik serta marking menunjukkan betapa pentingnya hal-hal tersebut secara bersama saling melengkapi. Pebelajar dilibatkan dalam penilaian antar teman dimaksudkan untuk memberi umpan balik kepada pebelajar yang lain, peer marking merupakan penilaian antar teman, dan marking dari pengajar adalah umpan balik.

Dengan demikian asesmen teman sejawat pada hakikatnya adalah bentuk asesmen untuk memperoleh informasi balikan dari hasil kerja pebelajar yang didapat dari teman sejawat, selain yang sudah lazim yakni balikan dari pengajar.

Keaten, Richardson, & Elizabeth, (1993:3) mendefinisikan asesmen teman sejawat: … the process in which students evaluate each other, is a practice that can foster high level of responsibility among students; the students must be fair and accurate with the judgements they make regarding their peers.

Clarke (2005:84) mengakui bahwa cara marking dari sesama pebelajar kurang bernilai daripada yang dilakukan pengajar, meskipun demikian kebiasaan ini perlu dilanjutkan. Black et al, 2003 (Clarke, 2005:88) justru menegaskan penilaian teman sejawat merupakan umpan balik yang efektif selama proses belajar berlangsung, karena pebelajar lebih bebas saling menerima dan memberi kritik daripada  cara-cara dari pengajar-pebelajar atau sebaliknya. Keuntungan lain bahasa yang digunakan alami, sesuai dengan yang digunakan sehari-hari daripada bahasa sekolah. Dalam kondisi demikian pebelajar lebih dapat melakukan analisis dan menerima kritik yang membangun guna perbaikan cara kerjanya. Jika kritik dan umpan balik hanya dari pengajar, pebelajar akan kehilangan daya (power) dalam belajarnya. Ditegaskan lagi oleh Dyck (2003) yang menyatakan bahwa guru-guru adalah direktur utama dari asesmen. Penelitian-penelitian dewasa ini mengindikasikan bahwa guru-guru mulai menggabungkan asesmen teman sejawat kedalam keseluruhan prosedur evaluasinya.  

 

3. Asesmen Teman Sejawat Dalam Kerangka Asesmen

Asesmen teman sejawat (peer assessment) mulai berkembang di kalangan peneliti pendidikan mengikuti perkembangan jenis-jenis asesmen alternatif lainnya karena kemanfaataannya sebagai sarana untuk memberikan balikan kepada pebelajar cukup signifikan. 

Sebagaimana telah diungkap di atas bahwa asesmen teman sejawat memiliki segi positif selain memberikan balikan yang konstruktif, dari segi bahasa asesmen ini lebih memungkinkan berlangsung alami dalam cara dan suasana komunikasi sosial pebelajar sehingga lebih dapat dipahami. Bahkan Black, Harrison, Marshal dan Williams (2004) menyatakan asesmen teman sejawat dapat meningkatkan belajar karena meletakan pekerjaan (evaluasi) pada siswa-siswa. Konsekuensinya guru-guru menyediakan waktu untuk meningkatkan refleksi asesmen dari kinerja dan kecakapan siswa-siswanya.

Asesmen teman sejawat dapat dikatagorikan sebagai asesmen alternatif atau asesmen autentik maupun asesmen kinerja. Yang dimaksud adalah asesmen lain sebagai pilihan alternatif untuk melengkapi asesmen konvensional yang sudah umum digunakan. Sebagai asesmen alternatif, asesmen teman sejawat dapat dikategorikan dalam kelompok asesmen kinerja dan dalam kawasan asesmen kelas (classroom assessment). Karena obyek dari asesmen teman sejawat adalah performasi kinerja tentang proses maupun hasil belajar dari sejawat.

Ditilik dari fungsinya untuk memberikan balikan terhadap hasil belajar ketika proses belajar berlangsung, maka asesmen teman sejawat termasuk asesmen formatif. Asesmen formatif adalah asesmen yang dilakukan selama proses pengajaran berlangsung. Informasi didapat dengan cara melakukan observasi yang tujuannya untuk memberikan informasi kepada pengajar dan merupakan bentuk pengubahan strategi penyampaian pengajaran (Airasian, 1997, Smith, Smith, & DeLisi, 2001 dalam Anderson, 2003:45).

Sebagai asesmen alternatif karakteristik asesmen teman sejawat merupakan lawan dari asesmen tunggal seperti tes pilihan ganda, benar-salah dan bentuk-bentuk tes obyektif lainnya. Asesmen tunggal hanya menuntut respon dari pebelajar terhadap satu pilihan jawaban. Lain halnya asesmen teman sejawat lebih mengacu kepada tampilan kinerja pebelajar, sehingga kriteria tentang penguasaan kemampuan yang menjadi acuan untuk melakukan gradasi skor atau pemberian nilai, dan bukan banyaknya respon yang benar.  Conant (1997) mengindikasikan bahwa asesmen teman sejawat (1) menekankan penggunaan keterampilan berpikir tingkat tinggi, (2) mengembangkan keterampilan sosial, dan (3) menciptakan rasa tanggungjawab dan pemberdayaan pribadi sendiri pebelajar.

Asesmen tunggal lazimnya digunakan untuk evaluasi akhir dari suatu program pembelajaran, sedangkan asesmen teman sejawat dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan diagnosa kesulitan belajar dan berlangsung selama proses pembelajaran atau untuk evaluasi formatif. Asesmen teman sejawat sebagai asesmen alternatif dapat berupa berbagai metode asesmen yang mencerminkan berbagai aktivitas proses belajar, hasil belajar, motivasi, maupun sikap yang pelaku asesornya adalah sejawat atau teman dari pebelajar.

 

4. Jenis Metode Asesmen Teman Sejawat

Kane dan Lawler, 1978 (Keaten, Richardson, & Elizabeth, 1993:3) telah memperkenalkan tiga metode asesmen teman sejawat yakni (1) peer rating; (2) peer ranking; dan (3) peer nomination.

Peer rating adalah metode penilaian teman sejawat di mana tiap anggota kelompok saling memberi urutan jenjang (rate) tentang sejumlah kinerja atau karakteristik individu dengan menggunakan salah satu teknik skala lajuan (rating scales).

Peer ranking adalah metode menilai teman sejawat di mana setiap anggota kelompok melakukan penjenjangan dari yang terbaik hingga yang terburuk untuk seluruh anggota kelompok tentang satu atau lebih faktor yang dinilai.

Peer nomination adalah metode menilai teman sejawat di mana tiap anggota kelompok memilih anggota kelompok yang lain yang dianggap terbaik pada karakteristik hal tertentu dan menurut dimensi kinerja tertentu (Kane dan Lawler, 1978:557 seperti dikutip Keaten, Richardson, & Elizabeth (1993:3).

Menurut Kane & Lawler, 1978 (Latham & Wexley, 1982:88-89) yang terbaik digunakan dari ketiga jenis peer assessment ini, tergantung pada tujuan penggunaannya. Jika untuk mendeteksi kesulitan belajar pebelajar, peer rating memberikan informasi yang lebih rinci tentang tahapan kecakapan yang sudah berhasil dan yang masih gagal dicapai oleh pebelajar dalam belajar. Oleh sebab itu dalam preskripsi asesmen teman sejawat ini lebih ditekankan pada pengembangan instrument asesmen untuk jenis rating.

 

5. Unsur-unsur Asesmen Teman Sejawat

Herman, Aschbacher, dan Winters (1992) menyarankan 10(sepuluh) tahap sebagai unsur-unsur proses perancangan asesmen:

(a)         Clearly state the purpose for the assessment, and do not expect the assessment to meet purposes for which it was not designed.

(b)         Clearly define what it is you want to assess (the achievement target).

(c)         Match the assessment method to the achievement purpose and target defined in step2.

(d)         Specify illustrative tasks that require students to demonstrate certain skills and accomplishments. Avoid tasks that may be merely interesting activities for students, but may not yield evidence of a student’s mastery of the desired outcomes.

(e)         Specify the criteria and standards for judging student performance on the tasks selected in step 4. Be as specific as possible, and provide samples of student work that exemplify each of the standards.

(f)          Develop a reliable rating process that allows different raters at different points in time to obtain the same-or nearly the same-results, or allows a single teacher in a classroom to assess each student using the same criteria.

(g)         Avoid the pitfalls that threaten reliability and validity and can lead to mismeasurement of students.

(h)         Collect evidende/data showing that the assessment is reliable (yields consistent results) and valid (yields useful data for the decisions being made)

(i)            Ensure “consequential validity.” That is, the assessment should have a maximum of positive effects and a minimum of negative ones.

(j)           Use test results to refine assessment and improve curriculum and instruction; provide feedback to students, parents, and the community.

Sementara itu Beyer (1999:91-94) menuliskan unsur-unsur yang harus dikerjakan dalam melakukan asesmen untuk kecakapan berpikir (thinking skills):

(1)   Pemilihan tipe prosedur atau instrumen yang diinginkan untuk digunakan mengases kecakapan yang telah diajarkan.

(2)   Menganalisa contoh-contoh dan penjelasan dari jenis tes, instrumen asesmen, atau langkah-langkah yang akan digunakan.

(3)   Merancang (draft) instrumen untuk kecakapan yang sudah dipilih untuk diajarkan.

(4)   Memeriksa ulang dan melakukan revisi rancangan (draft).

(5)   Mengadministrasikan tes, instrumen, melaksanakan prosedur sesuai dengan kecakapan yang diajarkan, analisis hasilnya, dan melakukan revisi untuk digunakan kemudian.

Asesmen alternatif mengharuskan pebelajar dapat memper-tunjukkan kinerja, bukan menjawab benar-salah atau memilih jawaban dari sederetan kemungkinan jawaban yang sudah tersedia seperti pada asesmen tunggal berupa tes baku. Asesmen yang demikian ini disebut dengan asesmen kinerja, karena  dengan cara demikian itu pebelajar diharapkan dapat menunjukkan penguasaannya tentang kemampuan yang dipelajarinya.

Sejalan dengan ini Hibbard dkk, (1996:5) sebagaimana dikutip oleh Brualdi (1998) menyatakan bahwa asesmen kinerja ‘represent a set of strategies for the...application of knowledge, skills, and work habits through the performance of tasks that are meaningful and engaging to students”. Untuk sarana pebelajar menunjukkan kemampuannya, maka diperlukan serangkaian tugas sebagai task dan kriteria untuk menilai penyelesaian tugas itu yang disebut dengan rubrik. Rubrik sebagai sarana untuk melakukan penilaian tugas, disusun pengajar bersama dengan pebelajar untuk disepakati sebagai tolok ukur penilaian. Jo Anne Wangsatorntanakhun (1997) sebagaimana dikutip oleh Asmawi Zainul (2001:9) menyatakan, bahwa asesmen kinerja terdiri dari dua bagian yaitu “clearly defined task and a list of explicit criteria for assessing student performance or product”.

Asumsi pokok yang melandasi asesmen kinerja adalah (1) asesmen kinerja didasarkan pada partisipasi aktif pebelajar, (2) tugas-tugas yang diberikan atau dikerjakan oleh pebelajar merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran, (3) asesmen tidak hanya untuk mengetahui posisi pebelajar pada suatu saat dalam proses pembelajaran, tetapi lebih dari itu, asesmen juga dimaksudkan untuk memperbaiki proses pembelajaran itu sendiri, dan (4) dengan mengetahui lebih dahulu kriteria yang akan digunakan untuk mengukur dan menilai keberhasilan proses pembelajarannya, pebelajar akan secara terbuka dan aktif berupaya untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Lebih lanjut Lynn S. Fuchs (1995) dalam Asmawi Zainul (2001:10) menjelaskan bahwa asesmen kinerja dapat memperbaiki proses pembelajaran, karena asesmen kinerja membantu dosen untuk membuat keputusan-keputusan selama proses pembelajaran sedang berjalan. Keputusan-keputusan itu menyangkut (1) penempatan, (2) formatif, dan (3) diagnostik. Ketiga keputusan ini dapat dimanfaatkan dalam memperbaiki selama proses pembelajaran berlangsung.

Beranjak dari pemahaman bahwa asesmen alternatif merupakan upaya untuk mengintegrasikan kegiatan pengukuran hasil belajar dengan keseluruhan proses kegiatan pembelajaran, maka banyak pilihan-pilihan teknik yang tersedia dan bahkan mungkin masih perlu dikembangkan untuk mendeteksi proses belajar pebelajar sehingga semakin akurat informasi serta keputusan yang dapat dibuat karenanya.

 

(1) Tugas dan Rubrik.

Tugas dikatakan sebagai task dengan kriteria penilaiannya berupa rubrik. Bentuk-bentuk tugas dapat berupa suatu proyek, pameran, portofolio, atau tugas yang mengharuskan pebelajar memperlihatkan kemampuan menangani hal-hal yang kompleks melalui penerapan dan keterampilan nyata. Rubrik merupakan sarana panduan atau pedoman untuk memberi skor, yang jelas dan disepakati oleh dosen dan pebelajar.

Dalam mempersiapkan task atau tugas ada 3(tiga) langkah utama yaitu:

(a) mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan dapat dimiliki oleh pebelajar setelah mengerjakan tugas, yang meliputi  (1) jenis pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan, (2) pengetahuan dan keterampilan bernilai tinggi untuk dipelajari, (3) penerapan pengetahuan dan keterampilan tersebut memang terdapat dalam kehidupan nyata di masyarakat.

(b) merancang tugas-tugas yang memungkinkan pebelajar dapat menunjukkan kemampuan berpikir dan keterampilan.

(c) menetapkan kriteria keberhasilan yang dijadikan tolok ukur untuk menyatakan seseorang pebelajar telah mencapai tingkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan.

Asesmen kinerja tidak menggunakan kunci jawaban dalam menentukan skor, melainkan menggunakan pedoman penskoran berupa rubrik. Untuk menjamin reliabilitas, keadilan dan kebenaran penilaian maka perlu dikembangkan kriteria atau rubrik untuk pedoman menilai hasil kerja pebelajar. Rubrik dapat disusun bersama dengan pebelajar, sehingga jelas dasar yang dipakai untuk menilai kinerjanya dan dengan mengetahui target yang harus dipenuhi dalam tugasnya pebelajar akan termotivasi proses belajarnya. Rubrik pada dasarnya berisi senarai tentang daftar kriteria yang diwujudkan dengan dimensi-dimensi kinerja, aspek-aspek atau konsep-konsep yang akan dinilai beserta gradasi mutu dari yang paling sempurna hingga yang paling tidak sempurna.

Ada dua macam rubrik, yakni holistik rubrik dan analitik rubrik. Holistik rubrik adalah rubrik yang bersifat menyeluruh artinya satu rubrik dipakai untuk pedoman menilai semua aspek atau komponen hasil kerja pebelajar; sedangkan rubrik analitik adalah rubrik yang disusun sesuai dengan tiap-tiap komponen yang bersesuaian antara pedoman penskoran dan dimensi kinerja yang diukur, sehingga dimungkinkan dalam satu unit pengajaran terdiri dari beberapa rubrik yang berbeda-beda panduan penskorannya. Rubrik dapat dikembangkan berdasarkan dua standart, yakni standart isi dan standart yang berkaitan dengan dimensi belajar.

 

(2). Log dan Jurnal

Johnson & Johnson (1998) menyebutnya ‘log dan jurnal belajar’ merupakan sarana kunci bagi pebelajar untuk mendokumentasikan dan merefleksikan pengalaman belajarnya (Johnson & Johnson, 2002:201).

 

(a) Pengertian Log dan Jurnal Belajar

Log dan jurnal belajar,  digunakan pebelajar untuk membuat laporan pribadi (self-report) yang isinya memuat catatan ringkas tentang materi pelajaran yang sedang dipelajarinya. Hal-hal yang dimasukkan dalam log antara lain mencakup materi pelajaran tentang: 1) apa yang sudah dibaca, 2) hasil pengamatan dari kegiatan percobaan, 3) pemecahan masalah yang matematis, 4) daftar bacaan yang telah dibaca di luar yang dipersyaratkan, 5) pekerjaan rumah yang telah diselesaikan, 6) atau catatan tentang sesuatu yang lain karena pinjam-meminjam.

Jurnal belajar merupakan prosedur laporan pribadi dalam mana pebelajar mencatat secara naratif terkait dengan materi pelajaran yang sedang dipelajarinya. Isinya bisa menyangkut hasil pengamatan pribadi, perasaan dan pendapat sebagai respon dari kegiatan membaca, atau suatu peristiwa/kejadian dan pengalaman. Jurnal adalah koleksi pribadi berupa catatan dan pemikiran yang bernilai bagi penulisnya tentang apa yang telah dipelajarinya dan yang sangat relevan dengan pribadinya. Isi jurnal berhubungan dengan apa yang telah dipelajari di dalam kelas dengan kelas lainnya, dan atau dengan lingkungan masyarakat di luar kelas. Jurnal sifatnya lebih deskriptif, lebih panjang, dan lebih leluasa mengisikannya daripada log.

 

(b) Rasional Penggunaan Log dan Jurnal Belajar

Penggunaan log dan jurnal belajar berguna dan tepat sebagai alat asesmen, untuk tugas-tugas seperti berikut (Johnson & Johnson, 2002:21):

(i)                 Menelusuri jumlah soal yang sudah dipecahkan, buku yang telah dibaca, atau pekerjaan rumah yang telah terselesaikan.

(ii)               Mencatat pelajaran, tayangan, persentasi, kuliah lapangan, percobaan, tugas membaca 1) gagasan pokok, 2) pertanyaan, dan 3) refleksi.

(iii)            Merespon pertanyaan yang diajukan dosen atau pebelajar lainnya.

(iv)             Langkah lanjutan dari kegiatan percobaan; cuaca, di sekolah, nasional, atau kejadian dunia, atau peristiwa sejarah dan 1) memantau perkembangan waktu, atau 2) membuat perkiraan tentang apa yang akan terjadi kelak.

(v)               Menghubungkan gagasan yang muncul dengan kawasan materi yang lain.

(vi)             Curah pendapat gagasan tentang proyek yang potensial, kertas kerja, atau presentasi.

(vii)          Identifikasi masalah dan mencatat teknik-teknik pemecahan masalah.

(viii)        Menerapkan apa yang telah dipelajari di kelas pada salah satu kehidupan pribadi yang nyata.

(ix)             Menggunakan apa yang telah dipelajari di kelas untuk klarifikasi, memperbarui, dan merefisi suatu teori yang disesuikan dengan situasi.

 

 (c) Tujuan Penggunaan Log dan Jurnal Belajar

Tujuan penggunaan log dan jurnal belajar:

(i)                 Untuk menelusuri kegiatan yang berkaitan dengan pengajaran (apa yang harus dikerjakan untuk membuat sesuatu bermanfaat dalam mengajar).

(ii)               Untuk menjawab secara tertulis beberapa pertanyaan penting secara jelas dari isi pengajaran (ini hanya disarankan, tergantung pada pilihan anda)

(iii)            Untuk menghimpun pemikiran yang berkaitan dengan isi pengajaran (pemikiran terbaik acapkali muncul ketika anda sedang dalam perjalanan menuju sekolah, atau terkadang saat akan tidur malam, dan lain sebagainya)

(iv)             Untuk menghimpun berita surat kabar atau artikel majalah dan referensi yang relevan dengan topik pelajaran.

(v)               Untuk memantau ringkasan dari pembicaraan dan bahan catatan yang unik, menarik, atau suatu ilustrasi yang berhubungan dengan pelajaran.

(vi)             Untuk menghimpun pemikiran-pemikiran yang menarik, artikel-artikel, dan pembicaraan yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran tetapi penting bagi anda.

 

(d) Petunjuk Penggunaan Log dan Jurnal Belajar

Dalam menggunakan log dan jurnal, pebelajar diminta mahasiswa:

(i)     menulis sebuah jurnal paling tidak meliput satu masukan (entry) tiap minggu.

(ii)   meringkaskan apa yang telah dipelajari di kelas dalam seminggu terakhir.

(iii)menguraikan apa saja yang dianggap penting dari pengalaman mereka selama seminggu terakhir, meliputi: 1) hakikat dari situasi itu; 2) orang-orang yang pernah terlibat; 3) hubungan-hubungan di antara partisipan (orang yang terlibat); 4) strategi yang  digunakan untuk mengelola situasi itu; 5) pengalaman-pengalaman yang dirasakan; 6) outcome yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan itu.

(iv) Dari uraian tadi, diminta meringkaskan secara implisit teori-teori kegiatan yang membimbing tingkah laku mereka.

(v)   menggunakan apa yang telah dipelajari di kelas untuk mendeskripsikan bagaimana pebelajar dapat berusaha lebih efektif dan dengan cara yang konstruktif, termasuk bagaimana pebelajar akan mengubah aksi dari teori-teorinya.

 

(e) Penerapan Log dan Jurnal Belajar

Log dan jurnal belajar pada umumnya dipakai sebagai salah satu cara asesmen formatif. Penggunaan log dan jurnal belajar memang sulit untuk merancang point nilainya atau melakukan gradasinya, tetapi hal itu dapat dilakukan.

(i)         Rancang tugas-tugas pebelajar yang dipantau dengan jurnal atau log  berkaitan dengan isi dari pelajaran.  Jelaskan apa arti jurnal itu. Tekankan tujuan kerjasama untuk meyakinkan semua anggota kelompok menggunakan jurnal sehingga dapat digunakan untuk melakukan spesifikasi kriteria.

(ii)       Beritahukan kepada pebelajar kapan mereka memulai mengisinya, bagaimana mereka harus menuliskannya, seberapa lama rentang waktu harus mengisikan, dan bagaimana mereka akan saling berbagi untuk mengisi dengan anggota kelompoknya dan dengan pengajar, dan bagaimana isian jurnal itu akan diases, dan kapan batas akhir dari jurnal itu harus berhenti diisi.

(iii)    Tunjukan kepada pebelajar contoh atau model dari jurnal atau log yang sudah lengkap, dari contoh yang terbaik dan contoh yang terjelek. Pebelajar perlu mengembangkan kerangka sebagai referensi untuk kesepakatan jurnal atau log yang dipakai.

(iv)     Setelah pebelajar mengembangkan 1) kriteria khusus untuk mengases kualitas dari jurnal atau log yang lengkap, 2) indikator-indikator yang terbaik, menengah, dan yang kualitasnya jelek; ajari pebelajar salah satu rubrik standar apakah yang dibuat pengajar, sekolah, daerah atau dari pusat.

(v)       Setelah pebelajar mengkonstruksi jurnal atau log mereka, bantu mereka cara mengisinya secara langsung atau diberi bimbingan. Pertama, isian dilakukan pada kegiatan sesi di kelas. Kemudian di setiap sesi kelas berikutnya, berikan bimbingan langsung, arahkan, atau beri prosedur cara mengisinya.

(vi)     Usahakan pebelajar saling berbagi dalam mengisi jurnal dan log di antara anggota-anggota dalam kelompoknya pada situasi tertentu (tiap hari, duakali seminggu, atau satukali seminggu).

(vii)  Usahakan perputaran jurnal dan log mereka secara berkala untuk diberikan umpan balik oleh pengajar atau diberikan gradasi nilai tentang jumlah dan kualitasnya.

(viii)                     Usahakan semua pebelajar melengkapi dengan asesmen diri (self assessment) pada jurnal atau log  mereka sebelum ditentukan kriterianya.

(ix)     Usahakan, pebelajar bekerjasama dengan kelompoknya dan dibantu pengajar untuk menuliskan ulang jurnal dan lognya menjadi portofolio.

 

(f) Cara Mengases Log dan Jurnal Belajar

 Untuk mengetahui kualitas log dan jurnal dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kriteria keunggulan untuk skala masukan ulang. Metode ini terdiri dari 4(empat) langkah: (i) menspesifikasi sejumlah kriteria kualitas, (ii) mengembangkan indikator-indikator untuk tampilan kinerja tinggi, menengah dan rendah, (iii) melakukan penskalaan (rating) log dan jurnal pebelajar pada setiap kriteria, dan (iv) mejumlahkan semua skala pada setiap kriteria untuk menentukan skore total.

Kedua, menandai point nilai untuk tiap kriteria. Metode ini untuk mengases jurnal atau log yang memungkinkan untuk memberikan perbedaan skala dengan berbeda bobot.

Apapun pilihan cara mengases log dan jurnal, penggunaan log dan jurnal kuliah dilandasi oleh alasan-alasan yang rasional. Beberapa alasan penggunaan jurnal dalam kelas: (i) meningkatkan kesadaran pebelajar dari teori aksi pebelajar; (ii) membuat justifikasi tentang kefektifan dari teori aksi pebelajar; (iii) memperbarui atau memperbaiki teori aksi berdasarkan apa yang telah dipelajari di kelas.

 

6. Penerapan Asesmen Teman Sejawat              

Asesmen teman sejawat (peer assessment) termasuk kategori asesmen kinerja, karena yang menjadi tolok ukur dari obyek yang diamati oleh sejawat adalah tampilan kinerja dari individu yang diamati. Karakteristik asesmen sejawat dalam banyak hal sama dengan karakteristik asesmen kinerja, yang membedakan dengan asesmen alternatif jenis lainnya adalah prosedur pengukurannya, yakni menggunakan sejawat.         

Asesmen kinerja atau ‘performance assessment’ ditilik dari istilahnya merujuk kepada penggunaan yang berbeda terhadap pendekatan penilaian. Fitzpatrick dan Morison, 1971 (Dirjen Dikdasmen, Dirtendik, Depdiknas, 2003:55) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang sangat besar antara asesmen kinerja dengan tes lainnya yang dilaksanakan di dalam kelas. Perbedaan antara asesmen kinerja dengan tes lain yang konvensional adalah sejauh mana tes itu dapat mensimulasikan situasi dari kriteri-kriteria yang diharapkan. Rudner, & Boston (Wangsatorntanakhun, 1997) membedakan asesmen alternatif dan asesmen tunggal dengan pernyataan bahwa:

The term alternative assessment was coined to distinguish it from what it was not: traditional paper-and-pencil testing. There are even now distinctions within performance assessment, a distinction which refers to the fact that some assessments are meaningful in an academic context whereas others have meaning and value in the context of the real world, hence they are called “authentic.

 

Secara eksplisit Trespeces, 1999 (Dirjen Dikdasmen, Dirtendik, Depdiknas, 2003:55) mengatakan bahwa asesmen kinerja adalah berbagai macam tugas dan situasi dimana peserta tes diminta untuk mendemonstrasikan pemahaman dan penerapan pengetahuan yang mendalam, serta ketrampilan di dalam berbagai macam konteks.

Sejalan dengan ini Asmawi Zainul (2001:4) menuliskan bahwa asesmen kinerja secara sederhana didefinisikan sebagai penilaian terhadap proses perolehan, penerapan pengetahuan dan keterampilan, melalui proses pembelajaran yang menunjukkan kemampuan pebelajar dalam proses maupun produk. Dengan demikian asesmen kinerja merupakan suatu pendekatan penilaian yang meminta peserta tes untuk mendemonstrasikan dan mengaplikasikan pengetahuan kedalam berbagai macam konteks sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

Kriteria dimaksud seringkali dikaitkan dengan situasi kehidupan nyata sehari-hari, dan karenanya asesmen kinerja yang demikian dikenal dengan istilah autentik asesmen (authentic assessment). Jadi dalam asesmen autentik selalu mengkaitkan kriteria dengan tuntutan akan penerapan pengetahuan dan keterampilan dalam suasana praktik kehidupan sehari-hari dari peserta tes. Tuntutan akan kriteria yang demikian merupakan manifestasi dari tuntutan kompetensi atau kemampuan peserta tes untuk melakukan unjuk kerja atau demonstrasi tentang tingkat atau derajad penguasaan kompetensinya.

Pengukuran kemampuan tentang pemecahan masalah dalam Akuntansi dapat dilakukan dengan meminta unjuk kerja peserta tes melalui pendemonstrasian dan penerapan pengetahuan dan keterampilan Akuntansi dalam konteks kegiatan nyata transaksi keuangan dalam lingkup kehidupan badan usaha sehari-hari.

Kinerja individu merupakan performasi maksimal yang ditunjukkan sebagai akibat dari suatu proses belajar. Penilaian terhadap proses dan atau karya individu merupakan satu ciri dalam asesmen kinerja karena sifatnya yang sangat individual, setiap individu dapat menunjukkan kemampuan kinerjanya secara maksimal mungkin melalui keterlibatannya dalam proses ataupun pada produk yang dihasilkannya.

 

7. Keunggulan Dan Kelemahan Asesmen Teman Sejawat

University of Technology Sydney-Australia dalam home page-nya menuliskan berbagai keuntungan dan kelemahan dari asesmen teman sejawat (peer assessment):

Keuntungannya:

-              Helps students to become more autonomous, responsible and involved.

-              Encourages students to critically analyse work done by others, rather than simply seeing a mark.

-              Helps clarify assessment criteria.

-              Gives students a wider range of feedback.

-              More closely parallels possible career situations where judgement is made by a group.

-              Reduces the marking load on the lecturer.

-              Several groups can be run at at once as not all groups require the lecturer’s presence.

Kelemahannya:

-              Students may lack the ability to evaluate each other.

-              Students may not take it seriously, allowing friendships, entertainment value, etc. to influence their marking.

-              Students may not like peer marking because of the possibility of being discriminated against, being minsunderstood, etc.

-              Without lecturer intervention, students may misinform each other.

Betapa pun asesmen teman sejawat mengandung kelemahan, namun dilihat dari segi keuntungannya merupakan sarana alternatif asesmen yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kemampuan belajar mahasiswa. Untuk mengurangi kelemahan-kelemahan ini dosen dapat menempuh strategi pelaksanaan yang tepat antara lain penggunaan rubrik, dan himbauan yang serius kepada semua pebelajar dalam memberikan gradasi, penjelasan yang rinci dan pengertian yang sebahasa dalam memahami pedoman kerja.

 

8. Preskripsi Model Asesmen Teman Sejawat (Peer Assessment) Pembelajaran Akuntansi 

Sebuah cara yang pernah dikembangkan Wiersema (2000) dalam melakukan evaluasi dengan melibatkan pebelajar, relevan digunakan untuk mendesain pola struktur asesmen teman sejawat (peer assessment). Tahap-tahap proses evaluasi selama proses belajar kolaboratif dilakukan bersumber dari berkas portofolio yang dihimpun dalam sebuah amplop. Dari himpunan portofolio yang telah dihimpun oleh dosen, dapat diperoleh dua laporan penilaian, yakni: (1) pemberian nilai untuk kelompok (team), dan (2) justifikasi pemberian nilai untuk gradasi nilai anggota kelompok.

Setiap laporan kerja anggota kelompok disampaikan dalam sampul tertutup, atau sederhananya cukup distaples tetapi hanya dosen yang boleh tahu isinya, dan dari laporan ini dapat dinilai untuk: (1) pemberian nilai tiap anggota kelompok, dan (2) justifikasi pemberian nilai tersebut untuk gradasi nilai anggota kelompok.

Komponen lain yang dapat dipertimbangkan menjadi unsur-unsur pelengkap yang dinilai untuk melakukan justifikasi tiap peserta kuliah (meskipun indikator ini bisa tumpang tindih) adalah: (1)tingkat partisipasi individu baik secara kualitas maupun kuantitas dalam kuliah, (2) ketepatan hadir, (3) respek atau rasa hormat, (4) kejujuran, (5) gagasan/ide, dan (6) kreativitas, serta (7) komitmen.

Prosentase dari nilai portofolio dialokasi sebesar 10% dari tiap bagian. Sedangkan proporsi nilai portofolio secara keseluruhan antara penilaian kelompok dengan penilaian yang berasal dari individu anggota kelompok berbanding 50% : 50%.

Ditegaskan oleh Wiersema, bahwa penilaian dari tiap individu anggota kelompok sifatnya sangat rahasia, dan digunakan sebagai dasar keyakinan dari tidak terjadinya bias dalam penentuan gradasi nilai. Dengan demikian tiap peserta kuliah akan merasa benar-benar dilibatkan dan dihargai dalam kegiatan asesmen terhadap diri dan terhadap anggota kelompok lainnya. Prosedur seperti ini menurut Wiersema, juga dapat digunakan untuk melakukan asesmen kegiatan-kegiatan persentasi di kelas.

Mengacu pada model yang dikembangkan Wiersema (2000) tersebut, selanjutnya dipakai sebagai dasar dalam mempreskripsi pengembangan prosedur asesmen MATS untuk mengukur perkembangan belajar kemampuan pemecahan masalah Akuntansi. Secara visual preskripsi prosedur asesmen mengikuti diagram alur diagram pada Gambar 17 halaman berikut ini.

Tahapan pada diagram tersebut digunakan sebagai landasan untuk mempreskripsikan pengembangan MATS dengan tetap mengacu pada Peraturan Akademik di FKIP Unlam. Untuk memenuhi tuntutan dari setiap tahap prosedur asesmen teman sejawat, diperlukan perangkat atau instrumen pendukungnya. Instrumen pendukung untuk itu adalah tugas dan rubrik analitik serta log dan jurnal sebagaimana direferensikan oleh Johnson & Johnson (2002:201-213).

 

Gambar 17

Prosedur Model Asesmen Teman Sejawat (MATS)

 

Keterangan:

 

                              Proses asesmen dosen

                              Proses asesmen melibatkan pebelajar

                              Proses balikan

 

Tabel 5

Uraian Preskripsi MATS Yang Dikembangkan

 

 

Kompo-nen Asesmen

 

Instrumen

Asesor

Dosen

Teman Sejawat (Peer)

Nilai Individu

Nilai Kelompok

(1)

Tentamen Bagian

1. Tes obyektif untuk kemampuan pengenalan dan penggunaan prosedur pemecahan masalah

2. Tes kasus pemecahan masalah

Grade menurut PAP, porsi

 90%

Grade nilai porsi 10%

Nilai yang diperoleh individu, porsi 50%

Nilai yang diperoleh kelompok, porsi 50%

(2)

Tugas terstruktur

1. Tugas latihan pemecahan masalah individu

2. Tugas latihan pemecahan masalah kelompok

Grade menurut PAP, porsi

 90%

Grade nilai porsi 10%

Nilai tugas terstruktur yang diperoleh individu, porsi 50%

Nilai tugas terstruktur kelompok yang diperoleh kelompok, porsi 50%

(3)

Komponen Afektif

1.   Skala sikap tentang ketekunan, kehadiran dan aspek sikap lainnya.

2.   Tanggapan pebelajar terhadap proses belajar

3.   Balikan pebelajar terhadap dosen

Profil individu per matakuliah

Profil Respon Sejawat

 

Profil

Self-report

 

Profil

Rating sejawat

 

(4)

Tentamen tengah semester

1. Tes obyektif untuk kemampuan pengenalan dan penggunaan prosedur pemecahan masalah

2. Tes kasus pemecahan masalah

Grade menurut PAP, porsi

 90%

Grade nilai porsi 10%

Nilai ujian tengah semester yang diperoleh individu, porsi 50%

Nilai ujian tengah semester yang diperoleh kelompok, porsi 50%

(5)

Ujian Akhir semester

1. Tes obyektif untuk kemampuan pengenalan dan penggunaan prosedur pemecahan masalah

2. Tes kasus pemecahan masalah

Grade menurut PAP, porsi

 90%

Grade nilai porsi 10%

Nilai ujian akhir semester yang diperoleh individu, porsi 50%

Nilai ujian akhir semester yang diperoleh kelompok, porsi 50%

(6)

Grade nilai kesimpulan

1. Untuk Nilai Akhir: [3(1+2) + 3(4) + 4(5)]/10 x 100 konversi ke skala huruf dan dilaporkan sebagai balikan untuk pebelajar dan program.

2. Dari komponen (3) dianalisis dibuat profil belajar pebelajar baik dari teman sejawat maupun dari dosen; dan saran tindak lanjut untuk program.

Keterangan :

PAP : Penilaian Acuan Patokan

 

F. Peranan Adversity Quotient dan Lokus Kendali dalam Pencapaian Kemampuan Pemecahan Masalah.

 

1. Peranan Adversity Quotient Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah

Adversity quotient menjelaskan tentang “kemampuan untuk  bertahan dalam kesulitan”, dan berfungsi memberdayakan potensi. Adversity quotient menurut Stoltz, 1997 (Musthofa,et.al, 2005:180) diibaratkan sebagai media tumbuhnya pohon (potensi-potensi diri manusia). Apabila media tumbuh pohon tersebut kaya akan zat hara, maka pohon akan tumbuh subur dan kuat, mampu hidup tegak, tahan terpaan angin, hujan dan panasnya matahari. Tetapi sebaliknya apabila media tempat tumbuh pohon langka zat hara, maka sebaik apapun kualitas pohon tersebut, tidak akan mampu hidup subur dan tegak secara optimal. Untuk mendapatkan media tumbuh yang kaya zat hara  dapat diupayakan dengan mengolahnya sehingga menjadi media efektif bagi tumbuh tegaknya pohon.

Dari ilustrasi itu secara fungsional adversity quotient merupakan fasilitas bagi sifat-sifat kepribadian, baik yang berasal dari bawaan maupun dari hasil belajar dan pengalaman. Sifat-sifat kepribadian yang akomodatif terhadap kemajuan dan kesuksesan individu belum tentu dapat berfungsi dengan baik bagi kinerja dirinya bila tidak didukung oleh adanya adversity quotient yang memadai. Respon pikiran (otak sadar) lebih diperlukan dalam merespon permasalahan yang dihadapi individu, sebab respon pikiran akan lebih konstruktif karena persepsi terhadap realitas kenyataan yang tersusun akan mengarahkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang lebih akurat. Jika respon yang terjadi lebih banyak melalui otak bawah sadar, maka menurut konsep adversity quotient respon yang terjadi akan kurang konstruktif dan keterlibatan pertimbangan pikiran dalam mengelaborasi permasalahan akan terreduksi pengaruhnya atau tertutup oleh respon bawah sadarnya.

Hal yang kemudian perlu diketahui lebih lanjut adalah masalah bagaimana kapasitas kemampuan dalam adversity quotient tersebut mampu mengantisipasi pengaruh-pengaruh hambatan eksternal dalam proses berpikir pemecahan masalah.

Hambatan eksternal tersebut diidentifikasi oleh Tversky dan Kahneman, Pligt, 1996 berupa anchor dan tingkat resiko masalah keputusan. Anchor adalah berupa informasi nilai keputusan yang muncul mendahului pertimbangan keputusan yang dilakukan individu yang dapat mempengaruhi ketepatan dalam pengambilan keputusan, sebab dalam proses pengambilan keputusan, terdapat informasi yang menyertai masalah keputusan atau mendahului pertimbangan yang dilakukan individu, walaupun tidak relevan dengan obyek pertimbangan keputusan, dan akan mempengaruhi individu dalam mengambil keputusan (Musthofa et.al, 2005:p.181). Dalam kondisi demikian peran adversity quotient seseorang diuji. Artinya perlu dikaji lebih lanjut sejauh mana adversity quotient menjadi pengendali individu dari keterpengaruhannya terhadap keberadaan anchor dan beban rasa tidak nyaman terhadap resiko dari ketidak-tepatan keputusan yang akan diambil dalam memecahkan suatu masalah.

Pertimbangan dilibatkannya adversity quotient sebagai variable penjelas kemampuan pemecahan masalah dalam penelitian ini, di samping bertujuan ingin memperoleh informasi tentang kualitas kemampuan pemecahan masalah sehubungan dengan tingkat adversity quotient seseorang, juga ingin melihat peranannya dalam pengambilan keputusan karena pengambilan keputusan individu merupakan satu bagian yang menentukan kualitas kinerja individu dalam menghadapi dan menunjukkan kemampuan pemecahan masalah.

Informasi ini dibutuhkan karena jika memang terbukti bahwa adversity quotient memberi pengaruh terhadap kualitas kinerja kemampuan pemecahan masalah, maka adversity quotient dapat menjadi sarana bagi pengembangan dan peningkatan potensi kualitas pribadi pebelajar dalam hubungannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam lingkup organisasi dan manajemen.

 

2. Peranan Lokus Kendali Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah

Lokus kendali (locus of control) merupakan gambaran kecenderungan persepsi seseorang terhadap harapan umum (general expectancy), dalam menerima ganjaran (reward) dan hukuman (punishment) sebagai variable intervening dalam bertingkah laku berpikir dan bertindak seseorang. Setiap individu bervariasi dalam banyaknya kewajiban pribadi yang mereka tanggung untuk setiap perilaku mereka dan konsekuensinya. Lokus kendali menurut Julian Rotter (Kreitner & Knicki, 2003)  termasuk dimensi kepribadian yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan kepribadian seseorang. Ia berpendapat bahwa orang cenderung menghubungkan penyebab dari perilaku terutama pada diri mereka sendiri atau pada faktor lingkungan. Ciri kerpribadian menghasilkan pola perilaku yang berbeda. Orang-orang yang yakin bahwa dirinya mengendalikan peristiwa dan konsekuensi yang mempengaruhi kehidupan mereka dikatakan memiliki lokus pengendalian internal.

Lokus kendali sebagai representasi harapan umum seseorang dalam mempersepsi fenomena di lingkungannya dapat dipilah menjadi tiga kecenderungan yaitu kecenderungan  persepsi internal, eksternal dan campuran antara internal dan eksternal. Namun, untuk kepentingan mempelajari kecenderungan persepsi seseorang individu terhadap fenomena lingkungan, lokus kendali ini secara praktis dipilah menjadi dua yaitu kecenderungan tipe internal dan kecenderungan tipe eksternal (Mukhadis, 2003:58). Kelompok pebelajar yang termasuk berorientasi internal ditandai oleh adanya kecenderungan persepsi bahwa keberhasilan dalam melakukan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dalam hidup ini termasuk dalam kegiatan belajar banyak ditentukan oleh usaha diri sendiri, sedangkan kelompok pebelajar yang berorientasi eksternal ditandai oleh adanya kecenderungan persepsi bahwa keberhasilan dalam melakukan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dalam hidup ini termasuk dalam melakukan kegiatan belajar lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar dirinya.

Orientasi lokus kendali pebelajar sangat berpengaruh terhadap kecenderungan persepsi dan kepercayaan diri dalam melakukan usaha dan interpretasi hasil kegiatan yang dilakukan. Fenomena ini dalam kegiatan belajar akan berpengaruh dalam bentuk tingkat motivasi, interaksi dengan sejawat dan hasil belajar. Faktor penyebabnya adalah adanya perbedaan kecenderungan persepsi pebelajar dalam menerima dan mereaksi stimulus dalam melakukan kegiatan belajar.

Pebelajar yang memiliki kecenderungan persepsi external control dalam melakukan kegiatan belajar sangat bergantung pada faktor eksternal bila dibandingkan dengan pebelajar yang memiliki kecenderungan persepsi internal control, demikian temuan Crandall, Kotkovsky dan Crandall, Crandall, Kotovsky dan Presto, serta Rotter dan Morley, (dalam Owie, 1983:383-384), dan Miller, Lefcourt dan Holmes (1986). Orientasi lokus kendali pebelajar juga berkorelasi dengan tingkat prestasi akademik Walberg dan Tukey (Uguraglu dan Weiberg, 1980), serta Coleman, dkk. (Bartal, dkk., 1980).

Terkait dengan masalah ini Morrison dan McIntyre (1971), dan Phares (1975) menyarankan bahwa lokus kendali dapat digunakan sebagai variable personalitas yang cukup penting dalam memprediksi keberhasilan dan kegagalan belajar.

Akhirnya dapat dikatakan bahwa variable lokus kendali akan berpengaruh terhadap mutu pengelolaan pembelajaran dengan pengorganisasian isi secara elaborasi (sebagai faktor eksternal), yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap hasil belajar berupa penguasaan kemampuan pemecahan masalah.

 

G. Kajian Penelitian Relevan

 

1. Studi Terdahulu Tentang Pola Belajar Kolaboratif

Penggagas belajar kolaboratif telah mengklaim bahwa pertukaran gagasan secara aktif didalam kelompok kecil bukan saja meningkatkan minat di antara para peserta tetapi juga menumbuhkan untuk berpikir kritis (Gokhale, 1995:1).

Johnson dan Johnson (1986) juga menyatakan bahwa belajar dengan kerjasama dalam tim dapat mencapai tingkat berpikir yang tertinggi dan informasi akan bertahan lebih lama daripada belajar dengan tekun tetapi sendirian. Kesempatan pebelajar saling membantu merupakan keuntungan dari keterlibatan dalam diskusi, saling bertanggungjawab atas belajarnya, dan akhirnya menjadi pemikir yang kritis, demikian kesimpulan Totten, Sills, Digby, & Russ, 1991 (Gokhale, 1995:1).

Penelitian Gokhale (1995) menemukan bahwa ada perbedaan secara sangat signifikan prestasi belajar yang didapatkan dengan tes berpikir kritis antara pebelajar yang belajar secara kolaboratif dibanding dengan yang belajar secara individu. Rerata prestasi yang belajar secara kolaboratif (12,21) lebih tinggi daripada yang belajar secara individu (8,63) dengan harga t = 3,53; p<0.001. Beberapa hal yang dianggap menguntungkan dalam belajar kolaboratif dilihat dari segi proses adalah (1) membantu pemahaman, (2) terhimpunnya pengetahuan dan pengalaman, (3) didapatkannya balikan yang membantu, (4) menstimulasi berpikir, dan (5) diperolehnya cara pandang yang baru. Ditinjau dari segi aspek sosial dan emosional, keuntungannya adalah (1) suasana yang rileks atau bebas memudahkan pemecahan masalah, (2) menyenangkan, (3) meningkatkan rasa tanggungjawab pribadi maupun kelompok, (4) menambah kawan. Hal yang tidak menguntungkan adalah pemborosan waktu untuk menjelaskan materi kepada sejawat.

Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa belajar kolaboratif dapat mendorong pengembangan berpikir secara kritis melalui diskusi, klarifikasi gagasan, dan saling menilai gagasan yang lain. Meskipun cara-cara konvensional dan kolaboratif sama-sama efektif untuk mengajarkan pengetahuan faktual, namun jika tujuan pengajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, pola kolaboratif lebih menguntungkan (Gokhale, 1995:8).

 

2. Studi Terdahulu Tentang Asesmen Teman Sejawat

Kaufman dan Felder (2000:16) telah melakukan percobaan asesmen autorating (peer rating) untuk menentukan prestasi pebelajar Teknik Kimia di Universitas North Carolina dalam tim kerja kegiatan proyek. Temuannya menunjukkan (1) perbedaan antara teknik self-rating dan rata-rata rating dari sesama anggota tim tidak signifikan; dalam kenyataan ditemui penilaian yang cenderung rendah dari sesama anggota tim lebih banyak ditemui daripada penilaian yang cenderung lebih tinggi, (2) secara umum semua tim yang terlibat dalam penelitian (tiap kelas ada 2(dua) tim dan seluruhnya 57 tim) menyetujui jika penilaian secara peer rating digunakan oleh fakultas, (3) terdapat korelasi positif yang signifikan hasil penilaian peer rating dengan penilaian berdasarkan tes; pebelajar yang mendapat rating tinggi menurut anggota timnya  juga mendapatkan hasil tes yang lebih baik dibanding mereka yang ratingnya rendah dalam tim. Dari hasil ini didapatkan informasi bahwa kekhawatiran yang seringkali muncul bahwa jika menggunakan peer rating dalam belajar kolaboratif akan terjadi unsur subyektif pebelajar yang prejudice dalam pemberian rating nilai tidak terbukti. Kaufman dan Felder (2000:17) berkesimpulan bahwa penggunaan peer rating lebih obyektif dan mengurangi subyektivitas dalam penilaian.

Studi Fry (1990) dengan metode peer marking menemukan bahwa dalam kegiatan tutorial peer marking dapat mempengaruhi belajar pebelajar; pebelajar menjadi lebih bertanggungjawab dalam menyelesaikan tugas pekerjaannya, bertanggungjawab dalam memberi nilai kertas kerja (paper) sejawatnya, dan termotivasi belajarnya melalui proses asesmen.

Williams (1992) meneliti sikap pebelajar terhadap asesmen teman sejawat. Ia menemukan bahwa mayoritas pebelajar menyatakan senang dengan model asesmen teman sejawat (90%), namun di antar pebelajar ada yang menyatkan menemui kesulitan untuk memberikan kritik kepada hasil kerja sejawatnya. Pebelajar juga menyatakan bahwa asesmen teman sejawat sulit diterapkan atau tak disukai jika petunjuk penilaiannya tidak diperkenalkan sejak awal kegiatan belajar. Pebelajar berlaku apa adanya atau realistis dalam melakukan evaluasi hasil pekerjaannya.

Farh, Cannella, & Bedeian (1991) menguji pengaruh tujuan dari kualitas rating dan dayapakai pengguna pada 65 (enampuluh lima) pebelajar sarjana yang dibagi dalam 11(sebelas) kelompok yang diberi perlakuan untuk menyelesaikan 3(tiga) buah tugas proyek. Semua kelompok mula-mula mengerjakan tugas proyek pertama tanpa diikuti asesmen teman sejawat. Pebelajar diberitahu bahwa untuk tugas proyek yang kedua diterapkan evaluasi sejawat setelah tugas proyek diselesaikan. Pada akhir kegiatan tugas proyek yang kedua, 6(enam) kelompok menggunakan peer rating untuk menilai hasil tugas proyek, 5(lima) kelompok melakukan peer rating dan memberikan umpan balik atas perkembangan pengerjaan tugas. Satu minggu setelah tugas proyek diselesaikan dan diases, mereka masing-masing mendapatkan hasil rating dan kemudian diminta melakukan perhitungan rerata rating untuk kelompoknya. Kemudian mereka diberi angket tentang suka atau tidaknya praktik asesmen dengan cara peer rangking. Bagi pebelajar yang dinilai merasa diuntungkan oleh karena tujuannya mendapatkan nilai, hasilnya mereka tampak  lemah lembut dan posisinya berada di atas rata-rata, sehingga menguatkan bahwa asesmen sejawat dirasa lebih santai jika pemberian nilai dianggap sebagai masalah. Sebaliknya pebelajar yang melakukan penilaian dengan rating yang tujuannya untuk pengembangan belajar, mereka lebih kritis dalam memberikan umpan balik. Kesimpulannya bahwa pebelajar lebih suka memberikan kritik dalam asesmen  teman sejawat, jika mereka tahu bahwa masukan (umpan balik) mereka tidak membahayakan nilai teman-temannya, tidak mengancam reputasinya dan nilai mereka tidak dalam bahaya.

Fedor & Bettenhousen (1989) juga telah melakukan pengujian pengaruh sikap terhadap asesmen teman sejawat. Sikap itu khusus tentang (1) tujuan appraisal (umpan balik vs. pemberian nilai), (2) prakonsepsi peserta, dan (3) kesukaan terhadap peer rating. Hasilnya menunjukkan bahwa evaluasi sejawat lebih disukai dan dipandang lebih positif jika tujuan dari appraisal adalah pemberian nilai dan jika pebelajar mengakui bahwa asesmen teman sejawat dipandang positif.  Selain tiga variabel ini, masih ada variabel lain mempengaruhi proses asesmen antara lain hakikat pekerjaan (tugas) dan sistem hadiah (reward), peranan pengawas dan persepsi awal pebelajar memegang peranan penting sukses tidaknya dalam proses penggunaan asesmen teman sejawat.

Dari beberapa temuan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa asesmen teman sejawat dapat menggunakan beberapa cara misalnya peer rating, peer marking, self rating dan lainnya yang pada intinya melibatkan pebelajar untuk melakukan pemberian nilai. Asesmen teman sejawat cocok untuk menilai hasil kerja kelompok, lebih disukai, lebih akurat dan terhindar dari subyektivitas. Asesmen teman sejawat juga tepat digunakan untuk melakukan penilaian dengan tujuan pengembangan belajar. Dalam implementasinya perlu diperhatikan variabel-variabel sikap, karena dalam proses asesmen ternyata variabel sikap dan persepsi awal pebelajar sangat menentukan berhasil tidaknya tindakan asesmen memenuhi tujuannya. Oleh sebab itu preskripsi asesmen teman sejawat  untuk diterapkan dalam situasi belajar kolaboratif diduga akan dapat memberi pengaruh signifikan pada perkembangan belajar kemampuan pemecahan masalah bidang Akuntansi.

 

3. Studi Terdahulu Tentang Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah

Di Indonesia pernah diterapkan pembelajaran kemampuan pemecahan masalah pada tahun 1980 yang dikenal dengan Teknik Pemecahan Masalah secara Kreatif (PMK) ketika  setelah Utami Munandar, ahli psikologi dari Indonesia ditugaskan ke University of Buffalo mengikuti pelatihan Creative Problem Solving dan berguru kepada tokoh kreativitas Sidney Parnes dan M.O. Edwards pengarang Doubling Idea Power yang isinya menguraikan teknik Creative Problem Solving (Utami Munandar, 1999:293). Lokakarya tentang cara pendekatan pemecahan masalah (kreativitas) diselenggarakan oleh Yayasan Pengembangan Kreativitas dengan peserta para manajer perusahaan, dosen, guru SD dan guru pendidikan menengah, ibu-ibu dari organisasi wanita, siswa-siswa sekolah menengah. Proses yang dipakai mengadaptasi pola yang digunakan oleh M.O. Edwards yang dikenal dengan proses pemecahan masalah secara kreatif, dengan langkah mulai dari penemuan fakta, penemuan masalah, penemuan gagasan, penemuan solusi dan penemuan penerimaan (implementasi). Kesimpulannya cara pendekatan pemecahan masalah ternyata dapat diberikan kepada berbagai jenjang kalayak, bahkan kepada kalangan anak sekolah dasar pun juga bisa.

Kecakapan atau skills kemampuan pemecahan masalah telah langka di kalangan tenaga kerja. Laporan National Adult Literacy Survey (NALS) menemukan bahwa separo lebih pekerja dewasa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang menuntut kemampuan pemecahan masalah sekali pun pada tugas yang sederhana. Misalnya tugas menentukan yang benar dengan memanfaatkan informasi yang sudah tersaji dalam menu; menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan informasi tentang daftar tugas perawat yang dinas ke luar seperti dilaporkan oleh Kirsch, Jungeblat, Jenkins, & Kolstad, 1993 (Foshay & Kirkley, 2003:2).

Dari temuan ini ditengarai bahwa apa yang terjadi pada pekerja dewasa seperti itu, sama halnya dengan yang terjadi pada pebelajar di sekolah-sekolah sehingga ditegaskan bahwa perlunya menekankan pentingnya literasi kecakapan dasar dengan menekankan kemampuan pemecahan masalah dan kecakapan berpikir tingkat tinggi lainnya.

Terkait dengan pengorganisasian isi pembelajaran pemecahan masalah Mukhadis (2003) merangkum beberapa temuan, antara lain (1) bahwa pengorganisasian isi model elaborasi lebih unggul dalam perolehan skor mengingat dan skor pemahaman dalam belajar konsep dibanding pengorganisasian isi yang konvensional (Divesta dan Finke, 1985; Hanclosky, 1966; dan Degeng, 1988), (2) pengorganisasian isi model elaborasi lebih unggul daripada model advance organizer dan analisis tugas dalam belajar konsep dan prinsip (Hanclosky, 1986), (3) model elaborasi lebih unggul dalam skor informasi verbal, konsep dan retensi dibanding dengan pengorganisasian isi menurut buku teks dalam belajar informasi verbal dan konsep (Degeng, 1988). Temuan Mukhadis (2003:129) menunjukkan bahwa pengorganisasian isi model elaborasi lebih unggul bila dibandingkan dengan model urutan linier bertahap dalam hal hasil dan transfer belajar pengenalan pola, urutan tindakan prosedural, dan pada gabungan keduanya.

Suharsono (1991:66) menemukan dan menegaskan bahwa salah satu variabel terpenting yang harus dipegang dalam upaya pengembangan model, penyiapan program, serta pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar pemecahan masalah dengan menggunakan substansi pokok bahasan bidang studi adalah struktur organisasi disiplin ilmu yang menjadi obyek pengembangannya. Temuan Suharsono (1991) ini sejalan dengan temuan Boreham dkk., 1985 (Suharsono, 1991:66) bahwa pengorganisasian materi belajar dengan urutan dari aplikasi ke teori ternyata lebih mudah dikuasai daripada urutan dari teori ke aplikasi dalam proses belajar mengingat prosedur pemecahan masalah. Akan tetapi kedua prosedur ini menjadi tidak berbeda pengaruhnya ketika dua kelompok perlakuan disajikan kasus-kasus pemecahan masalah dengan menerapkan prosedur yang sudah diajarkan untuk itu. 

Tidak adanya perbedaan penerapan teori saat pemecahan kasus-kasus menimbulkan pemikiran skeptis apakah pola pembelajaran tidak memberikan pengaruh efek perbedaan dalam optimalisasi tindak belajar dan berpikir pebelajar atau terletak pada variabel perbedaan latar individu pebelajar.

Oleh sebab itu pengembangan model yang ditawarkan untuk mengoptimalkan proses terjadinya pembentukan pengetahuan baru pada diri pebelajar melalui cara-cara yang dipreskripsikan dalam bentuk pengelolaan interaksi, pengorganisasian isi dan sistem asesmen dalam pembelajaran masih selalu diperlukan uji-coba dan verifikasi yang berulang menurut latar situasi dan karakteristik individu pebelajar yang berbeda-beda.

 

4. Studi Terdahulu Tentang Pengaruh Adversity Quotient

Musthofa & Djamaludin Ancok (2005) telah mendeteksi bahwa tingkat adversity quotient pada diri individu dapat mengantisipasi pengaruh anchor (sebuah informasi nilai keputusan yang muncul mendahului pertimbangan keputusan) terhadap bias pengambilan keputusan; makin tinggi nilai adversity quotient yang dimiliki seorang individu akan dapat mengantisipasi pengaruh anchor; kekuatan pengaruh adversity quotient dalam mengantisipasi pengaruh anchor dalam membuat keputusan menjadi menurun ketika beban resiko dari masalah yang diputuskan tinggi, dengan kata lain semakin tinggi beban resiko dari masalah yang diputuskan maka akan makin kecil pengaruh kekuatan adversity quotient dalam mengantisipasi bias keputusan oleh adanya anchor. Perbedaan jenis kelamin tidak memberikan perbedaan efek dari nilai adversity quotient, terutama dalam hubungannya dengan pengambilan keputusan.

Dari temuan penelitian ini disarankan bahwa untuk membangun kualitas diri dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas adversity quotient. Kualitas adversity quotient pada dasarnya meningkatkan karakteristik respon individu terhadap masalah atau tantangan yang dihadapi, dalam mana karakteristik respon tersebut adalah berupa mendahulukan respon kognitif ketika berhadapan dengan suatu masalah untuk dihadapi dan diputuskan.

Penelitian adversity quotient lebih lanjut tidak perlu melakukan kontrol pada perbedaan jenis kelamin, perbedaan kualitas respon  dan penyelesaian masalah diduga justru disebabkan oleh perbedaan nilai adversity quotient yang dimiliki individu. Penelitian Musthofa & Djamaludin Ancok (2005) ini baru mengungkap tentang adversity quotient dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan dalam rangkaian mekanisme menghadapi dan menyelesaikan hambatan atau pemecahan masalah, dengan demikian masih terdapat beberapa bagian kaitan adversity quotient dengan kemampuan pemecahan masalah. Selain itu dikarenakan adversity quotient adalah kontrak penilaian kualitas individu dalam bentuk ketrampilan respon terhadap masalah, maka tidak terkait secara langsung dengan pengetahuan dan keahlian spesifik seseorang.

Dorongan menggali potensi untuk mengantisipasi permasalahan merupakan suatu dorongan yang bersumber dari orientasi internal. Orientasi internal dapat berfungsi optimal jika melibatkan potensi dari orientasi eksternal, yaitu dorongan menggali potensi lebih lanjut yang menumbuhkan keyakinan kemampuan diri untuk mengatasi masalah yang dapat dikembangkan berdasar pemahaman terhadap sumber, bentuk dan jangkauan dari masalah yang dihadapi individu. Oleh sebab itu perlu diteliti tentang masalah kualitas adversity quotient dalam hubungannya dengan pengetahuan dan keahlian kognitif individu sehubungan dengan bidang permasalahan yang dihadapi, dalam hal ini adalah pengetahuan prosedural tentang kemampuan pemecahan masalah di bidang Akuntansi.

 

5. Studi Terdahulu Tentang Pengaruh Lokus Kendali

Penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh orientasi lokus kendali pebelajar terhadap hasil belajar dilakukan oleh Crandall, Kotkovsky dan Crandall, Crandall, Kotovsky dan Presto, serta Rotter dan Morley, (dalam Owie, 1983:383-384), dan Miller, Lefcourt dan Holmes (1986) yang menyimpulkan bahwa pebelajar yang memiliki kecenderungan persepsi external control dalam melakukan kegiatan belajar sangat bergantung pada faktor eksternal, sehingga representasi tingkat motivasi belajar tampak lebih rendah bila dibandingkan dengan pebelajar yang memiliki kecenderungan persepsi internal control.

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Walberg dan Tukey (Uguraglu dan Weiberg, 1980), serta Coleman, dkk. (Bartal, dkk., 1980) menunjukkan ada korelasi yang signifikan antara orientasi lokus kendali pebelajar dengan tingkat prestasi akademik, yaitu pebelajar yang memiliki orientasi internal prestasi akademiknya lebih tinggi, bila dibanding dengan pebelajar yang memiliki orientasi eksternal.

Mukhadis (2003:129) telah menemukan bukti-bukti tentang pengaruh lokus kendali terhadap hasil belajar. Kelompok pebelajar yang berorientasi lokus kendali internal ternyata lebih unggul daripada kelompok yang berorientasi lokus kendali eksternal dalam hal hasil dan kemampuan transfer belajar (pengenalan pola, urutan tindakan prosedural maupun gabungan antara keduanya) dalam berbagai kondisi bakat berpikir mekanik apa pun. Implikasinya adalah bahwa karena lokus kendali merupakan salah satu faktor yang mengekspresikan keunikan individu dalam belajar, maka dapat digunakan untuk memberikan referensi dalam pemilihan alternatif strategi pembelajaran tentang penguasaan prasyarat prosedur pemecahan masalah. Secara nyata bentuknya adalah strategi menumbuhkan dan mengembangkan kemauan dan kerja keras dalam belajar sehingga dapat diharapkan mempengaruhi pencapaian tingkat keberhasilan belajar. Kesimpulan Mukhadis (2003) ini sejalan dengan temuan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Wolfgang dan Potvin dan Stipek yang dilaporkan Gagne, 1987 (Mukhadis, 2003:127) yang menyatakan bahwa kelompok pebelajar yang berorientasi lokus kendali internal memiliki kecenderungan sifat suka kerja keras dan lebih aktif dalam belajar. Dua sifat yakni kerja keras dan aktif dalam belajar inilah yang memungkinkan individu dapat mengaktualisasikan bakat dan potensinya.

Hasil penelitian Suharsono (1991:66) juga memperkuat pengaruh lokus kendali terhadap efektivitas pembelajaran. Temuannya menyatakan bahwa keefektivan aktivitas belajar pemecahan masalah ternyata dipengaruhi oleh berbagai variabel yang bersumber dari faktor pembawaan individu pebelajar antara lain kecepatan pemrosesan informasi dalam memori, level kemampuan berpikir, gaya kognitif yang mendominasi kegiatan belajar, dan lokus kendali sebagaimana ditemukan oleh Rotter (1966, 1975), Heaven (1988) serta Benson dan Yeany (1986) seperti dilaporkan Suharsono(1991:66).

Menurut Kreitner & Knicki (2003) para peneliti dalam lingkup organisasi dan manajemen telah menemukan perbedaan yang penting berkaitan dengan lokus kendali perilaku internal dan eksternal:

(1)   Kelompok internal menunjukkan motivasi kerja yang lebih besar.

(2)   Kelompok internal memiliki pengharapan yang lebih kuat bahwa usaha akan mengarah pada prestasi.

(3)   Kelompok internal menunjukkan prestasi yang lebih tinggi pada tugas-tugas yang melibatkan proses belajar atau pemecahan persoalan, di mana prestasi mengarah pada penghargaan yang berarti.

(4)   Terdapat suatu hubungan yang lebih kuat antara kepuasan kerja dengan prestasi bagi kelompok internal daripada eksternal.

(5)   Kelompok internal memperoleh gaji yang lebih tinggi dan peningkatan gaji yang lebih besar daripada kelompok eksternal.

(6)   Kelompok eksternal cenderung lebih khawatir daripada kelompok internal.

Bertolak dari bukti-bukti empiris tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa variable lokus kendali akan berpengaruh terhadap mutu pengelolaan pembelajaran kemampuan pemecahan masalah dan pengorganisasian isi secara elaborasi (sebagai faktor eksternal), yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap hasil belajar berupa penguasaan kemampuan pemecahan masalah.

 

H. Kerangka Berpikir

Asesmen teman sejawat dalam konteks pola pengelolaan belajar kolaboratif dipreskripsikan untuk tujuan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran bidang Akuntansi Perusahaan Jasa, baik untuk kemampuan menggunakan prosedur pemecahan masalah maupun untuk kemampuan menemukan prosedur baru untuk pemecahan masalah. Bertolak dari konsep sistem pengajaran maka kerangka pikir pengembangan asesmen ini dipaparkan sebagai berikut.

 

1. Hasil Belajar Pemecahan Masalah Bidang Akuntansi Jasa

Untuk melihat secara detail kemampuan menggunakan prosedur dan menemukan prosedur baru pemecahan masalah bidang Akuntansi Jasa perlu dilakukan analisis intruksional sehingga akan tampak jelas sasaran strategi untuk penataan isi dan pengelolaan belajar menurut teori elaborasi. Asesmen terhadap unjuk kerja kemampuan pemecahan masalah tersebut ditandai oleh dua komponen utama, yaitu berupa tugas pemecahan masalah dan kreteria penilaian atas tugas yang bersangkutan. Tugas dapat diklasifikasi dalam 3(tiga) kelompok, yaitu: tugas yang mirip (analog), berhubungan (relate), dan tugas yang belum pernah dikenal (novelty). Penggolongan ini dimaksud untuk menetapkan dalam kondisi apa mahasiswa dapat dinyatakan selesai dalam tugasnya. Tugas pemecahan masalah ini secara akumulasi harus dapat menunjukkan 4(empat) hal sebagai produk jasa akuntansi yaitu: laporan keuangan, perubahan modal, penjelasan rugi dan laba, dan penjelasan atas laporan perubahan modal.

Kreteria penilaian menggunakan rubrik penilaian analitik yang mencakup 3(tiga) komponen kemampuan pemecahan masalah (analog, relate dan novelty).

Berbagai telaah asesmen mengindikasikan, perlunya ditentukan suatu bobot yang berbeda untuk setiap komponen penilaian, disebabkan oleh adanya pertimbangan intensitas proses kognitif dan kreatif yang dituntut dalam belajar. Dalam penelitian ini, tugas-tugas yang tergolong novelty dianggap paling berat diberi bobot 60%, untuk golongan relate diberi bobot 25%, dan untuk yang analog sebesar 15%. Untuk memudahkan scoring setiap komponen merupakan satu dimensi yang dijelaskan dengan indikator dan deskriptor. Deskriptor untuk setiap dimensi merentang dari skor 4 (empat) untuk kemampuan yang tepat dan sesuai dengan indikator yang dituntut, hingga 1(satu) untuk kemampuan yang paling tidak sesuai dengan indikator yang dituntut.

Dari uraian tentang hakekat kemampuan pemecahan masalah bidang Akuntansi, dengan demikian dapat dikaji apa yang dimaksud dengan kemampuan menggunakan prosedur pemecahan masalah serta kemampuan menemukan prosedur baru pemecahan masalah.

 

 

 

2. Tingkat Penguasaan Pebelajar Tentang Kemampuan Pemecahan Masalah.

Sebagaimana telah diungkap bahwa jenis pengetahuan terdiri dari pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif adalah proposisi yang berisi pengetahuan tentang apa sesuatu itu; dan pengetahuan prosedural adalah proposisi yang berisi pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Pengetahuan prosedural lebih cepat dan lebih reaktif terhadap lingkungan daripada pengetahuan deklaratif. Proses belajar untuk penguasaan jenis pengetahuan prosedural tertentu memerlukan prasyarat kondisi penguasaan pengetahuan tentang konsep, prosedur dan aturan sebelumnya.

Proses pembentukan struktur pengetahuan membutuhkan sejumlah informasi yang selain mengandalkan pengetahuan yang sudah ada (proposisi) yang telah dimiliki individu pebelajar juga sangat membutuhkan masukan informasi dari luar diri individu pebelajar. Masukan informasi dari luar semakin diperkaya jika pola pengajaran dan pembelajaran difasilitasi lingkungan yang memungkinkan individu pebelajar untuk memperoleh sebanyak-banyaknya gagasan, pemikiran dan kritik guna melakukan refleksi diri dan akhirnya didapatkannya struktur pengetahuan baru setelah terjadi proses asimilasi.

Pola kolaboratif merupakan pendekatan yang sesuai untuk tujuan ini karena dengan mempolakan belajar kerjasama dalam kelompok dimungkinkan adanya sarana aktivasi gagasan dan pemikiran dari pebelajar selama terlibat dalam diskusi dan kerjasama. Rasa tanggungjawab atas hasil belajar diri sendiri dan kelompok akan tumbuh seiring dengan proses yang berlangsung dalam kegiatan kelompok. Hal seperti ini tidak akan didapat dalam belajar secara individual.

Oleh karena itu kemampuan pemecahan masalah akan lebih cepat dikuasai jika proses belajar berada dalam suasana kolaboratif karena kegagalan proses penemuan pemecahan masalah oleh individu dapat ditanggulangi pemecahannya dengan proses lanjut melalui diskusi, kontribusi gagasan, pemikiran dengan sejawat dalam kelompok dan akhirnya diperoleh keberhasilan bersama melalui kolaboratif. Strategi belajar demikian yang memungkinkan untuk menumbuhkan bekal hidup yang fungsional di masyarakat. Dengan demikian dapat diduga bahwa pola belajar kolaboratif dapat lebih efisien dan efektif untuk membelajarkan pengetahuan untuk penguasaan kemampuan pemecahan masalah.

Terkait dengan proses belajar kolaboratif, tindakan asesmen yang pada umumnya berlandaskan pada asumsi bahwa penguasaan kompetensi individu paling tepat diukur dengan hasil kerja individu sendiri tanpa bantuan orang lain menjadi tidak tepat lagi; asesmen dalam konteks ini harus ditekankan pada adanya kegiatan kerjasama dan kolaborasi yang terjadi pada proses pembelajaran dalam kelompok karena skore hasil belajar yang didapatkan seorang individu dalam belajar sangat mungkin dipengaruhi oleh keahlian dari kawan-kawannya selama terlibat dalam proses kerjasama dan kolaborasi dalam kelompok sebagaimana kemampuannya sendiri mempengaruhi orang lain; demikian argumentasi Linn, 1993; Wise & Behuniak, 1993 (Webb, 1994:1-2).

Penggunaan asesmen sumatif yang hanya dilakukan pada akhir program pembelajaran tidak cukup memadai untuk kepentingan assessment for learning yang hakikatnya memenuhi tujuan perbaikan belajar pebelajar. Asesmen teman sejawat sebagai asesmen alternatif memenuhi elemen-elemen yang dibutuhkan untuk tujuan perbaikan belajar pada lingkup awal, proses dan keseluruhan program pembelajaran. Temuan-temuan yang disajikan oleh Keaten, Richardson, & Elizabeth (1993) mendukung untuk dikembangkan dan diimplementasikannya model asesmen teman sejawat. 

Bertolak dari strategi pengelolaan yang berpendekatan kolaboratif maka asesmen selain mengukur perkembangan kemampuan individu pebelajar, juga harus mempertimbangkan pada kemampuan pebelajar dalam melakukan interaksi, kerjasama, dan kolaborasi serta efektivitas anggota tim dalam kerja kelompok. Efektivitas anggota tim dalam kerja kelompok menurut Salas, Dickinson, Converse, & Tannenbaum, 1992 (Webb, 1994:4) merupakan proses dinamis yang mengandung unsur koordinasi, komunikasi, penyelesaian konflik, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah serta negoisasi.

Dengan demikian dapat diduga penggunaan asesmen teman sejawat akan lebih mampu mendeteksi perkembangan belajar penguasaan kemampuan  pemecahan masalah sejak dari awal, selama proses dan keseluruhan dari proses pembelajaran daripada asesmen konvensional yang lebih mengarah kepada asesmen sumatif dan asesmen tunggal.

Asesmen teman sejawat akan dapat diterima oleh pengguna karena mampu memenuhi hakikat isi belajar secara kolaboratif yakni lebih obyektif dan dapat menghindarkan dari pengaruh subyektivitas penilai. Selain itu asesmen teman sejawat akan dapat diterapkan dengan baik didasarkan pada pertimbangan dari aspek belajar pemecahan masalah secara individu, struktur kelompok, dinamika kelompok dan proses yang terjadi dalam kelompok dalam membangun struktur pengetahuan baru sebagai wujud dari hasil belajar kemampuan menggunakan prosedur maupun belajar penemuan prosedur baru pemecahan masalah.

 

3. Urunan Adversity Quotient Dan Lokus Kendali Pada Penguasaan Kemampuan Pemecahan Masalah

Potensi individu beragam menurut karakteristik masing-masing. Potensi individu akan berkembang tergantung pada stimuli yang memberi dorongan aktivasi individu untuk terdorong berbuat dan berusaha termasuk dalam belajar. Tingkat respon individu yang menimbulkan dorongan untuk aktif belajar menantang hambatan berupa masalah yang harus dipecahkan merupakan kadar dari adversity quotient seseorang.

Tingkat ketrampilan respon terhadap masalah atau adversity quotient seseorang akan menunjukkan kegigihan dan kemampuan bertahan dalam menghadapi tantangan, sehingga semakin tinggi adversity quotient seseorang akan semakin besar peluang untuk berhasil mencapai tujuan belajar, sebaliknya semakin rendah adversity quotient seseorang maka diduga kuat semakin sulit untuk mencapai keberhasilan dalam belajar.

Belajar pengetahuan kemampuan pemecahan masalah pada dasarnya belajar penuh dengan tantangan dan hambatan. Proses menggunakan prosedur pemecahan masalah yang sudah ada dan menemukan prosedur baru pemecahan masalah menjadi semakin efektif dan efisien jika didukung oleh tingkat adversity quotient yang dimiliki individu yang sedang belajar. Dengan demikian dapat diduga bahwa tingkat adversity quotient akan dapat digunakan sebagai pemoderasi pengaruh penggunaan asesmen terhadap efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran pada latar pendekatan secara kolaboratif.

Pada sisi lain lokus kendali sebagai orientasi persepsi individu terhadap belajar menunjukkan ada korelasi yang signifikan antara orientasi lokus kendali pebelajar dengan tingkat prestasi akademik, pebelajar yang berorientasi internal prestasi akademiknya lebih tinggi, dibanding dengan pebelajar yang memiliki orientasi eksternal. Oleh sebab itu dapat diduga bahwa pebelajar yang cenderung kuat lokus kendali internalnya akan mampu lebih cepat menunjukkan penguasaan hasil belajarnya (berupa kemampuan pemecahan masalah) dibanding pebelajar yang kuat lokus kendali eksternalnya.